Skip to main content

Aku Seorang Satyameva


“Aku tidak mempunyai agama, namun aku bukanlah seorang agnostik ataupun ateis. Aku lebih senang menyebut diriku Satyameva (Keyakinan akan Kebenaran Sendiri)”.

Kalimat di atas adalah gambaran sedikit tentang kepercayaanku yang biasanya akan menyangkut “tentang” Ketuhanan dan siapa Tuhanku. Namun disini aku tidak akan menyebutkan siapa Tuhan yang aku percayai sekarang.

Bermula dari rasa kecewa dan muakku kepada Tuhan yang diajarkan oleh agamaku dahulu (Kristen Protestan) sejak aku masih kelas 11 (sama dengan kelas dua SMA). Entah mengapa, aku merasa bahwa dalam agama yang aku dapatkan kebanyakkan adalah KEBOHONGAN. Agama hanya memberikan konsep-konsep tentang Tuhan yang tidak boleh (atau malah tidak bisa) disanggah ataupun dinalar. Aku tidak mendapatkan jawaban yang bisa membuat aku puas dalam pencarianku.

“Tuhan tidak bisa dirasakan atau ditemukan dalam ego” kata seseorang kepadaku, entah siapa yang berkata demikian karena aku sudah lupa. Aku sekarang jadi berpikir (tentu merasakan pula), ego memang tidak bisa menemukan TUHAN, namun bila hanya dengan merasakan saja, aku bakal menjadi “BUTA” alias tidak mengetahui benar apa yang aku percayai dan itulah yang diajarkan oleh AGAMA.

“Bagiku agama itu seperti racun, namun juga perlu ku akui bahwa pada awalnya aku butuh racun tersebut untuk membuat “antibodi” racun tersebut” Ini adalah status di facebookku beberapa waktu yang lalu.

Agama memang sebuah kebutuhan bagi manusia, namun aku tidak mau kecanduan (seperti pernyataan Carl Marx bahwa agama adalah “candu” bagi masyarakat). Aku akan menjelaskan tentang agama yang sekarang aku anggap racun tersebut.

Racun bisa membuat orang mati atau malah membentuk sebuah antibodi bagi tubuh. Artinya agama bisa membuat orang menjadi fanatik terhadap agamanya masing-masing dan membuat harga MATI yang tidak bisa (tidak boleh) disalahkan/dikritik oleh orang lain, namun bisa juga agama malah membuat orang menjadi meragukan kebenaran agamanya sendiri (seperti aku), dengan menjadi skeptis pada agama, aku tidak hanya mengacu pada satu "kebenaran" saja, namun itu membuatku terus mencari dan mencari tanpa MENGKLAIM salah satu agama yang paling BENAR.

Aku tidak mau bergantung pada agama, namun TUHAN (tentu saja dibarengi dengan usaha sendiri). Pada kenyataannya agama banyak membuat orang begitu bergantung pada agama (orang yang merasa berdosa, datang pada pendeta untuk minta didoakan. Pertanyaannya adalah apakah orang tersebut tidak bisa berdoa sendiri? Mengapa harus datang pada pemimpin agama? Apakah derajat mereka lebih tinggi dihadapan TUHAN daripada kita sendiri?), dan itu juga yang membuat mindset orang beragama pada umumnya bahwa orang yang tak beragama adalah orang yang tidak bermoral karena tidak memiliki Tuhan. Memangnya mereka tahu darimana? Apa mereka pernah menjadi orang tidak beragama seperti aku sekarang?

Sejak aku kuliah dan kos di Salatiga, perlahan-lahan aku mulai meninggalkan kepercayaanku terhadap agama, bukan TUHAN. Di tempat ini juga aku bertemu dengan orang-orang yang bisa mengerti apa yang sedang aku cari, yaitu KEBENARAN. Dalam filsafat yang baru sedikit aku pelajari menyatakan bahwa kebenaran itu relatif, benar itu apa? Menurut siapa? Bagaimana “sesuatu” itu bisa dikatakan benar? Dan kenapa dianggap benar?


Karena itu, aku membuat beberapa prinsip akan kebenaran, salah satunya adalah “Ketika aku menggunakan “kebenaran” tunggal, maka akan muncul “kebenaran-kebenaran” lainnya dan pada saat itulah aku membuat “kebenaran” tunggal yang ku perbaharui dengan “kebenaran-kebenaran” yang datang.” Sehingga “kebenaran” tunggal yang kugunakan akan selalu berganti kapanpun tanpa aku ketahui.

Lalu kapan pencarianku akan berhenti? Tidak akan pernah berhenti selama aku masih hidup. Pencarian akan kebenaran sama dengan pencarian jati diriku. Menurut teori Freud, bahwa manusia hanya menunjukkan sedikit jati dirinya sekarang (digambarkan seperti gunung es yang sebagian besar gunung tersebut berada di dalam air dan tidak nampak). Itulah kenapa sekarang aku mencari kebenaran tersebut di dalam diriku sendiri.


Bukankah aku ada dalam TUHAN dan TUHAN ada dalamku? Filsafat kejawen mengatakan bahwa "TUHAN itu ada dalam kamu, tapi jangan sekali-kali menyebut dirimu TUHAN" (sudah aku terjemahkan dalam bahasa Indonesia).

Itulah seorang Satyameva bagiku.
Lambang Satyameva Jayate (moto orang India: Kebenaran Sendiri Menang), karena kebenaran itu akan terungkap sendiri dan menang, namun yang sudah (atau merasa) tahu diam.


Popular posts from this blog

Pendidikan Anarkisme; Menanggapi Pendidikan Demokratis Radikal Ben Laksana

Setelah membaca tulisan Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis di Indoprogress , saya ingin menanggapinya dengan kedangkalan berpikir saya mengenai pendidikan. Namun sebelum menanggapi tulisan tersebut, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg sebagai prolog tulisan ini. Bila memang benar demokrasi merupakan sistem bernegara yang paling ideal, mengapa justru permasalahan negara-negara demokrasi semakin rumit setiap harinya? Apakah kegagalan negara-negara tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintahnya menerapkan demokrasi? atau apakah demokrasi hanyalah sebuah omong kosong penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya secara terselubung (dengan adanya pemilu, penguasa akan selalu mengklaim kekuasaannya berasal dari rakyat)? Buat saya, demokrasi memang hanyalah sebuah omong kosong, tidak realistis untuk diperjuangkan, bukan soal utopis atau tidaknya, tapi lebih pada kesesatan logika berpikirnya. Secara etimologi dan terminologi, bukankah demokrasi berarti pemerintahan rakyat? Namun secara...

Kenapa Hidup ....., Jika Mati .....

Jika mati bisa dianggap suatu keberuntungan, kenapa kita susah melihat keberuntungan hidup? Jika kematian saja bisa disyukuri, kenapa dalam kehidupan kita sering mengeluh? Jika kepastian mati harus dilalui berani, kenapa ketidakpastian hidup kita isi ketakutan? Kenapa kita masih hidup sampai sekarang, jika kita tak bisa menikmati proses menuju mati?

Pelampiasan

Ingin kupeluk erat dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa rindu yang telah membendung lama. Ingin kucium bibirmu sebagai pelampiasan, atas rasa nafsu yang telah memuncak lama. Ingin kujadikan dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa cinta pada sebagian diriku yang ada padamu.