Setiap orang pasti memiliki tujuan masing-masing dalam memilih suatu pilihan, aku memilih mencintai dengan tujuan dicintai, aku memilih studi di Fakultas Psikologi untuk mengenal diri sendiri –yang sering disebut manusia, sebelum aku mati dan semua pilihan yang aku pilih cenderung untuk memuaskan diri sendiri. Aku masih ingat ketika dulu ibuku bertanya mengenai keinginanku melanjutkan studi di bidang apa, aku menjawab kalau aku ingin lanjut ke psikologi.
“Kenapa?” tanya ibu.
“Aku cuma pengen mengenal diri sendiri dulu,” jawabku.
Akhirnya, aku melanjutkan studiku ke Fakultas Psikologi, UKSW –satu-satunya universitas yang menjadi pilihanku. Baru sekitar satu lebih studi di fakultas ini, aku sudah merasa kecewa, mungkin karena akunya yang terlalu banyak berharap dari fakultas ini. Aku berharap bisa mengenal diri sendiri, mengenal hakikat seorang manusia, tapi yang aku dapatkan hanyalah segudang teori yang harus aku hafalkan untuk mendapatkan nilai tes “A”. Aku merasa masuk ke fakultas ini sama halnya aku masuk ke Fakultas Teologi. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa.
Kita ini manusia, dan terkadang untuk memahami diri sendiri saja masih (dibuat) susah, sama seperti memahami Tuhan. Memahami manusia itu sebenarnya gampang-gampang susah, tapi manusianya sendiri saja yang suka nyusah-nyusahin dengan banyak teori –berteori itu tak ada salahnya juga, tapi kalau sudah membicarakan banyak teori saja, manusia akan menuju pada kesusahannya sendiri. Dan (mungkin) karena itulah kita saat ini mengadakan Fakultas Psikologi yang merupakan gudang teori untuk memahami manusia. Pintar berteori mengenai manusia, belum tentu juga bisa mengerti, apalagi memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia itu hanya butuh teori sedikit dan banyak kesadaran, percuma kalau manusia tidak pernah menyadari apa yang dia perbuat, toh katanya hidup itu adalah perbuatan, bukan teori belaka. Jika memahami manusia hanya dengan teori belaka, maka tak ada bedanya kita diberikan cekokan-cekokan dogmatis.
Agama masih digunakan sebagai dasar pendidikan psikologi, ilmu yang mempelajari manusia. Pedahal yang namanya manusia, dasarnya bukanlah terletak pada agamanya, tapi kehidupannya sendiri. Lahir tanpa bawa agama, matipun seharusnya tak bawa-bawa agama. Kalau Eistein pernah berkata, “Science without religion is lame, religion without science is blind”, maka aku juga berkata, “Religion without science is blind, true. But, science without religion is freedom”. Manusia dasarnya bukan agama, maka pendidikannya pun harus bebas dari agama. Aku akui bahwa pseudoscience (sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah) harusnya menyeimbangi science. Namun, agama yang sebenarnya pseudoscience telah mengingkarinya, sebagian orang menganggap kebenaran agama adalah mutlak, tak boleh dibantah. Kalau agama menolak dirinya sendiri sebagai pseudoscience, lalu untuk apa kita masih menerimanya sebagai kebenaran untuk mengimbangi ilmu pengetahuan –apalagi menjadikannya sebagai dasar?
Berbicara mengenai agama, aku jadi teringat dengan acara talk show mengenai Integration of Body, Mind and Spirit. Waktu itu yang menjadi narasumber adalah pak Aloysius. Dalam talk show itu, pak Aloy memaparkan hubungan spiritualitas dengan kesehatan manusia, terutama fisik. Namun, yang masih membuat aku sedikit tergelitik adalah pak Aloy cenderung mengidentikkan spiritualitas manusia dengan agama. Dan itu sempat aku tanyakan, namun kurang memuaskan.
“Kenapa dari tadi spiritual cenderung bapak identikkan dengan religius? Apa itu spiritual? Apa itu religius? Kalau religius itu dari kata religion yang berarti agama, maka apakah orang yang tidak punya agama, juga tidak punya spiritual? Lalu bila seseorang tidak punya spiritual, jelas dia tidak akan bisa terkena sakit spiritual, sedangkan tadi bapak bilang bahwa manusia itu bisa terkena sakit spiritual, apakah itu berarti dia bukan manusia?” tanyaku.
“Tentu kedua hal ini berbeda sekali, religius memanglah agama, sedangkan spiritual itu jauh lebih dalam lagi. Tapi dalam hal ini saya memang sedikit menyamakannya agar lebih mudah dimengerti saja,” jawab pak Aloy.
Dari sini aku sedikit memiliki kegelisahan, kalau saja yang namanya spiritualitas masih terus diidentikkan dengan agama, yang pedahal keduanya berbeda jauh. Maka visi fakultas ini tidak akan bisa dijalankan, karena konsepnya masih jauh dari kata selesai. Untuk masalah konsep spirit-nya saja salah, maka perumusan Integration of Body, Mind and Spirit yang sudah ditetapkan menjadi visi-misi fakultas juga tidak akan pernah selesai digodhok. Adakah mahasiswa yang tahu mengenai visi-misi seperti apa yang ingin fakultas capai dan lakukan –bukan sekedar slogan Integration of Body, Mind, and Spirit? Jangankan mahasiswa, pihak fakultas saja belum tahu karena belum selesai penyusunannya. Memakai visi-misi yang belum jelas, akan menambah risiko ketakjelasan fakultas. Dan bayangkan saja bila visi-misi fakultas masih belum selesai, hanya masih –bisa dikatakan—sebuah slogan saja, yang ada fakultas ini akan bingung menentukan kebijakan dan kurikulumnya.
Kalau sudah tidak jelas begini, pada akhirnya akan merugikan mahasiswa. Sayangnya, mahasiswa sendiri cenderung sudah apatis dan tidak mau sadar lagi sebagai manusia. Mahasiswa hanya akan menjadi robot saja, diberi kebijakan ini, manut. Diberi tugas itu, manut. Kalaupun ada yang melakukan perlawanan, paling-paling cuma sedikit dan akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena tidak adanya dukungan –perlawanan pun tidak harus dengan kekerasan, namun minimal mempertanyakan semua itu. Berapa banyak mahasiswa yang mempertanyakan kejelasan fakultas? Berapa banyak mahasiswa yang berani meminta hak-haknya sebagai mahasiswa kepada para dosen? Pernah seorang teman bercerita, dia mendapatkan nilai “E” pada salah satu mata kuliah, pedahal dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk mengikuti kemauan dosen itu. Dia sempat mempertanyakan nilainya kepada dosen itu, namun dengan enteng sang dosen hanya menjawab bahwa temanku ini tidak memenuhi standar penilaian. Setelah itu temanku, hanya diam saja, entah kenapa? Pedahal dia berhak untuk mempertanyakan kembali mengenai standar penilaian, kalau perlu transparansi nilainya.
Sebenarnya, sudah banyak masalah mahasiswa macam begini yang terlihat dan bukan hanya di fakultas ini saja, banyak para dosen yang menelantarkan tugasnya membimbing mahasiswa belajar lantaran ia mendapatkan proyek. Dosen pun terkadang tak mau ambil pusing mengenai mahasiswanya, sehingga beberapa dosen sukanya memberikan tugas yang banyak tanpa memperhatikan efektifitas tugas itu bagi mahasiswanya. Dari beberapa masalah mahasiswa, seharusnya mahasiswa sangat bisa menuntut perbaikan di pihak fakultas melalui perwakilan-perwakilan di Lembaga Mahasiswa, tapi entah kenapa rasa-rasanya, orang-orang yang disebut “perwakilan mahasiswa” itu juga cenderung mementingkan dirinya ataupun kelompok kecilnya, bukan keseluruhan mahasiswa. Tidak percaya? Dulu sempat ada pimpinan LK yang menyuruh anak buahnya untuk melarang pers mahasiswa melakukan klarifikasi isu yang ada di fakultas dan pemberitaan itu ke mahasiswa dengan alasan bahwa dialah yang bertanggung jawab. Lalu kenapa bila dia yang bertanggung jawab? Apakah dengan begitu dia berhak melarang pers melakukan klarifikasi isu dan memberitakannya ke mahasiswa? Apa ingin mencari selamat sendiri dengan menyembunyikan masalah? Pers-lah bertanggung jawab! Kalau LK saja sukanya menyembunyikan permasalahan yang terjadi di fakultas, maka jangan salahkan mahasiswa yang diwakili untuk tidak percaya lagi pada LK.
Jika fakultas ini tidak ada perbaikan dari dosen terlebih dahulu, maka jangan berharap pula adanya perbaikan kualitas dari mahasiswa psikologi. Jika tidak ada perbaikan sistem pembelajaran yang katanya mau mengintegrasikan tubuh, akal budi dan spiritualitas, maka jangan berharap pula bisa mempertahankan akreditasi B yang sudah didapatkan dengan susah payah. Dan, jika Fakultas Psikologi tidak bisa membuat kehidupan manusia lebih baik dan manusiawi, maka sebaiknya fakultas ini ditutup saja.

Comments