Sunday, February 6, 2011

Tragedi 1965 Bukanlah Luka Sejarah Yang Sesungguhnya

Preambul

Tulisan ini awalnya saya buat untuk lomba esai, sayang, ini bukan waktunya untuk saya menang. Menilik tujuan dari perlombaan esai ini, dengan tema “Menyembuhkan Luka Sejarah- Refleksi Kaum Muda Atas Tragedi 1965” menimbulkan beberapa pertanyaan untuk saya jawab sendiri sebagai sebuah awal perenungan. Menyembuhkan luka sejarah? Luka sejarah yang seperti apa? Pertanyaan inilah yang mengawali saya untuk berpikir lebih jauh.

Tragedi 1965 atau lebih identik dengan Gerakan 30 September yang dituduhkan kepada PKI dan Soekarno sebagai biang keroknya, ternyata telah membuat masalah-masalah baru yang tidak pernah ada penyelesaiannya, mungkin inilah yang membuat adanya sebuah luka sejarah Indonesia. Maka, sekarang yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah menuju kepada rekonsiliasi, rekonsiliasi dengan siapa atau apa? Bagaimana yang muda bisa melakukan rekonsiliasi, sedangkan para pelaku tragedi tersebut sudah meninggal dunia? Kalau tidak bisa melakukan rekonsiliasi dengan para pelaku, lalu dengan apa? Dengan sejarahnya? Sejarahnya saja tidak jelas hingga sekarang, bagaimana bisa?

Tragedi 1965, Prolog

Seperti yang kita ketahui, tragedi ini lebih dikenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Ada beberapa pandangan telah beredar sekarang, salah satu pandangan yang telah beredar sejak dulu adalah pandangan milik Soeharto, bahkan hampir semua rakyat Indonesia tahu isi cerita sejarah tersebut – pandangan ini paling banyak diketahui, karena cerita ini selalu masuk dalam buku pelajaran sejarah, bahkan sebelum reformasi, cerita ini telah dibuat filmnya dan selalu diputar setiap tanggal 30 September di TVRI.

Namun cerita buatan Soeharto ini sudah seharusnya ditinggalkan, karena terjadi beberapa hal yang tidak masuk akal, salah satunya adalah Soekarno dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI. Saya pikir Soekarno tidak sebodoh itu untuk rela menjatuhkan kekuasaannya sendiri dan meninggal sebagai tahanan – Soekarno dijatuhkan secara paksa dengan adanya Supersemar yang berubah menjadi ketetapan MPRS. Ada dua pandangan lagi yang saya ketahui, yaitu pandangan dari Soebandrio, seorang politikus pada masa pemerintahan Soekarno, dan Manai Sophiaan, mantan Dubes RI untuk Uni Soviet. Soebandrio menceritakan kesaksiannya dalam sebuah bukunya (“Kesaksianku Tentang G-30-S”) yang terbit ketika Orde Baru tidak lagi berkuasa.

Dalam buku ini, beliau menyatakan dengan jelas bahwa Gerakan 30 S/PKI ini murni rekayasa Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan politik. Sedikit berbeda dengan Manai Sophiaan, ayah dari aktor senior dan politikus, Alm. Sophan Sophiaan ini menyatakan dalam bukunya (Kehormatan Bagi Yang Berhak – Bung Karno Tidak Terlibat G 30 S/PKI) bahwa PKI memang merencanakan gerakan untuk kudeta, namun kemudian hal ini dimanfaatkan oleh CIA melalui Soeharto. Mengapa dimanfaatkan oleh CIA? Karena Amerika membenci pemerintahan Soekarno yang saat itu anti barat, G 30 S/PKI dimanfaatkan oleh mereka untuk menjatuhkan kekuasaan Soekarno, sekaligus pemusnahan PKI.

Saya cenderung setuju dengan pandangan Manai Sophiaan, karena ada beberapa hal mengenai PKI yang seharusnya dicurigai dari awal. Pertama, ketika PKI (yang dipimpin oleh Muso) dan FDR (Front Demokrasi Rakyat, kelompok politik bentukan Amir Syarifuddin) bergabung melakukan pemberontakan di Madiun tahun 1948 untuk mengganti negara RI menjadi negara komunis, maka tidak menutup kemungkinan bila PKI akan melakukan pemberontakan kembali, bukan? Kedua, Aidit, pemimpin PKI setelah penumpasan pemberontak di Madiun bukanlah orang baru dalam PKI, ia adalah anggota yang terlibat dalam pemberontakan Madiun, sudah sepantasnya dicurigai. Terakhir, analisis Soekarno dalam Pelengkap Nawaksara kepada MPRS pada tanggal 10 Januari 1967, yang menyatakan G 30 S/PKI ini disebabkan oleh kebelingeran (kekeliruan) pimpinan PKI.

Tragedi 1965 Bukanlah Luka Sejarah Yang Sebenarnya

Tragedi yang terjadi tahun 1965 memang bukan luka sejarah, yang menjadi luka sejarah adalah ketika terjadinya penyimpangan cerita sejarah hingga penyimpangan kemanusiaan yang telah mengorbankan banyak nyawa. Luka ini semakin membusuk ketika kejahatan kemanusiaan yang terjadi tidak pernah diselesaikan. Harus diketahui bahwa penumpasan G 30 S/PKI sudah tidak manusiawi lagi, banyak korban yang dihukum tanpa adanya pengadilan, banyak korban pembunuhan yang tidak jelas (adanya Petrus atau penembak misterius), lalu pengasingan dan pengucilan terhadap keturunan anggota PKI. Pada intinya, luka sejarah ini adalah luka yang disebabkan oleh ketidakadilan pada masa pemerintahan Soeharto.

Sayangnya, luka ini semakin lama semakin sulit disembuhkan, hal ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang terus menerus dilakukan, bahkan menjadi tradisi dalam pemerintahan sekarang, yaitu ketidakadilan. Ketidakadilan dalam demokrasi masih tetap terjadi, contoh: Terjadi pencekalan buku pada akhir tahun 2009 –salah satunya yang berjudul “Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Kasus Bank Century” karya George Junus Aditjondro. Ketidakadilan dalam hukum, hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum masih bisa dibeli.

Lalu, Bagaimana Kita Dapat Menyembuhkan Luka Ini?

Perlu kita sadari dulu bahwa kita hidup selalu dilingkupi oleh 3 masa, yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Luka sejarah itu termasuk luka batin di masa lalu yang terbiarkan membusuk hingga sekarang, tentu ini akan tidak bagus untuk masa depan bila dibiarkan terus-menerus.

Secara psikologis, luka batin hanya bisa disembuhkan dengan adanya terapi, karena itu bila Indonesia ingin sembuh dari luka ini, harus ada tindakan nyata sebagai terapi dan tentunya ini tidak mudah. Pertama, yang harus dilakukan adalah penyelidikan terhadap sejarah, agar generasi mendatang mengetahui cerita sejarah yang benar. Jika kita semua sudah bisa mengetahui kebenarannya, maka akan lebih mudah untuk memaafkan masa lalu. Ya, masa lalu hanya bisa kita terima dan maafkan, tentu memaafkan berbeda dengan melupakan. Yang lalu biarlah berlalu, namun janganlah sekali-kali melupakan sejarah, anggaplah sejarah itu sebagai pelajaran untuk masa sekarang dan masa depan.

Kedua, jika kita sudah bisa menerima dan memaafkan masa lalu, mulailah memperbaiki apa yang ada sekarang, bukan nanti. Lawanlah segala bentuk ketidakadilan yang tengah terjadi, usut hingga tuntas apa yang masih bisa diselesaikan secara hukum yang berlaku, contohnya kasus tragedi Mei 1998 itu masih bisa diusut karena masih ada pelaku, korban dan saksi yang hidup. Semua bentuk ketidakadilan harus ada bentuk penyelesaian yang jelas, dengan begitu luka yang lama membusuk, akan sembuh dengan sendirinya, tentu ini akan membutuhkan proses waktu yang sangat lama. Terakhir, ketika ketidakadilan telah teratasi, yang harus dilakukan adalah mempertahankan apa yang telah dilakukan, supaya luka itu tidak akan terbuka kembali.

Ketiga langkah ini memang sulit untuk dilakukan, tapi sesulit apapun harus tetap dilakukan. Inilah fokus perjuangan yang harus dilakukan bangsa ini setelah berjuang melawan kompeni, yaitu melawan diri sendiri, melawan penjajahan dalam bangsa sendiri, maka bangsa ini akan merdeka.

1 komentar:

Yoel Morita said...

Nice...
Luka sejarah era kepemimpinan Soeharto..

 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri