Wednesday, April 20, 2011

Apa Kabar Open Forum?

Sampai manakah kejelasan hasil Open Forum Fakultas Psikologi kemarin? Sampai manakah tindak lanjut LK, terutama BPMF Psikologi dan pihak fakultas mengenai hasil Open Forum? Sudah hampir dua bulan lebih, rasanya kurang adanya tanggapan serius dalam tindak lanjutnya. Kenapa? Kita ambil contoh mengenai isu adanya educational abuse yang pernah mencuat pun belum ada penyelesaiannya hingga sekarang, baik dari komisi Advokasi Mahasiswa, maupun pihak Fakultas.


Isu adanya educational abuse ini muncul dari perkataan Wisnu Anendya, ketika BPMF mengadakan FGD perangkatan untuk menyaring aspirasi mahasiswa yang seterusnya dibawa ke Open Forum yang telah diadakan tanggal 18 Januari lalu. Ketika saya mengklarifikasi isu ini ke Wisnu, ia mengatakan bahwa itu adalah kesalahannya sendiri. Ia mengaku saat itu ia hanya sekedar melontarkan tuduhan bahwa bu Indrastuti telah melakukan educational abuse tanpa mengerti dan memahami arti educational abuse sendiri. Ia melontarkan tuduhan tersebut karena ia mendapatkan berita dari temannya, bahwa ada mahasiswa angkatan 2007 yang merasa dipermalukan di kelas KesMen, karena ia dikatakan kalau penampilan dan otak tidak sama.

Educational abuse adalah tindak kekerasan baik secara verbal, maupun non-verbal yang terjadi di institusi pendidikan, baik dilakukan oleh pengajar maupun oleh siswa. Permasalahannya adalah educational abuse secara verbal bisa menjadi sesuatu penilaian yang sangat subjektif, karena terkadang terdapat perbedaan persepsi “pelaku” dan “korban” (saya menggunakan tanda petik, karena orang itu belum bisa dikatakan sebagai pelaku atau korban yang sesungguhnya). Ketika saya ingin menemui “korban” (“korban” pertama) yang infonya saya dapat dari Wisnu, “korban” ini tidak bisa ditemui dan dia sempat sms bahwa dia sudah tidak mempermasalahkan hal itu lagi, sehingga dia tidak mau untuk ditemui. Lalu saya mencari info dari yang lainnya, dan akhirnya saya menemukan “korban” lannya yang menolak untuk disebutkan namanya (“korban” kedua).

“Aku khan biasanya kalau kuliah itu pake kaos oblong, celana panjang biasa, sama sepatu sandal. Nah, waktu itu juga masih awal perkuliahan, dan baru akan dibuat kontrak belajar. Pas itu aku masih anak baru, belum tahu apa-apa, tapi kok sudah disuruh maju ke depan, terus dikatain kayak orang mau ke pasar. Nah, semenjak itu aku sudah ngerasa males buat ngikutin mata kuliahnya,” jelasnya kepada saya. 

Setelah saya menemui Wisnu dan “korban” kedua, saya menemui BPMF untuk sedikit bertanya mengenai isu ini. Dari pihak BPMF, yaitu Monica dan William sebagai Advokasi Mahasiswa, mengatakan bahwa BPMF akan menjadi mediasi penyelesaian secara kekeluargaan bagi Wisnu dengan bu Indrastuti. BPMF pun berjanji akan berusaha sebisa mungkin untuk melindungi “korban” kedua yang saat itu merasa takut untuk memberikan keterangan pada saya.

Sayangnya, hingga tiga minggu setelah saya menemui pihak BPMF, saya menemui bu Indrastuti untuk mengklarifikasi isu ini, beliau mengaku kaget dan mengira saya adalah utusan dari LK, sedangkan dari pihak LK –BPMF sendiri belum ada yang datang ke beliau untuk menyelesaikan masalah ini. Beliau mengaku kalau sebenarnya dia sudah menganggap masalah ini selesai, karena Wisnu sudah datang sendirian untuk meminta maaf secara pribadi. Awalnya, beliau sudah merencanakan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum, namun tidak jadi karena dicegah oleh suaminya.

“Terus terang ibu awalnya tersinggung, dan ingin membawa masalah ini ke jalur hukum. Ibu sudah konsultasi dengan tiga teman ibu yang pengacara, dan ini bisa masuk dalam KUHP, tapi suami ibu mencegah, ya sudahlah, akhirnya ibu mengurungkan niat itu, bukan hak ibu untuk menghakimi,” terangnya.

Ketika saya bertanya tentang kejadian yang dialami oleh “korban” kedua, beliau menyanggah bahwa ia tidak pernah melakukan hal tersebut, beliau berkata bahwa ia saja tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai mahasiswa  sebelum ada kontrak belajar yang disepakati, apalagi sampai mempermalukan mahasiswa di depan kelas.

“Ibu mengakui kalau dalam mengajar ibu ini keras, tapi itu semua karena kasih. Ibu merasa memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan mahasiswa agar disiplin dan beretika, bukan sekedar memberikan ilmu pengetahuan saja. Ibu pun tidak pernah memberikan nilai jelek pada mahasiswa,ibu selalu transparan dalam penilaian, bahkan ibu selalu membantu nilai mahasiswa. Ibu sudah sebaik mungkin untuk memberikan pengajaran dengan kasih, kalau mahasiswa tidak mau, ya sudah,” terangnya lagi.

Hingga saya menulis ini, belum ada kejelasan dari BPMF selaku badan advokasi mahasiswa untuk mediasi dan penyelesaian yang baik, agar tidak ada yang merasa dirugikan dari isu ini. Kalau masalah seperti ini saja belum pernah ada penyelesaiannya dengan baik, lalu bagaimana dengan tindak lanjut dari masalah-masalah lainnya sudah masuk di Open Forum? Apakah Open Forum cuma sebagai formalitas permintaan mahasiswa saja? Dan semoga saja masalah ini juga segera diselesaikan secara baik-baik dari semua pihak.

0 komentar:

 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri