Sunday, November 20, 2022

Feminisme Harus Anarkis; Sebuah Etika Keadilan dan Kepedulian

“Anarchism, to me, means not only the denial of authority, not only a new economy, but a revision of the principles of morality. It means the development of the individual as well as the assertion of the individual. It means self-responsibility, and not leader worship.”
- Voltairine de Cleyre

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah mencoba mengkritisi tulisan Ben Laksana di Indoprogress mengenai Pendidikan Demokrasi Radikal yang juga sudah terbit menjadi sebuah buku. Sebagai sebuah prolog tulisan ini, saya akan sedikit mengulang garis besar perdebatan mengenai demokrasi. Dalam tulisan tersebut, saya mempertanyakan kembali konsep berpikir Ben yang menginginkan adanya pendidikan demokrasi radikal untuk menciptakan ruang belajar yang egaliter dan bisa menjadi solusi dalam melawan kapitalisme, patriarki, rasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, hierarki, paternalisme, dan istilah-istilah memusingkan lainnya.

Bagi saya yang tidak suka berpikir rumit, demokrasi hanyalah sebuah omong kosong dan tak lebih dari sesat logika alias njelimet. Mengapa? Pertama, bentuk radikal dari sebuah konsep demokrasi itu seperti apa? Bila konsep negara harus memiliki dua elemen dasar yaitu pemerintah dan rakyat, maka bagaimana bisa rakyat diidam-idamkan sebagai pemegang kekuasaan negara juga? Apa definisi dari pemerintah dan rakyat? Rakyat mana yang bisa atau harus memegang pemerintahan atau kekuasaan?

Kedua, jika pemahaman egaliter hanya dipahami sebatas persamaan hak suara dalam pengambilan kebijakan berdasarkan suara terbanyak, maka radikalisme demokrasi tidak mampu menyelami radikalisme egaliter itu sendiri. Bahwa demokrasi radikal akan tetap selalu menghasilkan mayoritas dan minoritas. Bukankah seharusnya konsep egaliter yang radikal tak mengenal istilah mayoritas dan minoritas?

Ketiga, sejak kapan demokrasi bisa memerdekakan manusia secara nyata dan empiris? Sejarah awal mula muncul ide demokrasi saja sudah diskriminatif, di mana pada saat itu hanya pria elit di atas usia 20 tahun yang dianggap sebagai warga negara, yang bisa berpartisipasi secara langsung dalam membentuk kebijakan. Ide awal saja sudah terbentuk secara seksis, partiarkis dan hierarkis, bagaimana demokrasi bisa melawan tiga elemen pembentuk awalnya? Omong kosong.

Dari ketiga alasan mengapa demokrasi adalah omong kosong, maka saya menginginkan adanya perlawanan berdasarkan konsep anarkisme yang radikal. Kenapa radikal? Karena paradigma atau pola berpikir kebanyakan orang mengenai anarkisme sudah tidak sesuai dengan konsep awalnya, maka radikalisasi konsep anarkisme sudah seharusnya digaungkan kembali sesuai pada ide pertama.

Anarkisme Bukanlah Kekerasan

Banyak bahkan semua orang-orang yang saya temui dan berdiskusi, selalu menganggap  bahwa anarkisme itu sama dengan kekerasan. Ini adalah pola berpikir yang sesat, 100 persen sesat. Filsuf-filsuf anarkis ternama seperti Mikhail Bakunin dan Emma Goldman, selalu membantah bahwa perlawanan mereka harus menggunakan kekerasan. Tidak. Mereka berdua justru mengutuk keras perlawanan orang-orang sok anarkis yang menggunakan jalan kekerasan.

Bagi Bakunin dan Goldman, jalan kekerasan justru akan mengaburkan tujuan dan alasan munculnya anarkisme. Penghapusan konsep negara yang menjadi tujuan terbesar anarkisme, tidak akan pernah bisa dihilangkan dengan jalan kekerasan, sebab tidak ada sejarah pendirian suatu negara apapun yang terlepas dari adanya kekerasan. Dari pola berpikir seperti itu juga akhirnya Bakunin dan Goldman berpendapat bahwa, jika anarkisme menggunakan jalan kekerasan maka itu tidak akan ada bedanya dengan negara. Tidak mungkin penghapusan kekerasan –sebagai representasi negara—dilakukan menggunakan cara yang sama.

Anarkisme merupakan pemahaman yang menolak penindasan, pemerintahan dan peraturan, yang sebenarnya adalah penolakan untuk menindas dan ditindas; memerintah dan diperintah; serta mengatur dan diatur oleh pihak di luar dirinya. Pemahaman inilah yang sebenarnya mendasari setiap pemikiran anarkisme, di mana pada akhirnya seorang anarkis harus bisa memperlakukan semua manusia dengan setara, tanpa diskriminasi, tanpa hierarki, dan tanpa penindasan –tanpa kekerasan.

Etika Keadilan

Awal mula tercetusnya ide feminisme memang tidak pernah bisa dilepaskan dari sejarah ketertindasan perempuan sejak dahulu. Perlu diakui bahwa di belahan dunia manapun, sejarah peradaban manusia selalu menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua setelah pria. Secara jelas sejarah mengisahkan bahwa tubuh perempuan merupakan tempat hampir seluruh penderitaan dan ketidakadilan di dunia adalah hal yang sulit terpatahkan. Mulai dari kodrat melahirkan, ekonomi, politik, sosial, hingga seks –dibandingkan pria, perempuan lebih jarang mendapatkan orgasme—adalah gambaran singkat ketimpangan yang dialami perempuan hingga sekarang.

Tetapi meskipun saya mengatakan itu semua adalah hal yang sulit terpatahkan, bukan berarti tidak ada perdebatan soal itu. Sebab, argumen-argumen di atas selalu masih memiliki celah untuk dibantah, seperti argumen Jordan Peterson mengenai perbandingan jumlah pria dan perempuan yang harus melakukan pekerjaan berbahaya, atau kesalahan penyamarataan bahwa agresifitas merupakan hal alami yang hanya dimiliki pria. Pada poin terakhir ini, justru sejarah manusia telah membuktikan bahwa ketidakadilan terhadap pria toh tetap saja bisa terjadi, ketika seorang perempuan memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan pria.

Dari situ kemudian saya menjadi bertanya, lalu apa penyebab sebenarnya dari ketidakadilan itu? Hierarki. Tentunya kita semua harus mengakui bahwa manusia kerap menyalahgunakan keunggulannya –entah itu jabatan, status sosial, ekonomi, dan lain-lain—untuk melakukan ketidakadilan tersebut. Bahkan bila kita ingat ada salah satu kisah pada suatu kitab, mengenai budak Yusuf yang mendapat hukuman karena dituduh akan memperkosa istri seorang pejabat Mesir, kita seharusnya tersadar bahwa ternyata ketidakadilan itu tidak memandang kelamin.

Sistem patriarki yang hierarkis pada dasarnya tidak peduli dengan kelamin. Selama manusia masih menyalahgunakan keunggulan untuk penindasan terhadap manusia lainnya, maka jangan harap kesetaraan apa pun bisa terjadi. Dan selama feminisme selalu berkutat pada kelamin, maka jangan harap perempuan dan pria bisa hidup berdampingan dengan setara.

Tentu perempuan dan pria tidak mungkin bisa sama, baik secara psikologis dan fisiologis keduanya memiliki kecenderungan yang berbeda. Namun pemahaman kata “setara” dan “sama” adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, sebab kata “kesetaraan” itu lebih mengacu hanya pada kesempatan yang sama, tidak boleh sampai pada tataran hasil yang sama.

Contoh: Jika ada insinyur laki-laki dengan jumlah sepuluh kali lebih banyak dari perempuan dan perusahaan bersikeras untuk menerapkan kesetaraan gender dengan merekrut jumlah pegawai yang seimbang dengan 50 pegawai pria, dan 50 pegawai perempuan, maka jelas bahwa tingkat keahlian insinyur wanita tidak bisa sama dengan tingkat keahlian insinyur pria. Hal ini tidak akan mungkin terjadi secara matematis, sehingga bukti ketimpangan struktural akan menjadi opresif justru karena perempuan mewakili 50% profesi dari semua tingkatan.

Dari contoh di atas, maka kita bisa tahu bahwa keadilan itu harus setara tapi tidak sama. Penyamaan terhadap sesuatu yang tidak mungkin sama adalah pemaksaan –ketidakadilan. Keadilan tidak akan pernah bisa tercapai seutuhnya bila jalan pemaksaan masih dilakukan, ia hanya bisa tumbuh subur melalui kesadaran untuk peduli.

Etika Kepedulian

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa kata “feminis” berasal dari kata “feminin”, dan kata “feminin” tersebut cenderung dilekatkan hanya pada sosok perempuan. Tak heran bila pada akhirnya feminisme juga cenderung dikerdilkan pada pergerakan perempuan melawan pria yang terlanjur dilekatkan dengan kata “maskulin”. Padahal, benarkah perempuan tidak memiliki sifat maskulin dan pria juga tidak memiliki sifat feminin?

Salah satu teori Psikoanalisis dari Carl G. Jung mengemukakan bahwa setiap manusia memiliki ketidaksadaran kolektif yang bersifat feminin dan maskulin, yaitu anima dan animus. Bila anima merupakan sosok feminin pada seorang pria, maka animus adalah sosok maskulin di dalam diri perempuan.

Melalui sisi feminin dalam diri pria, ia bisa memahami perempuan melalui bantuan anima yang terdapat dalam diri. Begitupun ketika seorang perempuan memahami pria, ia akan memanfaatkan animus yang terdapat dalam dirinya. Melalui anima maupun animus, psike manusia bisa menjadi lebih baik melalui pengenalan dan pengendalian dirinya, terutama dalam hal berinteraksi dengan individu yang lain.

Jika sosok feminin dan maskulin bak dua sisi koin tak terpisah, lalu pertanyaan berikutnya adalah, benarkah feminisme itu ada untuk melawan maskulinitas? Atau benarkah feminisme hadir untuk membuat perempuan dan pria saling bermusuhan? Atau barangkali feminisme itu muncul justru karena adanya ketidakpedulian manusia terhadap sekitarnya?

“The most violent element in society is ignorance.”
– Emma Goldman
 
Pada waktu masih kuliah, saya pernah menulis sinopsis dan materi dedah salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Gadis Pantai”. Gaya sastra Pramoedya yang sering menggunakan penokohan perempuan kuat dan berpengaruh, membuat beberapa orang yang disebut pakar, mengatakan bahwa ciri khas sastra Pram adalah bentuk sastra kritik feminisme.

Tapi menurut saya pribadi, kecenderungan Pram menggunakan perempuan sebagai tokoh berpengaruh itu bukanlah “ukurannya” feminisme atau bukan. Buat saya, ukuran feminis itu lebih pada kesetaraan gender, namun dalam mencapainya selalu menggunakan cara-cara yang feminin –tanpa kekerasan, anggun dan lembut. Gadis Pantai, yang tokoh utamanya adalah perempuan, tak semerta-merta membuat Pram fokus pada ketakadilan yang dialami oleh tokoh utama saja. Siapa yang akan menyangka bahwa Bendoro Rembang –pria yang menindas Gadis Pantai—bisa mendapat kekerasan dari Bendoro Demak yang ternyata adalah seorang perempuan.

Bagi saya novel Gadis Pantai ini murni pemberontakan yang mendobrak kemanusiaan manusia yang sudah lama ter-nina bobokan oleh agama, uang, dan kekuasaan. Dengan begitu, sudah dapat saya simpulkan pula bahwa kekhasan sastra Pram terletak pada pemberontakannya yang feminin. Melalui sastra, Pramoedya adalah contoh pria feminis karena sudah memberontak dengan keindahan. Pemberontakan semacam ini juga yang diperjuangkan oleh beberapa filsuf anarki, dengan tulisan dan karya sastranya untuk mendobrak kesadaran manusia agar dapat bersikap adil dan penuh kepedulian.

Anarkisme tidak melulu berbicara soal pembangkangan dan perlawanan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh negara. Pada hakikatnya, cita-cita anarkisme radikal lebih pada pembebasan manusia dari sistem hierarki yang dimulai dari sistem terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Bahwa penindasan hierarkis sudah terjadi dan menjadi pemakluman, seperti halnya mendoktrin anak untuk menjadi seorang penurut, istri harus melayani semua keinginan suami, suami harus menjadi penentu kebijakan dan sebagainya yang sering terjadi tanpa ada boleh perdebatan ataupun dialog kesepakatan bersama antar anggota keluarga.

Ketimpangan-ketimpangan atas kemanusiaan di tingkatan keluarga yang dianggap sepele itu, pada akhirnya membuat ketimpangan yang meluas hingga tingkatan negara, di mana pemerintah dianggap sebagai orang tua dan rakyat adalah anak yang harus menjadi penurut. Bukankah saat ini banyak yang bilang suara rakyat banyak tak didengarkan? Bukankah doktrin pendidikan yang terjadi di sebagian keluarga, hampir tak ada bedanya dengan doktrin dan kurikulum pendidikan yang sudah ditentukan oleh pemerintah?

Anarkisme tidak melulu berbicara dan menyuarakan pembubaran negara. Anarkisme percaya bahwa tiap manusia adalah mahkluk yang memiliki kodrat untuk bebas bertanggungjawab, meskipun tidak ada hukum tertulis seperti pasal-pasal karet yang dibuat pemerintah dan antek-anteknya. Dan karena anarkisme yang radikal mengajarkan soal kesetaraan manusia sama seperti feminisme, maka seorang feminis dan anarki harus bisa menunjukkan bagaimana mereka mengasihi sesamanya seperti mereka mengasihi dirinya sendiri. Bayangkan bila semua manusia sudah bisa seperti itu, apakah kita masih butuh negara?
 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri