Monday, August 30, 2010

Psikologi, Filsafat Kemanusiaan


Beberapa bulan yang lalu, seorang dosen pernah berkata dalam kelas, "Bahasa tubuh manusia itu bisa dibaca, apakah orang itu sedang murung atau senang? Tiap tingkah laku manusia dapat dipelajari kecenderungannya, bila orang tersebut suka diam dan menyendiri, berarti orang tersebut senang berpikir atau larut dalam dunianya sendiri."

Dan kebetulan saya yang sedang diam dan menyendiri, merasa bahwa dosen ini sedang menyindir saya. "Nah, orang yang suka larut dalam dunianya tidak cocok sebagai psikolog, ia cocoknya menjadi filsuf, karena seorang psikolog tidak bisa hanya larut dalam dirinya sendiri, ia harus bisa berkomunikasi dengan orang lain, mencoba memahami orang lain. Sehingga bila kalian tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain, lebih baik tidak perlu belajar psikologi, tapi filsafat saja." Lanjutnya.

Saya yang saat itu memang sedang tidak mood  untuk mengikuti kuliah, merasa sedikit tersinggung, saya (merasa) tahu kalau ia memang sedang menyindir saya, karena dosen tersebut (mungkin) tahu minat saya terhadap filsafat. Ya, itu masih hanya sebuah prasangka saja.

Sebenarnya bukan masalah tersinggung lagi yang akan saya bahas –karena saya sudah tidak tersinggung lagi, saya hanya merasa tergelitik dengan pendapatnya bahwa seorang psikolog itu berbeda dengan filsuf, sampai-sampai keduanya tidak cocok untuk diduduk bersamakan. Ya, semua orang bebas berpendapat, maka saya juga akan berpendapat hal tersebut hari ini.

Sebenarnya, apa itu psikologi? Pertanyaan ini tidak datang dari pemikiran saya sendiri hari ini, kebetulan saya sedang membaca buku tentang kumpulan tulisan Arief Budiman. Agak aneh rasanya bila buku ini juga mengumpulkan tulisan beliau mengenai psikologi, karena judul buku tersebut adalah "KEBEBASAN, NEGARA, PEMBANGUNAN. Kumpulan Tulisan 1965-2005." Mungkin bagi sebagian orang akan menganggap buku ini berisikan tulisan-tulisan kritik beliau terhadap dunia politik. Ya, awalnya saya juga berpikir begitu.

"Mengapa psikologi?" tanya saya heran mengetahui tulisan mengenai psikologi ada dalam buku macam ini. Menurut pak Arief, di mana ada manusia, di sana pasti ada apa yang dinamakan "unsur-unsur psikologis." Ya, saya setuju dengan pendapatnya tersebut, kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari aspek psikologis. Namun, apa itu psikologi? Mengapa ada psikologi? Kenapa psikologi itu penting? Darimana adanya psikologi?

Kemarin ada seorang teman yang membuat status, "anak-anak pun berfilsafat...sooooooh...." Lalu saya bertanya, "filsafat itu apa?" Dia hanya menjawab, "tidak tahu, silahkan berfilsafat sendiri."

Lha, saya bingung, orang tidak tahu apa itu filsafat, kok menyuruh orang berfilsafat? Saya tanya lagi, "berfilsafat itu seperti apa?" Teman saya malah berdalih, "kalau kamu tanya saya, lalu saya tanya siapa? Justru saya update status seperti itu hanya untuk menertawakan diriku sendiri." Saya pun menanggapi alasannya, "justru saya bertanya itu untuk menunjukkan filsafat itu sendiri, bukanlah yang terpenting dalam menjawab pertanyaan, namun bagaimana berpikir dan bertanya untuk mendapatkan kebenaran, itulah filsafat."

Apa itu psikologi? Apa itu filsafat? Mengapa dosen saya menyatakan bahwa psikolog dengan filsuf itu berbeda, seakan-akan tidak bisa duduk bersama? Bukankah justru banyak filsuf yang menjadi seorang psikolog juga ataupun sebaliknya? Bukankah psikologi itu berasal dari filsafat?

Bila psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, sedangkan filsafat sendiri adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, apakah tidak bisa disamakan? Ya, keduanya memang tidak bisa disamakan persis, keduanya memang berbeda, namun tipis!

Bila seorang filsuf terlarut dalam dirinya sendiri, apakah seorang psikolog tidak boleh? Bila seorang psikolog bisa berkomunikasi dengan orang lain, apakah seorang filsuf tidak bisa? Salahkah bila seorang psikolog juga mencoba memahami dirinya sendiri sebagai manusia dengan berdiam diri dan merenung? Bila seorang Freud bisa menjadi seorang filsuf sekaligus bapak psikologi, mengapa dosen saya menganggap seorang filsuf tidak cocok menjadi psikolog? Bukankah itu suatu pengingkaran fakta?

Bagaimana bila saya mengatakan bahwa psikologi itu adalah filsafat kemanusiaan, filsafat tertinggi? Ya, sebagai ilmu filsafat yang mempelajari manusia sekaligus filsafat yang paling sering digunakan untuk mengaji seluruh filsafat yang lainnya. Anda mau mengaji filsafat apapun, tetap bisa menggunakan psikologi. Karena yang berfilsafat adalah semua manusia, maka tetap menarik bila diselidiki apa yang dipikirkan manusia? Apa penyebabnya manusia demikian? Dan jelas saja bila Arief Budiman juga menuliskan mengenai psikologi dalam bukunya yang berbau politik.

Jadi, bagi saya psikolog adalah filsuf, filsuf adalah psikolog, dan semua orang adalah keduanya –setidaknya bagi dirinya sendiri. Tak perlu mengeksklusifkan diri dari ilmu yang lainnya. Seperti kata Fritjof Capra bahwa semua ilmu itu saling berhubungan.
 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri