Friday, March 14, 2025

Apa Gunanya Seragammu?

 

Seragam itu kau pakai dengan bangga.
Dada membusung, kepala mendongak.
Tapi aku bertanya:
Bangga atas apa?
Atas tubuh yang kau sakiti?
Atas nyali yang kau remas hingga mengecil?
Atas suara yang kau paksa diam?

Apa itu hukum,
jika bajumu bisa membengkokkannya?
Apa itu keadilan,
jika seragam membuatmu lebih tinggi dari kebenaran?
Apa itu amanah,
jika amanah hanya alat tukar untuk kuasa?

Apakah hukum memang tak butuh nurani?
Apakah keadilan kini hanya sekadar janji basi?
Apakah seragam adalah tiket masuk ke meja perjamuan
di mana dosa bisa ditebus dengan uang dan jabatan?

Kenapa tanganmu mencengkeram tubuh yang tak berdaya?
Kenapa mulutmu berteriak nyaring hanya untuk membungkam?
Kenapa kepalanmu tak menghantam koruptor,
tapi justru wajah rakyat yang lemah?

Apa itu nyali,
jika beraninya hanya pada yang tak bisa melawan?
Apa itu integritas,
jika hukuman hanya untuk mereka yang tak punya koneksi?
Apa gunanya seragam,
jika yang memakainya lebih mirip preman dari pada penjaga negeri?
Apa gunanya aturan,
jika kau sendiri yang kerap melanggarnya?

Dan jika seragam hanya alasan untuk menindas,
kenapa kau tak sekalian pakai topeng saja?
Biar jelas,
bukan hukum yang kau jaga,
tapi kepentinganmu sendiri?

Wednesday, November 8, 2023

Starlight

Starting by looking into your eyes,

The world becomes warm slowly.

And I'm going to fall into your arms.

Red wine in our last glass,

Leading us to watch the night sky.

"I love you," that's the only thing I want to say.

Gastly and shining like starlight.

Have you been there before?

To the place where the big bang brought us together.

Sunday, November 20, 2022

Feminisme Harus Anarkis; Sebuah Etika Keadilan dan Kepedulian

“Anarchism, to me, means not only the denial of authority, not only a new economy, but a revision of the principles of morality. It means the development of the individual as well as the assertion of the individual. It means self-responsibility, and not leader worship.”
- Voltairine de Cleyre

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah mencoba mengkritisi tulisan Ben Laksana di Indoprogress mengenai Pendidikan Demokrasi Radikal yang juga sudah terbit menjadi sebuah buku. Sebagai sebuah prolog tulisan ini, saya akan sedikit mengulang garis besar perdebatan mengenai demokrasi. Dalam tulisan tersebut, saya mempertanyakan kembali konsep berpikir Ben yang menginginkan adanya pendidikan demokrasi radikal untuk menciptakan ruang belajar yang egaliter dan bisa menjadi solusi dalam melawan kapitalisme, patriarki, rasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, hierarki, paternalisme, dan istilah-istilah memusingkan lainnya.

Bagi saya yang tidak suka berpikir rumit, demokrasi hanyalah sebuah omong kosong dan tak lebih dari sesat logika alias njelimet. Mengapa? Pertama, bentuk radikal dari sebuah konsep demokrasi itu seperti apa? Bila konsep negara harus memiliki dua elemen dasar yaitu pemerintah dan rakyat, maka bagaimana bisa rakyat diidam-idamkan sebagai pemegang kekuasaan negara juga? Apa definisi dari pemerintah dan rakyat? Rakyat mana yang bisa atau harus memegang pemerintahan atau kekuasaan?

Kedua, jika pemahaman egaliter hanya dipahami sebatas persamaan hak suara dalam pengambilan kebijakan berdasarkan suara terbanyak, maka radikalisme demokrasi tidak mampu menyelami radikalisme egaliter itu sendiri. Bahwa demokrasi radikal akan tetap selalu menghasilkan mayoritas dan minoritas. Bukankah seharusnya konsep egaliter yang radikal tak mengenal istilah mayoritas dan minoritas?

Ketiga, sejak kapan demokrasi bisa memerdekakan manusia secara nyata dan empiris? Sejarah awal mula muncul ide demokrasi saja sudah diskriminatif, di mana pada saat itu hanya pria elit di atas usia 20 tahun yang dianggap sebagai warga negara, yang bisa berpartisipasi secara langsung dalam membentuk kebijakan. Ide awal saja sudah terbentuk secara seksis, partiarkis dan hierarkis, bagaimana demokrasi bisa melawan tiga elemen pembentuk awalnya? Omong kosong.

Dari ketiga alasan mengapa demokrasi adalah omong kosong, maka saya menginginkan adanya perlawanan berdasarkan konsep anarkisme yang radikal. Kenapa radikal? Karena paradigma atau pola berpikir kebanyakan orang mengenai anarkisme sudah tidak sesuai dengan konsep awalnya, maka radikalisasi konsep anarkisme sudah seharusnya digaungkan kembali sesuai pada ide pertama.

Anarkisme Bukanlah Kekerasan

Banyak bahkan semua orang-orang yang saya temui dan berdiskusi, selalu menganggap  bahwa anarkisme itu sama dengan kekerasan. Ini adalah pola berpikir yang sesat, 100 persen sesat. Filsuf-filsuf anarkis ternama seperti Mikhail Bakunin dan Emma Goldman, selalu membantah bahwa perlawanan mereka harus menggunakan kekerasan. Tidak. Mereka berdua justru mengutuk keras perlawanan orang-orang sok anarkis yang menggunakan jalan kekerasan.

Bagi Bakunin dan Goldman, jalan kekerasan justru akan mengaburkan tujuan dan alasan munculnya anarkisme. Penghapusan konsep negara yang menjadi tujuan terbesar anarkisme, tidak akan pernah bisa dihilangkan dengan jalan kekerasan, sebab tidak ada sejarah pendirian suatu negara apapun yang terlepas dari adanya kekerasan. Dari pola berpikir seperti itu juga akhirnya Bakunin dan Goldman berpendapat bahwa, jika anarkisme menggunakan jalan kekerasan maka itu tidak akan ada bedanya dengan negara. Tidak mungkin penghapusan kekerasan –sebagai representasi negara—dilakukan menggunakan cara yang sama.

Anarkisme merupakan pemahaman yang menolak penindasan, pemerintahan dan peraturan, yang sebenarnya adalah penolakan untuk menindas dan ditindas; memerintah dan diperintah; serta mengatur dan diatur oleh pihak di luar dirinya. Pemahaman inilah yang sebenarnya mendasari setiap pemikiran anarkisme, di mana pada akhirnya seorang anarkis harus bisa memperlakukan semua manusia dengan setara, tanpa diskriminasi, tanpa hierarki, dan tanpa penindasan –tanpa kekerasan.

Etika Keadilan

Awal mula tercetusnya ide feminisme memang tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah ketertindasan perempuan sejak dahulu. Perlu diakui bahwa di belahan dunia manapun, sejarah peradaban manusia selalu menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua setelah pria. Secara jelas sejarah mengisahkan bahwa tubuh perempuan merupakan tempat hampir seluruh penderitaan dan ketidakadilan di dunia adalah hal yang sulit terpatahkan. Mulai dari kodrat melahirkan, ekonomi, politik, sosial, hingga seks –dibandingkan pria, perempuan lebih jarang mendapatkan orgasme—adalah gambaran singkat ketimpangan yang dialami perempuan hingga sekarang.

Tetapi meskipun saya mengatakan itu semua adalah hal yang sulit terpatahkan, bukan berarti tidak ada perdebatan soal itu. Sebab, argumen-argumen di atas selalu masih memiliki celah untuk dibantah, seperti argumen Jordan Peterson mengenai perbandingan jumlah pria dan perempuan yang harus melakukan pekerjaan berbahaya, atau kesalahan penyamarataan bahwa agresifitas merupakan hal alami yang hanya dimiliki pria. Pada poin terakhir ini, justru sejarah manusia telah membuktikan bahwa ketidakadilan terhadap pria toh tetap saja bisa terjadi, ketika seorang perempuan memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan pria.

Dari situ kemudian saya menjadi bertanya, lalu apa penyebab sebenarnya dari ketidakadilan itu? Hierarki. Tentunya kita semua harus mengakui bahwa manusia kerap menyalahgunakan keunggulannya –entah itu jabatan, status sosial, ekonomi, dan lain-lain—untuk melakukan ketidakadilan tersebut. Bahkan bila kita ingat ada salah satu kisah pada suatu kitab, mengenai budak Yusuf yang mendapat hukuman karena dituduh akan memperkosa istri seorang pejabat Mesir, kita seharusnya tersadar bahwa ternyata ketidakadilan itu tidak memandang kelamin.

Sistem patriarki yang hierarkis pada dasarnya tidak peduli dengan kelamin. Selama manusia masih menyalahgunakan keunggulan untuk penindasan terhadap manusia lainnya, maka jangan harap kesetaraan apa pun bisa terjadi. Dan selama feminisme selalu berkutat pada kelamin, maka jangan harap perempuan dan pria bisa hidup berdampingan dengan setara.

Tentu perempuan dan pria tidak mungkin bisa sama, baik secara psikologis dan fisiologis keduanya memiliki kecenderungan yang berbeda. Namun pemahaman kata “setara” dan “sama” adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, sebab kata “kesetaraan” itu lebih mengacu hanya pada kesempatan yang sama, tidak boleh sampai pada tataran hasil yang sama.

Contoh: Jika ada insinyur laki-laki dengan jumlah sepuluh kali lebih banyak dari perempuan dan perusahaan bersikeras untuk menerapkan kesetaraan gender dengan merekrut jumlah pegawai yang seimbang dengan 50 pegawai pria, dan 50 pegawai perempuan, maka jelas bahwa tingkat keahlian insinyur wanita tidak bisa sama dengan tingkat keahlian insinyur pria. Hal ini tidak akan mungkin terjadi secara matematis, sehingga bukti ketimpangan struktural akan menjadi opresif justru karena perempuan mewakili 50% profesi dari semua tingkatan.

Dari contoh di atas, maka kita bisa tahu bahwa keadilan itu harus setara tapi tidak sama. Penyamaan terhadap sesuatu yang tidak mungkin sama adalah pemaksaan –ketidakadilan. Keadilan tidak akan pernah bisa tercapai seutuhnya bila jalan pemaksaan masih dilakukan, ia hanya bisa tumbuh subur melalui kesadaran untuk peduli.

Etika Kepedulian

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa kata “feminis” berasal dari kata “feminin”, dan kata “feminin” tersebut cenderung dilekatkan hanya pada sosok perempuan. Tak heran bila pada akhirnya feminisme juga cenderung dikerdilkan pada pergerakan perempuan melawan pria yang terlanjur dilekatkan dengan kata “maskulin”. Padahal, benarkah perempuan tidak memiliki sifat maskulin dan pria juga tidak memiliki sifat feminin?

Salah satu teori Psikoanalisis dari Carl G. Jung mengemukakan bahwa setiap manusia memiliki ketidaksadaran kolektif yang bersifat feminin dan maskulin, yaitu anima dan animus. Bila anima merupakan sosok feminin pada seorang pria, maka animus adalah sosok maskulin di dalam diri perempuan.

Melalui sisi feminin dalam diri pria, ia bisa memahami perempuan melalui bantuan anima yang terdapat dalam diri. Begitupun ketika seorang perempuan memahami pria, ia akan memanfaatkan animus yang terdapat dalam dirinya. Melalui anima maupun animus, psike manusia bisa menjadi lebih baik melalui pengenalan dan pengendalian dirinya, terutama dalam hal berinteraksi dengan individu yang lain.

Jika sosok feminin dan maskulin bak dua sisi koin tak terpisah, lalu pertanyaan berikutnya adalah, benarkah feminisme itu ada untuk melawan maskulinitas? Atau benarkah feminisme hadir untuk membuat perempuan dan pria saling bermusuhan? Atau barangkali feminisme itu muncul justru karena adanya ketidakpedulian manusia terhadap sekitarnya?

“The most violent element in society is ignorance.”
– Emma Goldman
 
Pada waktu masih kuliah, saya pernah menulis sinopsis dan materi dedah salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Gadis Pantai”. Gaya sastra Pramoedya yang sering menggunakan penokohan perempuan kuat dan berpengaruh, membuat beberapa orang yang disebut pakar, mengatakan bahwa ciri khas sastra Pram adalah bentuk sastra kritik feminisme.

Tapi menurut saya pribadi, kecenderungan Pram menggunakan perempuan sebagai tokoh berpengaruh itu bukanlah “ukurannya” feminisme atau bukan. Buat saya, ukuran feminis itu lebih pada kesetaraan gender, namun dalam mencapainya selalu menggunakan cara-cara yang feminin –tanpa kekerasan, anggun dan lembut. Gadis Pantai, yang tokoh utamanya adalah perempuan, tak semerta-merta membuat Pram fokus pada ketakadilan yang dialami oleh tokoh utama saja. Siapa yang akan menyangka bahwa Bendoro Rembang –pria yang menindas Gadis Pantai—bisa mendapat kekerasan dari Bendoro Demak yang ternyata adalah seorang perempuan.

Bagi saya novel Gadis Pantai ini murni pemberontakan yang mendobrak kemanusiaan manusia yang sudah lama ter-nina bobokan oleh agama, uang, dan kekuasaan. Dengan begitu, sudah dapat saya simpulkan pula bahwa kekhasan sastra Pram terletak pada pemberontakannya yang feminin. Melalui sastra, Pramoedya adalah contoh pria feminis karena sudah memberontak dengan keindahan. Pemberontakan semacam ini juga yang diperjuangkan oleh beberapa filsuf anarki, dengan tulisan dan karya sastranya untuk mendobrak kesadaran manusia agar dapat bersikap adil dan penuh kepedulian.

Anarkisme tidak melulu berbicara soal pembangkangan dan perlawanan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh negara. Pada hakikatnya, cita-cita anarkisme radikal lebih pada pembebasan manusia dari sistem hierarki yang dimulai dari sistem terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Bahwa penindasan hierarkis sudah terjadi dan menjadi pemakluman, seperti halnya mendoktrin anak untuk menjadi seorang penurut, istri harus melayani semua keinginan suami, suami harus menjadi penentu kebijakan dan sebagainya yang sering terjadi tanpa ada boleh perdebatan ataupun dialog kesepakatan bersama antar anggota keluarga.

Ketimpangan-ketimpangan atas kemanusiaan di tingkatan keluarga yang dianggap sepele itu, pada akhirnya membuat ketimpangan yang meluas hingga tingkatan negara, di mana pemerintah dianggap sebagai orang tua dan rakyat adalah anak yang harus menjadi penurut. Bukankah saat ini banyak yang bilang suara rakyat banyak tak didengarkan? Bukankah doktrin pendidikan yang terjadi di sebagian keluarga, hampir tak ada bedanya dengan doktrin dan kurikulum pendidikan yang sudah ditentukan oleh pemerintah?

Anarkisme tidak melulu berbicara dan menyuarakan pembubaran negara. Anarkisme percaya bahwa tiap manusia adalah mahkluk yang memiliki kodrat untuk bebas bertanggungjawab, meskipun tidak ada hukum tertulis seperti pasal-pasal karet yang dibuat pemerintah dan antek-anteknya. Dan karena anarkisme yang radikal mengajarkan soal kesetaraan manusia sama seperti feminisme, maka seorang feminis dan anarki harus bisa menunjukkan bagaimana mereka mengasihi sesamanya seperti mereka mengasihi dirinya sendiri. Bayangkan bila semua manusia sudah bisa seperti itu, apakah kita masih butuh negara?

Sunday, February 13, 2022

Untuk Ibuk

Banyak ucapan selamat padamu hari ini, 
tapi aku membenci 'tuk mendengarnya.
Tanggal ini selalu mengingatkanku, 
pada waktu yang tak tahu kapan kita akan berpisah.
Pada akhirnya aku sering bilang padamu,
"Jangan mati mendahului aku, Buk."

Thursday, February 10, 2022

Musafir Kafir

Kata mereka, Tuhan tak boleh dipertanyakan.
Lalu, kenapa Tuhan tak langsung kasih mati aku?
Kata mereka, Tuhan adalah keabsolutan.
Lalu, kenapa Tuhan sering memberiku kemungkinan?

Mereka selalu bilang aku kafir,
katanya, mempertanyakan berarti tak percaya.
Mereka selalu bilang tak seagama itu kafir,
katanya, agama mereka yang paling benar.

Akulah sang musafir kafir,
yang pikirannya selalu bepergian mempertanyakan Tuhan.
Akulah sang musafir kafir,
yang bangga menggunakan otak dari Tuhannya hingga dipanggil kafir.

Thursday, January 20, 2022

Pendidikan Anarkisme; Menanggapi Pendidikan Demokratis Radikal Ben Laksana

Setelah membaca tulisan Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis di Indoprogress, saya ingin menanggapinya dengan kedangkalan berpikir saya mengenai pendidikan. Namun sebelum menanggapi tulisan tersebut, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg sebagai prolog tulisan ini.

Bila memang benar demokrasi merupakan sistem bernegara yang paling ideal, mengapa justru permasalahan negara-negara demokrasi semakin rumit setiap harinya? Apakah kegagalan negara-negara tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintahnya menerapkan demokrasi? atau apakah demokrasi hanyalah sebuah omong kosong penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya secara terselubung (dengan adanya pemilu, penguasa akan selalu mengklaim kekuasaannya berasal dari rakyat)? Buat saya, demokrasi memang hanyalah sebuah omong kosong, tidak realistis untuk diperjuangkan, bukan soal utopis atau tidaknya, tapi lebih pada kesesatan logika berpikirnya.

Secara etimologi dan terminologi, bukankah demokrasi berarti pemerintahan rakyat? Namun secara epistimologi, mengapa konsep dan teori demokrasi telah mendurhakai asal-usul kata demokrasi itu sendiri? Mengapa dengan alasan modernitas –agar praktis dan hemat waktu, demokrasi sengaja didangkalkan dengan pemilu untuk perwakilan rakyat?

Bukankah suatu omong kosong yang mengatakan bahwa pemikiran dan suara seluruh rakyat dapat terwakilkan oleh segelitir orang yang mendapatkan dukungan hanya beberapa persen dari jumlah total rakyat –itupun tak jarang didapatkan dengan cara kotor? Kalau memang itu suatu omong kosong, lalu bagaimana rakyat bisa memerintah? Apakah definisi rakyat memang masih perlu dipertanyakan kembali –agar tahu rakyat yang seperti apa yang bisa memerintah? 

Lalu di manakah letak kerapuhan dari demokrasi? Apakah dari konsep dan teorinya? Atau karena modernitas? Namun, bukankah konsep dan teori selalu dipaksa untuk mengikuti modernitas bila ingin tetap digunakan? Bila memang benar demikian, bisakah demokrasi saat ini dikatakan demokrasi yang sesungguhnya –yang radikal dan katanya bisa egaliter meskipun cenderung menghierarkikan sesuatu dengan mayoritas dan minoritas? Kalau tidak bisa, maka sudah waktunya esensi demokrasi dipertanyakan kembali.

Ada beberapa esensi demokrasi yang patut dipertanyakan kembali, yaitu; Pertama, apa manfaat demokrasi bagi kemanusiaan? Kedua, di mana posisi demokrasi dalam memerdekakan manusia? Ketiga, siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan oleh demokrasi selama ini? Keempat, kenapa terjadi pendangkalan terhadap demokrasi dalam modernitas? Kelima dan terakhir, bagaimana demokrasi bisa bersikap egaliter dalam segala hal?

Pendidikan Demokratis yang Radikal ala Ben Laksana

Pemikiran Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis radikal secara garis besar saya menangkap bahwa pendidikan demokratis radikal bisa menjadi solusi dalam melawan kapitalisme, patriarki, rasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, hirarki, paternalisme, dsb.

Pada tulisan awalnya, Ben mengkritisi realitas pendidikan yang ada dan secara keseluruhan, terutama pada konsepsi “Merdeka Belajar” yang dicetuskan oleh Nadiem Makarim. Menurut Ben, konsepsi “Merdeka Belajar” yang dicetuskan oleh Nadiem hanyalah retorika belaka. Saya sepakat dengan anggapan Ben yang mengatakan bahwa konsep ini adalah daur-ulang (sampah?) logika lama pendidikan yang harus mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan “utama” pendidikan tak lain adalah untuk mencetak tenaga kerja.

Namun, sebenarnya tujuan “utama” pendidikan yang ada saat ini adalah tidak lepas dari adanya institusi pendidikan –yang mau tidak mau—sebagai alat ideologis negara, yang di mana hal tersebut juga sudah melenceng dari tujuan utama sebuah pendidikan, yaitu pembelajaran menjadi manusia yang utuh dan merdeka. Dan selama masih ada yang namanya institusi, maka tujuan utama itu lebih utopis dari pada tidak adanya negara.

Sedikit intermezo dari tulisan Ben, bahwa sesuai dengan jargon “Revolusi Industri 4.0” yang sering digaungkan sebelum pandemi, sekarang pun sudah mulai terlihat berjalannya jargon tersebut, di mana pandemi ini ternyata juga bagian dari “Revolusi Industri 4.0”. Bisa kita mulai lihat segala aspek kehidupan sekarang, dunia mulai mengebut digitalisasi sebagai bagian dari modernitas dan globalisasi. 

Dengan melihat apa yang telah dan sedang terjadi sekarang, digitalisasi dianggap dapat menyelamatkan semua nyawa manusia yang ada, di mana semuanya dituntut serba daring, semuanya harus melalui tahapan screening, agar dapat di-tracking dan tracing, lalu semakin kekinian semakin terklaim pembenaran bahwa manusia yang tidak bisa ataupun tidak mau terdigitalisasi akan dianggap primitif, tidak beradab dan bukanlah manusia lagi.

Bukankah selama ini hal yang paling sering dibingungkan oleh pemerintah hanya pada dua persoalan, ekonomi atau kesehatan. Bahwa bila pendidikan juga penting bagi pemerintah, persoalan pandemi ini seharusnya bisa melalui perdebatan-perdebatan ilmiah yang membangun, bukan malah menghentikan perdebatan ilmiah dengan pengklaiman benar-salah secara sepihak, tanpa adanya transparansi data. Untuk persoalan saintifik saja menghalalkan penyensoran, kok sok-sokan bilang demokrasi dapat memerdekakan?

Jika bagi Ben dunia pendidikan seharusnya dapat menjadi ruang-ruang kontra-hegemoni kapitalisme, patriarki, rasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, hirarki, dan paternalisme melalui radikalisasi demokrasi di dunia tersebut, maka saya sendiri masih belum bisa mencerna bentuk radikal dari sebuah konsep demokrasi, karena seperti yang saya pertanyakan sebelumnya di atas, bila konsep negara harus memiliki dua elemen dasar yaitu pemerintah dan rakyat, maka bagaimana bisa rakyat diidam-idamkan sebagai pemegang kekuasaan negara juga?

Apa definisi rakyat? Atau simpelnya, rakyat yang mana yang bisa atau harus memegang kekuasaan? Kalau soal rakyat yang mana saja masih bingung penentuannya, maka selamanya pemahaman demokrasi yang radikal akan selalu berhenti pada perdebatan definisi saja. Lalu, jika secara pendefinisian saja sudah saling kontradiktif, lalu bagaimana kita bisa mengharapkan realisasi yang ideal? Dan kalau soal demokrasi saja tidak bisa diimajinasikan –apalagi untuk direalisasikan—secara radikal, lalu apa gunanya memaksakan demokrasi untuk menjadi bagian dalam pendidikan?

Demokrasi VS Anarkisme

Sebelumnya, saya sudah mengajukan kelima pertanyaan esensial mengenai demokrasi. Di mana pertanyaan-pertanyaan ini sudah berusaha saya jawab sendiri dengan melihat sejarah dan realitas demokrasi yang ada. Kita kembali pada sejarah awal mula ide adanya demokrasi yang dimulai pada Yunani Kuno, di mana pada saat itu demokrasi diterapkan hanya untuk orang-orang yang dianggap sebagai warga negara, tentu pada saat itu hanya pria elit di atas usia 20 tahun yang dianggap sebagai warga negara, yang bisa berpartisipasi secara langsung dalam membentuk kebijakan.

Memang semakin ke sini, semakin luas definisi warga negara, apa lagi semenjak dihapuskannya sistem perbudakan manusia, namun apakah dengan perluasan definisi warga negara, implementasi demokrasi semakin baik? Kalau tidak, kenapa? Apa manfaatnya bagi kemanusiaan?

Bahkan sejarah awal mula adanya HAM juga bukan berlandaskan demokrasi. Belum lagi soal suara mayoritas dan minoritas, bukankah ini konsep yang ingin memisahkan umat manusia dalam dua kelompok ekstrim yang saling bertentangan? Lalu di mana letak peran radikalisme demokrasi yang dipercaya bisa memerdekakan manusia dari hegemoni kapitalisme, patriarki, rasisme dan tetek-bengeknya? Menurutku Ben terlalu omong kosong dalam hal ini, terutama di persoalan egaliter.

Seradikal-radikalnya demokrasi takkan mampu membuat pemahaman manusia lebih egaliter. Jika pemahaman egaliter hanya dipahami sebatas persamaan hak suara dalam pengambilan kebijakan berdasarkan suara terbanyak, maka radikalisme demokrasi tidak mampu menyelami radikalisme egaliter itu sendiri. Bahwa demokrasi radikal akan tetap selalu menghasilkan mayoritas dan minoritas, di situlah letak kegagalan utama demokrasi. Bukankah konsep seharusnya egaliter tak mengenal istilah mayoritas dan minoritas?

Lalu bila saya menganggap bahwa demokrasi yang radikal juga bukanlah solusi bagi pendidikan, maka apa yang hendak saya ajukan sebagai solusi? Sesuai dengan judul yang saya pakai, bahwa bila kita memang bersungguh-sungguh dan optimis untuk melawan hegemoni sistem-sistem yang bobrok dalam masyarakat –yang sebenarnya merujuk pada individu manusia—maka, pendidikan kita membutuhkan anarkisme yang radikal.

Mungkin anda akan bertanya-tanya mengapa pendidikan membutuhkan anarkisme, apakah saya menginginkan adanya kekacauan tanpa aturan dalam dunia pendidikan? Atau mungkin anda akan berpikir saya ingin menanamkan pemberontakan pada negara dalam dunia pendidikan? Maka, sebelum anda berpikir terlalu jauh mengenai kedua hal tersebut, saya akan menyanggahnya. Saya tidak ada keinginan untuk membuat kekacauan untuk pemberontakan pada negara, namun saya menginginkan pemberontakan pada aturan-aturan lama nan kaku yang tidak egaliter dalam mendidik manusia.

Mungkin masih sebagian dari anda berpikir bahwa anarkisme merupakan pergerakan atau pemberontakan melalui kekerasan. Saya tidak akan menyalahkan anda, karena kesalahan berpikir tersebut terjadi akibat kesalahan sebagian anarkis di abad 18-19 yang mungkin frustrasi lalu menggunakan metode kekerasan, yang akhirnya digunakan oleh penguasa mempropagandakan melalui media massa bahwa anarkisme adalah pemberontakan yang brutal. Padahal kalau mau memahami radikalisme atau dasar pemikiran suatu ideologi, harusnya dilihat dari sejarahnya, baik secara etimologi, epistimologi dan terminologi, sehingga tidak perlu terjadi kekerasan dengan mengatasnamakan dirinya sebagai anarkis.

Apa itu anarkisme? Secara etimologi, Anarkisme berasal dari kata dasar "anarki" dengan imbuhan -isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari anarchy (bahasa Inggris) atau anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang berakar dari kata bahasa Yunani, anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan a- (tidak/tanpa/nihil/negasi) yang disisipi /n/ dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani); maka, anarchos/anarchein berarti "tanpa pemerintahan" atau "pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya".

Mikhail Bakunin, salah satu tokoh politik dan pemikir gerakan anarkisme asal Rusia mengatakan, “Freedom without socialism is privilege and injustice; socialism without freedom is slavery and brutality.” Bahkan ketika berada di Bern untuk mengikuti kongres Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan tahun 1868, dia berpidato demikian, “Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya ingin meniadakan negara –peniadaan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.”

Lalu ada juga seorang feminis anarki, Emma Goldman, dalam esainya yang berjudul “Anarchism what it really stands for (1910)”, Emma mengajukan keberatan atas pernyataan bahwa anarkisme yang ia perjuangkan itu mendukung kekerasan dan penghancuran sebagai jalan praktisnya, baginya kedua hal itu merupakan gagasan yang kejam dan berbahaya, tidak sejalan dengan apa yang hendak diperjuangkan anarkisme. Emma menggambarkan anarkisme sebagai “filosofi tatanan sosial baru berdasarkan pada kebebasan yang tidak dibatasi oleh hukum buatan manusia. Teori bahwa segala bentuk pemerintahan dibangun di atas kekerasan, maka pemerintahan adalah hal yang salah, berbahaya, dan juga tak perlu.”

Maka, dari dua pemikir anarkisme di atas, saya ingin menyimpulkan secara singkat apa itu anarkisme bagi saya sendiri, serta alasan saya mengapa pendidikan manusia membutuhkan anarkisme sebagai dasar kurikulumnya dalam perlawanan hegemoni busuk yang sengaja dipelihara oleh pemerintah negara manapun. Bagi saya anarkisme sendiri memiliki kata kunci yang paling penting, yaitu kerja sama atau gotong royong.

Bagaimana bisa anarkisme saya identifikasikan sebagai gotong royong itu sendiri? Perlu diingat kembali bahwa semangat anarkisme adalah peniadaan sistem hierarkis, menganggap bahwa semua manusia itu setara –bukan sama, karena anarkisme juga mengetahui bahwa potensi tiap manusia berbeda-beda dan anarkisme mendukung penuh pengembangan masing-masing potensi.

Lalu dari sinilah, anarkisme juga menyadari sepenuhnya bahwa meskipun manusia mahkluk individualis yang unik, namun manusia tetap membutuhkan manusia lainnya untuk bisa berkembang melalui kolaborasi, kerja sama atau gotong royong. Bahwa kebaikan dari kolaborasi antar manusia dapat berjalan ke arah yang lebih positif bila tidak ada tendensi saling menjatuhkan, saling merasa lebih, namun saling memahami dan akhirnya saling membantu untuk dapat menjadi satu kesatuan.

Hal ini sama halnya seperti konsep spiritualis manapun, yang mengatakan bahwa manusia merupakan mikrokosmos yang artinya apapun yang terjadi pada satu manusia, bisa berpengaruh pada mahkluk bahkan semesta ini sendiri.

Lalu dari sini saya menginginkan adanya pendidikan anarkisme, yang di mana status guru-murid terhapus, sistem peringkat pintar-bodoh menjadi usang, kebijakan-kebijakan yang berlaku bukan berasal dari suara mayoritas-minoritas lagi dan pada akhirnya generasi anarkis dapat hidup seperti apa yang Emma pernah inginkan, yaitu “bagaimana kita bisa menjadi diri sendiri namun tetap bersatu dengan orang lain, memiliki perasaan mendalam terhadap sesama manusia namun tetap mempertahankan kualitas karakteristiknya sendiri.”

Dan saya sangat sepakat dengan Emma, karena bagi saya anak lahir bukanlah seperti kertas kosong yang harus diisi seenaknya oleh orang tuanya, guru-gurunya, dan masyarakat sekitarnya, seharusnya tulisan yang telah ada di dalam kertas anak dapat berkembang alur ceritanya seperti apa yang dikehendaki oleh anak-anak itu sendiri. Dengan pendidikan yang seperti demikian, pada akhirnya pendidikan tidak lagi menjadi pabrik pemikiran yang sesuai dengan pasar, namun menjadi sarana pengembangan bakat dan minat anak yang menyenangkan dan akhirnya memunculkan kesadaran tujuan hidup mereka agar dapat hidup bahagia bersama orang lain.

Memang akhir keinginan tulisan saya ini sebenarnya mirip dengan keinginan dan harapan tulisan Ben terhadap radikalisasi demokrasi di institusi pendidikan, namun bagi saya tetaplah omong kosong bila mindset dalam tulisan Ben tetap bersikukuh dengan demokrasi itu sendiri.

Sadarkah kita apa konspirasi terbesar sepanjang sejarah umat manusia yang masih bertahan sampai sekarang? Ya, demokrasi. Tidak ada konspirasi yang terstruktur, tersistematis dan termasif seperti demokrasi. Para penguasa dunia sudah banyak belajar dari sistem-sistem terdahulu jika manusia cenderung mengikuti suara mayoritas dan hanya demokrasi yang bisa sangat lancar melakukan propaganda kebenaran mayoritas lalu menjadikannya sebagai suatu hukum bernegara.

Kalau memang benar demokrasi adalah suatu sistem bernegara yang paling bagus buat rakyat, kenapa Amerika harus repot-repot memaksa semua negara di dunia menjadi negara demokrasi? Sampai kadang-kadang bikin perang di negara yang tidak mau ganti jadi demokrasi. Dalam demokrasi, kebenaran dijadikan sebagai suatu objek, bukankah objektifitas hanyalah kumpulan dari subjektifitas? 

Itulah kenapa dalam demokrasi, suara mayoritas adalah suara kebenaran, sedangkan suara minoritas hanya dianggap sebagai spekulasi yang tidak mungkin benar. Dan hanyalah penguasa yang memiliki modal mumpuni untuk melakukan propaganda kebenaran subjektifnya menjadi kebenaran mayoritas. 

Maka dengan tulisan inipun saya menegaskan bahwa meskipun pandangan saya mengenai kemustahilan demokrasi radikal yang diimpikan Ben adalah pandangan paling minoritas, saya tetap tidak akan peduli, setidaknya saya sudah berani menyampaikan ketidaksetujuan pribadi saya pada orang secerdas Ben. Tabik!

Thursday, December 16, 2021

Kenapa Hidup ....., Jika Mati .....

Jika mati bisa dianggap suatu keberuntungan,
kenapa kita susah melihat keberuntungan hidup?
Jika kematian saja bisa disyukuri,
kenapa dalam kehidupan kita sering mengeluh?
Jika kepastian mati harus dilalui berani,
kenapa ketidakpastian hidup kita isi ketakutan?
Kenapa kita masih hidup sampai sekarang,
jika kita tak bisa menikmati proses menuju mati?
 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri