Skip to main content

Fakultas Psikologi Sedang Kritis?

Dalam beberapa hari ini, masih terdengar di Fakultas Psikologi mengenai masalah seputar spanduk yang sempat terpasang, dengan tulisan yang mempertanyakan beberapa hal yang dianggap tidak jelas kepada fakultas dan meminta kesadaran dari Lembaga Kemahasiswaan Fakultas (LKF) serta semua mahasiswa Fakultas Psikologi –atau bisa aku katakan, bahwa secara gamblang itu meminta dukungan dari semua mahasiswa psikologi untuk maju bersama menuntut adanya perubahan.

“Mau Dibawa Kemana Fakultas Psikologi? (akreditasi?, kinerja dosen?, konflik dosen?, apatisme mahasiswa?) Mahasiswa & Dosen “SADAR DONG” LK Tunjukan Nyalimu, Jangan Jadi “KULI” Di Negerimu!!! FORMASI”

Begitulah tulisan spanduk itu yang terasa cukup emosional, menurutku, dan hal semacam ini wajar terjadi, tidak perlu terkejut. Meski aku tidak terkejut dengan adanya spanduk ini, tapi ada satu kejadian yang cukup aku sayangkan dan membuat aku sedikit “terkejut” adalah, tindakan dekan yang meminta pihak keamanan atau satpam untuk menurunkan spanduk itu, malamnya. Ini adalah tindakan yang bodoh, karena dengan tindakan semacam ini, dekan akan terlihat sangat ketakutan dan otoriter.

Aku bukannya mau membela FORMASI (Forum Mahasiswa Psikologi), gerakan ini sempat aku ikuti dulu –itu dulu, sekarang aku berdiri atas nama diri sendiri. Aku memilih untuk berdiri sendiri, karena aku sendiri sudah apatis dan tidak percaya dengan kedua-duanya, baik itu pihak fakultas, maupun para mahasiswa, khususnya FORMASI itu sendiri.

Kenapa?

Karena aku pikir bahwa pada akhirnya, manusia hanya bisa berjalan dengan apa yang ia yakini, yaitu dirinya sendiri. FORMASI sendiri sudah terbentuk sekitar bulan Maret, belum ada setahun. Aku ikut ketika aku diajak dan tertarik dengan idenya untuk memulai suatu gerakan. Sudah dari dulu aku ingin membuat atau ikut gerakan untuk menuntut perbaikan dari dosen dan LK, terutama kinerja mereka. Dari keinginan itulah, aku mau ikut FORMASI, saat itu.

Dengan beberapa ide aksi yang akan dilaksanakan saat itu, aku mulai bergerak terlebih dahulu dengan menulis di mading (yang katanya) milik SMF, dari tulisan itulah aku dipanggil oleh dekan. Sesuai dengan rencana, seharusnya saat aku akan dipanggil oleh dekan, kami menyusun rencana selanjutnya untuk meneruskan aksi. Sayangnya, pada saat aku minta untuk itu, yang ada hanyalah sekedar janji untuk pertemuan, seterusnya hilang, entah ke mana?

Dari situlah aku mulai tidak bisa percaya dengan FORMASI lagi. Dan ketika aku diminta untuk bergabung kembali, aku menolaknya, karena aku sudah tidak percaya, aku hanya percaya pada diri sendiri. Sekarang aku hanya mengingatkan kepada pelopor FORMASI –tak perlu sebut nama, karena nanti akan ketahuan sendiri— kalau sekarang sudah mulai bergerak kembali, konsisten dan terbukalah! Tolong jangan kecewakan mahasiswa-mahasiswi yang sudah menaruh kepercayaan pada gerakan ini. Kepercayaan itu mahal!

Kembali ke masalah spanduk. Sampai dengan aku menulis ini, aku masih belum mengetahui secara pasti, siapa yang memasang spanduk itu –kata “siapa” di sini, aku maksudkan untuk langsung menunjuk nama seseorang. Tidak terlalu penting buat aku, siapa anggota FORMASI yang memasang, yang terpenting bagi aku untuk menjadi pertanyaan adalah, kenapa dekan meminta satpam untuk melepaskan spanduk itu? Aku tidak tahu. Oke, meskipun dekan memiliki hak otoritas untuk hal semacam ini, tapi bagi aku ini adalah penggunaan otoritas yang berlebihan dan kurang tepat. Ini sama saja pembungkaman suara, meskipun tidak se-ekstrem pembungkaman yang dilakukan mantan Presiden Soeharto.

Terus terang, aku sudah jenuh dengan usaha pembungkaman yang dilakukan para “atasan”. Aku pernah ingin dibungkam mereka, dengan cara melarang aku untuk mempublikasikan tulisan opini mengenai permasalahan di fakultas. Akhirnya, aku tetap nekat untuk mempublikasikannya, dan berakhir dengan pemanggilan dekan saat itu, untuk dimintai keterangan dan sebagainya. Atas saran dari seorang teman pers mahasiswa, ada baiknya aku membawa perekam saat pemanggilan. Saat itu aku ingin menuliskan semua pembicaraan yang terjadi dalam pemanggilan itu, tapi tidak jadi aku tulis karena aku merasa itu bisa membuat keadaan semakin buruk, dan itu bukan tujuan utama dari jurnalisme.

Dengan kejadian ini, sekarang aku merasa “gatal” untuk beropini –seorang jurnalis tidak dilarang untuk beropini ‘kan?—terlebih ketika ada beberapa orang yang memiliki “hubungan emosional” dengan Fakultas Psikologi memberikan komentarnya di grup LK Psikologi, membuat aku muak membacanya. Seandainya ada kontes untuk berkomentar paling munafik di Facebook, aku yakin mereka menjadi finalisnya.

“kebanyakan nanya.”

Begitulah salah satu komentar itu. Kenapa aku bilang itu adalah komentar munafik? Karena aku tahu bagaimana dia semasa kuliah di Fakultas Psikologi ini. Dengan cerita-ceritanya yang pernah dia lakukan semasa kuliah sering menjadi provokasi dan konflik. Itu semua dia ceritakan dengan kebanggaan hingga katanya sendiri, dia di-blacklist oleh pihak rektorat. Semua orang memiliki haknya untuk berkomentar, tapi aku katakan ini adalah komentar yang munafik, aku muak membacanya.

Ada lagi komentar bahwa masalah seperti ini sebaiknya dibicarakan secara baik-baik, kekeluargaan, internal. Ini komentar adalah komentar seorang pengecut dan munafik. Kenapa manusia selalu tidak mau mengakui kekurangannya sendiri? Takut nama dan citranya hancur di mata orang lain? Sebegitu pentingnyakah “nama dan citra” itu sendiri? Kenapa? Aku sudah bosan dengan cara kekeluargaan macam ini. Selama ini bila setiap ada masalah yang mencuat, selalu dibicarakan secara internal, lalu adakah perubahan yang terjadi? Omong kosong! Menurutku, ini adalah bentuk dari kebosanan beberapa mahasiswa dengan semua kelambanan dan janji-janji kosong.

Baiklah, sekarang ada komentar lagi untuk menanggapi pertanyaan itu, yaitu urus saja urusan sendiri, jangan membuat perpecahan di fakultas. Terus terang, aku malah semakin bingung dengan komentar ini. Jelas bahwa sekarang yang sedang diurus adalah urusan sendiri, karena ini menyangkut kepentingan pribadi, dan jangan membuat perpecahan. Membuat perpecahan? Bukankah perpecahan di dalam fakultas sendiri sudah ada dari dulu? Ndagel! (melawak-red)

Aku sadar kalau menulis ini tentu ada konsekuensinya buat aku sendiri. Mungkin citraku akan buruk, tapi aku tidak peduli, setidaknya aku terbuka dan tidak munafik, tidak seperti pemasang spanduk yang bersembunyi sampai sekarang –orang ini tidak pantas disebut mahasiswa yang kritis, pantasnya disebut sebagai pengecut!

Saran untuk dekan, kalau anda memang merasa bahwa apa yang dipertanyakan atau dituliskan itu tidak ada masalah dan tidak benar sama sekali, tidak perlu sampai menurunkannya, cukup mengklarifikasi dan membuktikannya pada mahasiswa. Aku bersedia untuk berada di samping orang yang berani dan benar.

Comments

Yulius said…
make your own story...never give up!
Anonymous said…
ya, mengapa?
Anonymous said…
ada masalah?
Anonymous said…
jika seorang dengan latar belakang jurnalis, dan juga belajar disiplin ilmu psikologi, bertanya tidak pernah tanpa tujuan.
Anonymous said…
cobalah bergabung dengan komunitas/milist psikologi transformatif.
Adiananta said…
Memang ada tujuannya, tapi tidak jadi aku lanjutkan saja, karena bagiku sudah tidak terlalu penting.

Alamat milisnya di mana?
Anonymous said…
hmm..kasihan waktu tatkala yang tidak penting menderas...
Adiananta said…
Alamat milisnya di mana? *Sekarang bicarakan yang penting saja, bagaimana?

Popular posts from this blog

Pendidikan Anarkisme; Menanggapi Pendidikan Demokratis Radikal Ben Laksana

Setelah membaca tulisan Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis di Indoprogress , saya ingin menanggapinya dengan kedangkalan berpikir saya mengenai pendidikan. Namun sebelum menanggapi tulisan tersebut, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg sebagai prolog tulisan ini. Bila memang benar demokrasi merupakan sistem bernegara yang paling ideal, mengapa justru permasalahan negara-negara demokrasi semakin rumit setiap harinya? Apakah kegagalan negara-negara tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintahnya menerapkan demokrasi? atau apakah demokrasi hanyalah sebuah omong kosong penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya secara terselubung (dengan adanya pemilu, penguasa akan selalu mengklaim kekuasaannya berasal dari rakyat)? Buat saya, demokrasi memang hanyalah sebuah omong kosong, tidak realistis untuk diperjuangkan, bukan soal utopis atau tidaknya, tapi lebih pada kesesatan logika berpikirnya. Secara etimologi dan terminologi, bukankah demokrasi berarti pemerintahan rakyat? Namun secara...

Kenapa Hidup ....., Jika Mati .....

Jika mati bisa dianggap suatu keberuntungan, kenapa kita susah melihat keberuntungan hidup? Jika kematian saja bisa disyukuri, kenapa dalam kehidupan kita sering mengeluh? Jika kepastian mati harus dilalui berani, kenapa ketidakpastian hidup kita isi ketakutan? Kenapa kita masih hidup sampai sekarang, jika kita tak bisa menikmati proses menuju mati?

Pelampiasan

Ingin kupeluk erat dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa rindu yang telah membendung lama. Ingin kucium bibirmu sebagai pelampiasan, atas rasa nafsu yang telah memuncak lama. Ingin kujadikan dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa cinta pada sebagian diriku yang ada padamu.