Skip to main content

Ganyang Indonesia, Baru Malaysia

Barusan ada seorang teman yang menyarankan saya untuk iseng-iseng membuat sebuah puisi mengenai jiwa nasionalisme anak remaja. Ia bercerita mengenai kekecewaannya pada saat upacara bendera di kampusnya, menurutnya dalam upacara tersebut tidak ada jiwa nasionalis sama sekali, hormat grak pada bendera hanya sebagai alasan karena silau. Lalu saya bertanya, apa itu nasionalisme? Apakah harus dengan hormat pada bendera, maka baru bisa disebut nasionalis? Temanku menjawab bahwa memang itu salah satu contohnya untuk menjadi nasionalis, ia beranggapan bahwa anak muda jaman sekarang sudah tidak bisa menghargai para pejuang yang susah payah mengibarkan bendera merah putih.

Saya cenderung setuju dengan argumennya yang terakhir bahwa memang anak muda jaman sekarang tidak bisa (atau mungkin tepatnya belum bisa) menghargai para pejuang. Saya menjadi teringat tahun lalu saya juga pernah merasakan hal yang sama seperti teman saya, ketika awal-awal PPMB (atau lebih familiar disebut ospek) diadakan upacara bendera dalam peringatan 17 Agustus, di mana saya merasa marah melihat tingkah laku para mahasiswa yang sedang bercanda, dorong-dorongan, dan mungkin terlihat lebih kekanak-kanakan daripada anak SD yang ikut upacara bersama, kalau memang tidak mau hormat bendera, ya tidak perlu ikut upacara.

Mungkin memang standarisasi nasionalisme tiap orang berbeda-beda hingga muncullah perbedaan pendapat mengenai nasionalisme itu sendiri. Bila dulu para pemuda dan remaja ikut berperang melawan kompeni, apakah sekarang mereka juga dituntut ikut berperang melawan Malaysia? Saya rasa terlalu naif untuk menilai sebuah nasionalisme dengan sebuah peperangan (baik perang senjata api atau perang dunia maya).

Jadi teringat dengan seruan Soekarno, "Ganyang Malaysia!" yang diikuti oleh aktor kawakan, Pong Harjatmo, beberapa pekan yang lalu. Apakah hanya itu saja yang menjadi prioritas bangsa Indonesia saat ini? Mengapa tidak ada bunyi juga "Ganyang Indonesia!", "Ganyang diri sendiri dulu baru negara lain!", "Ganyang para pejabat perusak negara!", tidak adakah? Atau takut dianggap tidak nasionalis karena mengganyang negara sendirikah?

Bagaimana kita mau disegani oleh negara lain bila kita saja tidak menghargai negara sendiri? Para pejabat dengan semena-mena menginjak HAM rakyat kecil, kelompok mayoritas masih melarang kelompok minoritas untuk beribadah, apakah itu yang namanya menghargai bangsa sendiri? Menjadi negara yang disegani bukan berarti militer atau ekonomi kita harus lebih kuat dari negara lain, kalau hanya mengutamakan militer atau ekonomi kuat, itu namanya ditakuti seperti negara-negara adikuasa.

Negara yang disegani ialah negara yang memiliki kharisma dan citra baik di mata internasional, bukan negara terkorup. Maka jangan harap dihargai Malaysia kalau menghargai bangsa sendiri saja masih payah. Jangan harap kata maaf dari Malaysia kalau tidak mau saling memaafkan antar umat beragama, suku, dan ras di Indonesia. Di dalam masih suka perang sendiri, masih mau perang juga di luar, ya hancur luar dalam.

Kalau generasi mudanya saja masih ada yang tidak menghormati bendera Indonesia, bagaimana negara lain mau menghormati Indonesia?

Popular posts from this blog

Pendidikan Anarkisme; Menanggapi Pendidikan Demokratis Radikal Ben Laksana

Setelah membaca tulisan Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis di Indoprogress , saya ingin menanggapinya dengan kedangkalan berpikir saya mengenai pendidikan. Namun sebelum menanggapi tulisan tersebut, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg sebagai prolog tulisan ini. Bila memang benar demokrasi merupakan sistem bernegara yang paling ideal, mengapa justru permasalahan negara-negara demokrasi semakin rumit setiap harinya? Apakah kegagalan negara-negara tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintahnya menerapkan demokrasi? atau apakah demokrasi hanyalah sebuah omong kosong penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya secara terselubung (dengan adanya pemilu, penguasa akan selalu mengklaim kekuasaannya berasal dari rakyat)? Buat saya, demokrasi memang hanyalah sebuah omong kosong, tidak realistis untuk diperjuangkan, bukan soal utopis atau tidaknya, tapi lebih pada kesesatan logika berpikirnya. Secara etimologi dan terminologi, bukankah demokrasi berarti pemerintahan rakyat? Namun secara...

Kenapa Hidup ....., Jika Mati .....

Jika mati bisa dianggap suatu keberuntungan, kenapa kita susah melihat keberuntungan hidup? Jika kematian saja bisa disyukuri, kenapa dalam kehidupan kita sering mengeluh? Jika kepastian mati harus dilalui berani, kenapa ketidakpastian hidup kita isi ketakutan? Kenapa kita masih hidup sampai sekarang, jika kita tak bisa menikmati proses menuju mati?

Pelampiasan

Ingin kupeluk erat dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa rindu yang telah membendung lama. Ingin kucium bibirmu sebagai pelampiasan, atas rasa nafsu yang telah memuncak lama. Ingin kujadikan dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa cinta pada sebagian diriku yang ada padamu.