Beberapa hari lalu aku sempat membaca sebuah link dari kompas mengenai “Mengapa Pria Membeli Layanan Seks?” yang di-share oleh temanku, Achie Astri, di facebook. Cukup menggelitik, karena setahuku sekarang yang namanya pelayanan seks tidak lagi menjadi sebuah pekerja untuk perempuan saja, melainkan juga oleh pria yang sering disebut gigolo –meskipun jumlah pria pekerja seks ini tidak sebanyak perempuan pekerja seks. Tapi terlepas dari itu dahulu, jawaban untuk pertanyaan artikel tersebut cukup logis, menyatakan bahwa pria merasa bisa, karena mempunyai uang untuk membayarnya.
Uang menciptakan kekuasaan, dalam hal ini berupa pemilikan harta, uang, dan posisi dominan terhadap perempuan. Karena membayar, pria merasa bebas menuntut bentuk layanan yang diinginkannya. Memiliki uang memungkinkan pria untuk tergoda, mencoba, dan bukan tidak mungkin menjadi tergantung (addicted) pada seks bayaran. Maka, yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah perempuan juga tidak bisa berbuat demikian? Aku jadi teringat dengan salah satu kisah di Alkitab, yaitu kisah antara Yusuf dengan istri Potifar, istri Potifar yang mempunyai kekuasaan atas Yusuf ternyata ingin menidurinya secara paksa –bukankah hampir sama seperti membeli seks dengan kekuasaan?
Pelacuran –atau prostitusi atau pelayanan seks komersil atau apalah namanya—memanglah salah satu produk dari budaya patriarki. Di Indonesia sendiri, budaya patriarki identik dengan budaya yang dimana kaum pria memiliki posisi yang lebih berkuasa dibanding perempuan. Dan akibat dari streotipe macam ini, muncullah kaum-kaum feminis yang bertujuan untuk mendobrak dominasi pria selama ini, untuk perempuan bisa mendapatkan kesetaraan dengan pria –baik pekerjaan, pendidikan, hukum, dan politik. Hal ini sekarang bisa kita lihat dengan jelas sekarang, perempuan sudah memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan formal, bukan hanya pendidikan dapur. Perempuan pun sudah bisa mendaftarkan dirinya dalam dunia politik sebagai anggota dewan –bahkan sudah ada menteri pemberdayaan wanita, bukankah negara ini sudah terdengar feminis?
Perlu diakui bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan upaya persamaan gender yang selama ini tidak seimbang. Gender sendiri bukan hanya masalah perbedaan jenis kelamin, namun lebih menyinggung pada masalah bagian-bagian atau wilayah kerja seseorang yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin –hal ini bersangkutan dengan budaya dalam lingkungan masyarakatnya—dan salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi pertimpangan ini adalah dengan feminisme. Feminisme sendiri berarti gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria, entah hak seperti apa yang mereka inginkan, karena feminisme memiliki tiga macam aliran mengenai hak tadi, yaitu feminis radikal, feminis marxis, dan feminis liberal –sebenarnya ada delapan, tapi menurutku bisa disatukan menjadi tiga.
Feminis radikal menyoroti kesetaraan hak perempuan dalam hubungan seks, perempuan berhak untuk memutuskan kapan ia menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengendali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi. Kesetaraan hak perempuan dalam hubungan seks juga menyoroti dominasi pria yang hanya mempedulikan orgasmenya sendiri daripada pasangannya. Kalau tidak salah ingat, persamaan hak untuk mencapai orgasme ini dibahas di sebuah buku –aku lupa judulnya, tapi buku ini sudah pernah dibahas di Metro TV beberapa hari yang lalu.
Di Indonesia sendiri, bila membicarakan mengenai seks –apalagi yang sampai orgasme-orgasme—di depan publik itu tabu, namun herannya bila masalah seks dibahas bukan dalam bentuk lisan –terutama buku dan film—responnya tidak akan setabu bila dibicarakan secara lisan, itu bisa kita lihat dari salah satu buku yang berjudul “Jakarta Undercover” yang ditulis hingga tiga seri dan menjadi film layar lebar. Seharusnya seks jangan dijadikan sesuatu yang tabu, apalagi kotor untuk dibahas –terutama oleh kaum perempuan. Bila seks dianggap tabu, maka yang namanya pendidikan seks pun akan menjadi tabu. Kalau pendidikan seks sudah menjadi tabu, yang terjadi adalah masyarakat menjadi bodoh dalam hal seks –terutama perempuan—dan kesetaraan hak dalam hubungan seks akan sulit terwujud –bukan hanya orgasme, namun juga mudahnya perempuan “dibodohi” oleh pria terus-menerus.
Feminis marxis tidak lagi menyoroti kesetaraan hak dalam biologis saja, namun lebih pada faktor sosial di masyarakat. Feminis marxis ini muncul juga untuk melawan kapitalisme, yang dimana kapitalisme ini dipercaya tidak bisa menguntungkan banyak perempuan. Ketika para pemilik modal mengungguli kaum buruh, maka mereka samakan seperti pria mengungguli perempuan. Aku pikir bahwa kapitalisme juga tidak bisa dipungkiri telah menyebabkan sebuah diskriminasi, eksploitasi, penindasan terhadap perempuan.
Persaingan kapitalisme itu pernah seimbang bagi perempuan, karena perempuan sudah kalah start dengan pria dalam segala aspek, terutama pendidikan –karena budaya jaman dulu perempuan tidak bisa memperoleh pendidikan sama seperti pria. Kapitalisme pun sangat riskan akan adanya pembedaan kelas, ras, dan seksisme –istilah seksisme merujuk pada adanya diskriminasi pada salah satu jenis kelamin, maka timbullah Chauvinisme pria atau perempuan, yaitu penganggungan terhadap salah satu jenis kelamin dan penghinaan untuk jenis kelamin lainnya. Kapitalisme inilah yang berusaha digulingkan dengan cara apapun.
Feminis liberal berbeda dengan feminis radikal dan feminis marxis, bila kedua aliran lainnya lebih sering menyalahkan pria dan menuntut hak yang sama dengan pria, maka aliran liberal ini menyatakan bahwa penindasan perempuan selama ini adalah kesalahan perempuan, karena itu kaum feminis dari aliran liberal lebih sering berkampanye dengan tujuan menyadarkan perempuan akan ketertindasannya dan perempuan harus siap untuk bersaing dalam persaingan bebas dengan pria. Lalu feminis liberal ini memiliki pandangan bahwa negara sebagai penguasa tidak seharusnya memihak pada salah satu pihak saja, dan mereka menyadari bahwa para prialah yang menguasai negara.
Karena itulah, mereka juga menuntut adanya kesetaraan hak dalam berpolitik. Perempuan aliran feminis liberal pada kenyataannya juga mengadopsi maskulinitas untuk dapat bersaing mendapatkan kedudukan yang sama dengan pria, kondisi macam ini pada saatnya akan mengkhawatirkan, dimana perempuan tidak akan merasa butuh pria lagi dan perempuan juga akan lebih mementingkan karirnya daripada pernikahan ataupun keluarganya –hal ini dapat berbahaya bagi anak-anaknya yang mungkin saja akan ditelantarkan dan semakin banyak wanita yang tidak akan menikah karena karirnya.
Pada awalnya feminisme bertujuan untuk menghilangkan dominasi pria terhadap perempuan yang disebabkan oleh budaya patriarki, ya memang budaya patriarki masih sangat melekat dengan asumsi dominasi pria, tapi bila dicermati, bukankah gerakan para feminis ini juga sebuah patriarki? Memang feminisme adalah salah satu produk patriarki, dan feminisme pada kenyataannya hanya membuat budaya patriarki menjadi kuat dan malah menghilangkan budaya matriarki.
Budaya patriarki hanya bisa diimbangi dengan budaya matriarki yang dimana masyarakatnya tidak mengenal cara-cara patriarki –budaya peperangan dan kekerasan, karena itu masyarakat matriarki tidak membutuhkan adanya ksatria. Masyarakat matriarki mempunyai budaya egaliter dan demokrasi yang sesungguh, maka jangan heran bila demokrasi saat ini –yang sudah bercampur dengan budaya patriarki—bisa saja dijadikan senjata oleh negara untuk dapat memonopoli ekonomi, contohnya ya seperti penegakan demokrasi oleh Amerika di Kuba –selama Kuba masih dikuasai oleh diktator Videl Castro, Amerika tidak akan bisa memonopoli ekonomi di sana, dan mungkin saja inilah yang sedang ditiru oleh pemerintah SBY dalam penegakan demokrasi di Jogjakarta, karena sultan sendiri bukanlah orang demokrat. Dalam budaya matriarki juga tidak mengenal adanya istilah anak haram ataupun pelacur, karena mereka juga tidak peduli dengan orientasi dan urusan seksnya orang lain. Itulah mengapa dalam budaya patriarki, perempuan yang sudah tidak perawan dan kaum homoseksual dianggap hina.
Namun untuk sekarang sudah sangat sulit untuk bisa menemukan kebudayaan matriarki sepenuhnya dan kebudayaan patriarki yang sepenuhnya. Melalui peperangan dan penghancuran yang dilakukan oleh masyarakat patriarki terhadap masyarakat matriarki serta pemaksaan pandangan hidup (agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan) dari bangsa-bangsa patriarki misalnya Kristen, Islam, Hindu, Budha dan lain-lain, semua masyarakat yang ada sekarang memiliki pandangan hidup yang merupakan campuran daripada nilai-nilai masyarakat matriarki dan patriarki.
Masyarakat matriarki pun tidak bisa dilihat dari seberapa kuat kekuatan perempuan dalam sebuah masyarakat –yang selama ini dikerjakan oleh kaum feminis—dan negara, melainkan antara perempuan, pria, tua, muda adalah sama kuat, tidak ada penindasan yang dilakukan karena merasa paling kuat, maka budaya patriarki pun sudah tidak relevan lagi bila hanya dikaitkan dengan dominasi oleh pria saja, tapi dominasi oleh perempuan juga.
Comments