Selamat Paskah! Selamat bagi yang merayakan maupun yang tidak, semoga kita semua diberikan keselamatan oleh Tuhan –kalau Tuhan itu benar-benar ada, sudah pas kah? Terlepas dari pas atau tidaknya ucapanku itu, aku cuma ingin bilang bahwa momen Paskah ini adalah saat tepat, saat melepas gundah hati.
Macam iklan rokok saja?
Memang! Aku memang sedang gundah, makanya aku melepaskannya dengan menulis.
Momen Paskah ini memang membuatku aku sedikit gundah gulana, bukan karena aku tidak pernah ke gereja lagi seperti dulu, tapi hanya karena momen ini bersamaan dengan berita kematian Sai Baba, guru spiritual di India sana.
Kok gitu aja gundah? Memangnya kamu kenal dia?
Jangankan kenal, tahu ada guru spiritual yang namanya Sai Baba saja barusan. Hahaha!
Lha? Terus? Kok bisa gundah?
Ya, bisa-bisa saja.
Alasannya?
Alasannya, kamu itu terlalu banyak tanya!
Jadi begini, katanya orang-orang, Paskah itu hari untuk memperingati kebangkitan (Tuhan) Yesus dari kematian, ya nggak sih? Dan sekarang, muncul berita kematiannya Sai Baba, yang katanya orang-orang (lagi), dia itu manusia setengah dewa, manusia suci.
Ya, terus?
Terus, kamu diam saja! Aku masih bingung untuk menuliskannya!
Jadi begini (lagi), aku pun tadi tahunya juga dari teman saja sih. Waktu aku main-main bersama fesbuk, ada teman yang mensharekan satu link berita itu, dan entah dengan alasan apa dia menuliskan komentar “AKHIRNYA…”, aku tak terlalu peduli. Tapi waktu aku baca sekilas komentar yang lainnya (komentar temannya), aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dari orang itu. Entah dengan alasan apa (lagi), orang itu berkomentar dengan penuh kesenangan yang betul-betul senang, dan kali ini aku cukup peduli.
“hahaha akhirny mati, ternyata dia cuma manusia biasa jg yg bisa mati,” kira-kira begitulah komentarnya –aku kurang bisa menuliskannya dengan sama persis, karena link itu sudah dihapus oleh pemilik dinding itu.
Langsung saja aku komentari, “AB: Biasa wae…”
Manusia bisa mati itu biasa, tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan. Mau manusia itu dianggap suci kek, setengah dewa kek, bahkan Tuhan sekalipun kek, tetap yang namanya manusia itu bisa mati, karena itu semua cuma anggapan manusia lainnya, kakekane.
Lalu, apa kaitannya Sai Baba dengan (Tuhan) Yesus?
Jelas ada kaitannya –karena aku mengait-aitkannya. Kalau Sai Baba yang barusan mati itu dianggap orang-orang (lagi dan lagi) manusia setengah dewa, hampir sama halnya dengan Yesus yang dianggap Tuhan, toh itu juga sama-sama sebuah anggap saja dan sebuah anggapan tidak bisa dinyatakan sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk semua orang. Aku bukannya ingin mempermasalahkan ataupun menyalahkan anggapan-anggapan itu, itu masalah iman kepercayaan, dan iman itu cukup untuk kebenaran diri sendiri, bukan orang lain –yang ujung-ujungnya sering bikin perdebatan dan perkelahian tak berujung, capek deh!
Tapi kalau semua orang boleh memiliki anggapan-anggapan mengenai dua guru spiritual itu, akupun tetap menganggap bahwa baik itu Sai Baba ataupun Yesus, kedua-duanya sama-sama manusia biasa, manusia yang biasanya tetap bisa mati.
Tapi bagaimana dengan cerita Yesus yang bangkit kembali, toh kita sekarang tetap merayakannya juga?
Kita? Kamu aja kali! Aku sih sudah enggak.
Kok enggak sih? Kamu masih Kristen khan?
Hahaha, label Kristen itu cuma aku pakai buat penuh-penuh kolom KTP saja. Aku sudah melepaskan kekristenan itu dari satu tahun yang lalu, aku gak beragama, tapi bukan berarti pula aku ini ateis seperti kakakku yang sudah nyatakan di tulisannya itu.
Terus kamu itu (apa)?
Aku? Aku ya aku, bukan kamu. Meskipun aku dan kamu itu sama –sama manusianya, tapi aku dan kamu tetaplah berbeda. Meskipun katanya aku ada dalam kamu dan kamu ada dalam aku, bukan berarti kita bisa disamakan sama rata. Manusia itu individu, individu yang biasa melakukan kesalahan dan melakukan pembenaran. Ya, dengan agamalah –salah satu pembenaran yang digunakan manusia atas kesalahannya. Apa kesalahannya? Ya, agama-agama yang dibuat manusia itu sendiri! Agama bisa membenarkan dirinya sendiri dan manusia (biasanya) hanya bisa melakukan pembenaran menggunakan agamanya.
Ah, itukan hanya anggapanmu saja.
Memang. Itu memang anggapanku saja. Karena anggapan itulah yang menjadi pembenaranku –yang (sekali lagi) tidak bisa dianggap sebagai kebenaran mutlak untuk yang lainnya. Karena itu juga anggapan bahwa agama ini-itu adalah yang benar, maka sebenar-benarnya itu hanyalah sebuah pembenaran saja, karena itu anggapan, dan anggapan itu bisa salah, tidak benar.
Terus yang benar itu bagaimana?
Yang benar itu ya, diri sendiri untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Gunakan pembenaran secara benar, pembenaran untuk diri sendiri, maka itu nanti bukanlah menjadi pembenaran lagi, tapi kebenaran bagi diri sendiri. Menemukan Sendiri Kebenarannya, itulah judul tulisan yang ditulis oleh seorang Romo di Jakarta. Kebenaran diri sendiri tak bisa dipaksakan, tapi hanya bisa dibagikan, urusan mau percaya atau tidak, itu urusan orang yang mau percaya atau tidak, bukan urusan diri sendiri.
Iman kepercayaan hanya bisa menjadi kebenaran diri sendiri, dan imanku terhadap Yesus adalah dia hanyalah manusia biasa, yang sudah mati dan tak pernah bangkit lagi –itupun kalau Yesus benar-benar pernah hidup di dunia. Selama ini kita hanya (merasa) tahu mengenai Yesus lewat cerita-cerita, lewat buku-buku, tanpa tahu dan bisa membuktikannya. Karena itulah, Yesus menurut imanku hanyalah sebuah dongeng yang memberikan suatu contoh manusia yang humanis, sama halnya Sidharta Gautama –mungkin juga Sai Baba. Dalam hal ini pula, Yesus, Sidharta, maupun Sai Baba, sama-sama memiliki pengikut, pengikut yang percaya bahwa mereka adalah Tuhan, Buddha, maupun manusia setengah dewa. Tak ada yang salah dengan kepercayaan mereka, toh namanya juga kepercayaan, manusia berhak percaya dan tidak percaya terhadap sesuatu, akupun meski bukan seorang yang beragama atau ateis, tetap memiliki kepercayaan, aku hanya percaya pada ketidaktahuanku akan Tuhan, aku tidak menunda kepercayaan seperti orang-orang agnostik pada umumnya, aku sudah memilih untuk percaya.
Aku lebih memilih menjadi agnostik yang percaya pada ketidaktahuan, karena aku memang tidak tahu pada ketidaktahuanku itu. Dan karena aku tidak tahu (dan sudah tidak mau tahu lagi) akan ketidaktahuan mengenai Tuhan, aku bisa memaklumi manusia beragama dan ateis. Memaklumi berarti toleransi, toleransi terhadap apa yang menjadi pilihan kepercayaan orang lain. Rasa-rasanya, inilah yang kurang ada dalam kedua sistem kepercayaan yang biasanya perang sendiri, entah itu antara teis dengan ateis maupun teis dengan teis, meributkan Tuhan –bukan berarti semua yang menganut agama atau ateisme tidak memiliki toleransi.
Jadi kalaupun Sai Baba yang dianggap manusia setengah dewa itu bisa mati, lalu kenapa? Adakah yang perlu ditertawakan? Kalau itu dianggap lucu dan perlu ditertawakan, maka aku akan menganggap lebih lucu lagi dan akan menertawakan kebangkitan Yesus dari kematian, boleh khan?
Tidak boleh!
Kenapa tidak boleh? Teman seagamamu saja boleh menertawakan kematian Sai Baba, lantaran (mungkin) dia baru tahu kalau ternyata Sai Baba hanyalah manusia biasa. Padahal bagiku, lebih lucu cerita Yesus itu yang sudah kalian anggap benar mutlak, dan harus menyebar luas secara paksa (terkadang), maka jangan heran bila sekarang muncul istilah-istilah kristenisasi, islamisasi, buddhaisasi dan isasi-isasi lainnya.
Pokoknya tidak boleh, karena itu kepercayaanku, katanya toleransi?
Justru karena aku toleran terhadap kepercayaanmu itu, aku minta ijin dulu tadi. Tapi, yang perlu diingat, kalau ingin mendapatkan toleransi oleh penganut kepercayaan yang lainnya, ya bersikaplah toleran pada mereka juga. Jadi, (sekali lagi dan terakhir kalinya) kalau Sai Baba mati, mbok ya biasa wae.
Sekali lagi (dan bener-bener yang terakhir kalinya) aku bilang: Selamat Paskah! Eh, tulisanku sudah pas kah? Hehehe
Sekali lagi (dan bener-bener yang terakhir kalinya) aku bilang: Selamat Paskah! Eh, tulisanku sudah pas kah? Hehehe
4 komentar:
goblok
Kalau begitu tunjukkan saya yang pintar itu seperti apa? Mungkin anda bisa menuliskannya dengan pintar... ;)
Ada yang tidak biasa dengan kematian Sai Baba...
baca berita kematiannya, karena GAGAL JANTUNG.
Dulu, dari cerita ayah saya, ketika ayah saya mau pergi ke Papua, mbah buyut saya bilang, "Apa tidak akan menunggui kematianku?" Ayah bertanya, "Apa mbah sudah akan mati?". Mbah buyut bilang, "Anak muda itu dikasih tahu ya tidak percaya."
Dan benar, mbah buyut meninggal ketika ayah saya di Papua.
Sai Baba yang "setengah dewa", mati karena gagal jantung, itu yang "aneh". Konon, beberapa orang 'sakti' di Jawa, matinya "moksa" lenyap begitu saja... konon lho.
Tapi saya masih ingat, mbah buyut saya (yg dari ibu), ketika meninggal dunia, wajahnya tidak bisa di foto (semua foto yang memuat wajahnya, 'terbakar' -- dulu foto pakai FILM).
Seorang tetangga kampung saya dulu, sebelum mati, mandi dulu, trus tidur, langsung mati.
Sai Baba? gagal jantung.
bagaimana dengan ke-dewa-an Sai Baba?
Bagiku tetap biasa-biasa saja. Ke-dewa-an Sai Baba? Mana aku tahu? Yang aku tahu dia manusia. Lalu?
Post a Comment