Setelah membaca tulisan Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis di Indoprogress, saya ingin menanggapinya dengan kedangkalan berpikir saya mengenai pendidikan. Namun sebelum menanggapi tulisan tersebut, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg sebagai prolog tulisan ini.
Bila memang benar demokrasi merupakan sistem bernegara yang paling ideal, mengapa justru permasalahan negara-negara demokrasi semakin rumit setiap harinya? Apakah kegagalan negara-negara tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintahnya menerapkan demokrasi? atau apakah demokrasi hanyalah sebuah omong kosong penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya secara terselubung (dengan adanya pemilu, penguasa akan selalu mengklaim kekuasaannya berasal dari rakyat)? Buat saya, demokrasi memang hanyalah sebuah omong kosong, tidak realistis untuk diperjuangkan, bukan soal utopis atau tidaknya, tapi lebih pada kesesatan logika berpikirnya.
Secara etimologi dan terminologi, bukankah demokrasi berarti pemerintahan rakyat? Namun secara epistimologi, mengapa konsep dan teori demokrasi telah mendurhakai asal-usul kata demokrasi itu sendiri? Mengapa dengan alasan modernitas –agar praktis dan hemat waktu, demokrasi sengaja didangkalkan dengan pemilu untuk perwakilan rakyat?
Bukankah suatu omong kosong yang mengatakan bahwa pemikiran dan suara seluruh rakyat dapat terwakilkan oleh segelitir orang yang mendapatkan dukungan hanya beberapa persen dari jumlah total rakyat –itupun tak jarang didapatkan dengan cara kotor? Kalau memang itu suatu omong kosong, lalu bagaimana rakyat bisa memerintah? Apakah definisi rakyat memang masih perlu dipertanyakan kembali –agar tahu rakyat yang seperti apa yang bisa memerintah?
Lalu di manakah letak kerapuhan dari demokrasi? Apakah dari konsep dan teorinya? Atau karena modernitas? Namun, bukankah konsep dan teori selalu dipaksa untuk mengikuti modernitas bila ingin tetap digunakan? Bila memang benar demikian, bisakah demokrasi saat ini dikatakan demokrasi yang sesungguhnya –yang radikal dan katanya bisa egaliter meskipun cenderung menghierarkikan sesuatu dengan mayoritas dan minoritas? Kalau tidak bisa, maka sudah waktunya esensi demokrasi dipertanyakan kembali.
Ada beberapa esensi demokrasi yang patut dipertanyakan kembali, yaitu; Pertama, apa manfaat demokrasi bagi kemanusiaan? Kedua, di mana posisi demokrasi dalam memerdekakan manusia? Ketiga, siapa saja yang diuntungkan dan dirugikan oleh demokrasi selama ini? Keempat, kenapa terjadi pendangkalan terhadap demokrasi dalam modernitas? Kelima dan terakhir, bagaimana demokrasi bisa bersikap egaliter dalam segala hal?
Pendidikan Demokratis yang Radikal ala Ben Laksana
Pemikiran Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis radikal secara garis besar saya menangkap bahwa pendidikan demokratis radikal bisa menjadi solusi dalam melawan kapitalisme, patriarki, rasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, hirarki, paternalisme, dsb.
Pada tulisan awalnya, Ben mengkritisi realitas pendidikan yang ada dan secara keseluruhan, terutama pada konsepsi “Merdeka Belajar” yang dicetuskan oleh Nadiem Makarim. Menurut Ben, konsepsi “Merdeka Belajar” yang dicetuskan oleh Nadiem hanyalah retorika belaka. Saya sepakat dengan anggapan Ben yang mengatakan bahwa konsep ini adalah daur-ulang (sampah?) logika lama pendidikan yang harus mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan “utama” pendidikan tak lain adalah untuk mencetak tenaga kerja.
Namun, sebenarnya tujuan “utama” pendidikan yang ada saat ini adalah tidak lepas dari adanya institusi pendidikan –yang mau tidak mau—sebagai alat ideologis negara, yang di mana hal tersebut juga sudah melenceng dari tujuan utama sebuah pendidikan, yaitu pembelajaran menjadi manusia yang utuh dan merdeka. Dan selama masih ada yang namanya institusi, maka tujuan utama itu lebih utopis dari pada tidak adanya negara.
Sedikit intermezo dari tulisan Ben, bahwa sesuai dengan jargon “Revolusi Industri 4.0” yang sering digaungkan sebelum pandemi, sekarang pun sudah mulai terlihat berjalannya jargon tersebut, di mana pandemi ini ternyata juga bagian dari “Revolusi Industri 4.0”. Bisa kita mulai lihat segala aspek kehidupan sekarang, dunia mulai mengebut digitalisasi sebagai bagian dari modernitas dan globalisasi.
Dengan melihat apa yang telah dan sedang terjadi sekarang, digitalisasi dianggap dapat menyelamatkan semua nyawa manusia yang ada, di mana semuanya dituntut serba daring, semuanya harus melalui tahapan screening, agar dapat di-tracking dan tracing, lalu semakin kekinian semakin terklaim pembenaran bahwa manusia yang tidak bisa ataupun tidak mau terdigitalisasi akan dianggap primitif, tidak beradab dan bukanlah manusia lagi.
Bukankah selama ini hal yang paling sering dibingungkan oleh pemerintah hanya pada dua persoalan, ekonomi atau kesehatan. Bahwa bila pendidikan juga penting bagi pemerintah, persoalan pandemi ini seharusnya bisa melalui perdebatan-perdebatan ilmiah yang membangun, bukan malah menghentikan perdebatan ilmiah dengan pengklaiman benar-salah secara sepihak, tanpa adanya transparansi data. Untuk persoalan saintifik saja menghalalkan penyensoran, kok sok-sokan bilang demokrasi dapat memerdekakan?
Jika bagi Ben dunia pendidikan seharusnya dapat menjadi ruang-ruang kontra-hegemoni kapitalisme, patriarki, rasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, hirarki, dan paternalisme melalui radikalisasi demokrasi di dunia tersebut, maka saya sendiri masih belum bisa mencerna bentuk radikal dari sebuah konsep demokrasi, karena seperti yang saya pertanyakan sebelumnya di atas, bila konsep negara harus memiliki dua elemen dasar yaitu pemerintah dan rakyat, maka bagaimana bisa rakyat diidam-idamkan sebagai pemegang kekuasaan negara juga?
Apa definisi rakyat? Atau simpelnya, rakyat yang mana yang bisa atau harus memegang kekuasaan? Kalau soal rakyat yang mana saja masih bingung penentuannya, maka selamanya pemahaman demokrasi yang radikal akan selalu berhenti pada perdebatan definisi saja. Lalu, jika secara pendefinisian saja sudah saling kontradiktif, lalu bagaimana kita bisa mengharapkan realisasi yang ideal? Dan kalau soal demokrasi saja tidak bisa diimajinasikan –apalagi untuk direalisasikan—secara radikal, lalu apa gunanya memaksakan demokrasi untuk menjadi bagian dalam pendidikan?
Demokrasi VS Anarkisme
Sebelumnya, saya sudah mengajukan kelima pertanyaan esensial mengenai demokrasi. Di mana pertanyaan-pertanyaan ini sudah berusaha saya jawab sendiri dengan melihat sejarah dan realitas demokrasi yang ada. Kita kembali pada sejarah awal mula ide adanya demokrasi yang dimulai pada Yunani Kuno, di mana pada saat itu demokrasi diterapkan hanya untuk orang-orang yang dianggap sebagai warga negara, tentu pada saat itu hanya pria elit di atas usia 20 tahun yang dianggap sebagai warga negara, yang bisa berpartisipasi secara langsung dalam membentuk kebijakan.
Memang semakin ke sini, semakin luas definisi warga negara, apa lagi semenjak dihapuskannya sistem perbudakan manusia, namun apakah dengan perluasan definisi warga negara, implementasi demokrasi semakin baik? Kalau tidak, kenapa? Apa manfaatnya bagi kemanusiaan?
Bahkan sejarah awal mula adanya HAM juga bukan berlandaskan demokrasi. Belum lagi soal suara mayoritas dan minoritas, bukankah ini konsep yang ingin memisahkan umat manusia dalam dua kelompok ekstrim yang saling bertentangan? Lalu di mana letak peran radikalisme demokrasi yang dipercaya bisa memerdekakan manusia dari hegemoni kapitalisme, patriarki, rasisme dan tetek-bengeknya? Menurutku Ben terlalu omong kosong dalam hal ini, terutama di persoalan egaliter.
Seradikal-radikalnya demokrasi takkan mampu membuat pemahaman manusia lebih egaliter. Jika pemahaman egaliter hanya dipahami sebatas persamaan hak suara dalam pengambilan kebijakan berdasarkan suara terbanyak, maka radikalisme demokrasi tidak mampu menyelami radikalisme egaliter itu sendiri. Bahwa demokrasi radikal akan tetap selalu menghasilkan mayoritas dan minoritas, di situlah letak kegagalan utama demokrasi. Bukankah konsep seharusnya egaliter tak mengenal istilah mayoritas dan minoritas?
Lalu bila saya menganggap bahwa demokrasi yang radikal juga bukanlah solusi bagi pendidikan, maka apa yang hendak saya ajukan sebagai solusi? Sesuai dengan judul yang saya pakai, bahwa bila kita memang bersungguh-sungguh dan optimis untuk melawan hegemoni sistem-sistem yang bobrok dalam masyarakat –yang sebenarnya merujuk pada individu manusia—maka, pendidikan kita membutuhkan anarkisme yang radikal.
Mungkin anda akan bertanya-tanya mengapa pendidikan membutuhkan anarkisme, apakah saya menginginkan adanya kekacauan tanpa aturan dalam dunia pendidikan? Atau mungkin anda akan berpikir saya ingin menanamkan pemberontakan pada negara dalam dunia pendidikan? Maka, sebelum anda berpikir terlalu jauh mengenai kedua hal tersebut, saya akan menyanggahnya. Saya tidak ada keinginan untuk membuat kekacauan untuk pemberontakan pada negara, namun saya menginginkan pemberontakan pada aturan-aturan lama nan kaku yang tidak egaliter dalam mendidik manusia.
Mungkin masih sebagian dari anda berpikir bahwa anarkisme merupakan pergerakan atau pemberontakan melalui kekerasan. Saya tidak akan menyalahkan anda, karena kesalahan berpikir tersebut terjadi akibat kesalahan sebagian anarkis di abad 18-19 yang mungkin frustrasi lalu menggunakan metode kekerasan, yang akhirnya digunakan oleh penguasa mempropagandakan melalui media massa bahwa anarkisme adalah pemberontakan yang brutal. Padahal kalau mau memahami radikalisme atau dasar pemikiran suatu ideologi, harusnya dilihat dari sejarahnya, baik secara etimologi, epistimologi dan terminologi, sehingga tidak perlu terjadi kekerasan dengan mengatasnamakan dirinya sebagai anarkis.
Apa itu anarkisme? Secara etimologi, Anarkisme berasal dari kata dasar "anarki" dengan imbuhan -isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari anarchy (bahasa Inggris) atau anarchie (Belanda/Jerman/Prancis), yang berakar dari kata bahasa Yunani, anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan a- (tidak/tanpa/nihil/negasi) yang disisipi /n/ dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani); maka, anarchos/anarchein berarti "tanpa pemerintahan" atau "pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya".
Mikhail Bakunin, salah satu tokoh politik dan pemikir gerakan anarkisme asal Rusia mengatakan, “Freedom without socialism is privilege and injustice; socialism without freedom is slavery and brutality.” Bahkan ketika berada di Bern untuk mengikuti kongres Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan tahun 1868, dia berpidato demikian, “Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya ingin meniadakan negara –peniadaan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.”
Lalu ada juga seorang feminis anarki, Emma Goldman, dalam esainya yang berjudul “Anarchism what it really stands for (1910)”, Emma mengajukan keberatan atas pernyataan bahwa anarkisme yang ia perjuangkan itu mendukung kekerasan dan penghancuran sebagai jalan praktisnya, baginya kedua hal itu merupakan gagasan yang kejam dan berbahaya, tidak sejalan dengan apa yang hendak diperjuangkan anarkisme. Emma menggambarkan anarkisme sebagai “filosofi tatanan sosial baru berdasarkan pada kebebasan yang tidak dibatasi oleh hukum buatan manusia. Teori bahwa segala bentuk pemerintahan dibangun di atas kekerasan, maka pemerintahan adalah hal yang salah, berbahaya, dan juga tak perlu.”
Maka, dari dua pemikir anarkisme di atas, saya ingin menyimpulkan secara singkat apa itu anarkisme bagi saya sendiri, serta alasan saya mengapa pendidikan manusia membutuhkan anarkisme sebagai dasar kurikulumnya dalam perlawanan hegemoni busuk yang sengaja dipelihara oleh pemerintah negara manapun. Bagi saya anarkisme sendiri memiliki kata kunci yang paling penting, yaitu kerja sama atau gotong royong.
Bagaimana bisa anarkisme saya identifikasikan sebagai gotong royong itu sendiri? Perlu diingat kembali bahwa semangat anarkisme adalah peniadaan sistem hierarkis, menganggap bahwa semua manusia itu setara –bukan sama, karena anarkisme juga mengetahui bahwa potensi tiap manusia berbeda-beda dan anarkisme mendukung penuh pengembangan masing-masing potensi.
Lalu dari sinilah, anarkisme juga menyadari sepenuhnya bahwa meskipun manusia mahkluk individualis yang unik, namun manusia tetap membutuhkan manusia lainnya untuk bisa berkembang melalui kolaborasi, kerja sama atau gotong royong. Bahwa kebaikan dari kolaborasi antar manusia dapat berjalan ke arah yang lebih positif bila tidak ada tendensi saling menjatuhkan, saling merasa lebih, namun saling memahami dan akhirnya saling membantu untuk dapat menjadi satu kesatuan.
Hal ini sama halnya seperti konsep spiritualis manapun, yang mengatakan bahwa manusia merupakan mikrokosmos yang artinya apapun yang terjadi pada satu manusia, bisa berpengaruh pada mahkluk bahkan semesta ini sendiri.
Lalu dari sini saya menginginkan adanya pendidikan anarkisme, yang di mana status guru-murid terhapus, sistem peringkat pintar-bodoh menjadi usang, kebijakan-kebijakan yang berlaku bukan berasal dari suara mayoritas-minoritas lagi dan pada akhirnya generasi anarkis dapat hidup seperti apa yang Emma pernah inginkan, yaitu “bagaimana kita bisa menjadi diri sendiri namun tetap bersatu dengan orang lain, memiliki perasaan mendalam terhadap sesama manusia namun tetap mempertahankan kualitas karakteristiknya sendiri.”
Dan saya sangat sepakat dengan Emma, karena bagi saya anak lahir bukanlah seperti kertas kosong yang harus diisi seenaknya oleh orang tuanya, guru-gurunya, dan masyarakat sekitarnya, seharusnya tulisan yang telah ada di dalam kertas anak dapat berkembang alur ceritanya seperti apa yang dikehendaki oleh anak-anak itu sendiri. Dengan pendidikan yang seperti demikian, pada akhirnya pendidikan tidak lagi menjadi pabrik pemikiran yang sesuai dengan pasar, namun menjadi sarana pengembangan bakat dan minat anak yang menyenangkan dan akhirnya memunculkan kesadaran tujuan hidup mereka agar dapat hidup bahagia bersama orang lain.
Memang akhir keinginan tulisan saya ini sebenarnya mirip dengan keinginan dan harapan tulisan Ben terhadap radikalisasi demokrasi di institusi pendidikan, namun bagi saya tetaplah omong kosong bila mindset dalam tulisan Ben tetap bersikukuh dengan demokrasi itu sendiri.
Sadarkah kita apa konspirasi terbesar sepanjang sejarah umat manusia yang masih bertahan sampai sekarang? Ya, demokrasi. Tidak ada konspirasi yang terstruktur, tersistematis dan termasif seperti demokrasi. Para penguasa dunia sudah banyak belajar dari sistem-sistem terdahulu jika manusia cenderung mengikuti suara mayoritas dan hanya demokrasi yang bisa sangat lancar melakukan propaganda kebenaran mayoritas lalu menjadikannya sebagai suatu hukum bernegara.
Kalau memang benar demokrasi adalah suatu sistem bernegara yang paling bagus buat rakyat, kenapa Amerika harus repot-repot memaksa semua negara di dunia menjadi negara demokrasi? Sampai kadang-kadang bikin perang di negara yang tidak mau ganti jadi demokrasi. Dalam demokrasi, kebenaran dijadikan sebagai suatu objek, bukankah objektifitas hanyalah kumpulan dari subjektifitas?
Itulah kenapa dalam demokrasi, suara mayoritas adalah suara kebenaran, sedangkan suara minoritas hanya dianggap sebagai spekulasi yang tidak mungkin benar. Dan hanyalah penguasa yang memiliki modal mumpuni untuk melakukan propaganda kebenaran subjektifnya menjadi kebenaran mayoritas.
Maka dengan tulisan inipun saya menegaskan bahwa meskipun pandangan saya mengenai kemustahilan demokrasi radikal yang diimpikan Ben adalah pandangan paling minoritas, saya tetap tidak akan peduli, setidaknya saya sudah berani menyampaikan ketidaksetujuan pribadi saya pada orang secerdas Ben. Tabik!