Skip to main content

Manusia Otokritik

"Anda tidak akan bisa bebas memaksa orang lain untuk bisa memahami anda sepenuhnya, karena anda hanya diberikan kebebasan untuk bisa memahami diri anda sendiri dan orang lain, meskipun tidak akan bisa sepenuhnya."

Bagiku, semua manusia memiliki kecenderungan untuk anti terhadap kritik. Kenapa? Karena pada dasarnya manusia cenderung mencari yang enak saja. Buat aku pribadi, mengkritik adalah suatu keenakan tersendiri, lebih enak melontarkan kritik daripada menerima kritik. Dan pada akhirnya pula bisa disimpulkan, manusia yang sering mengkritik cenderung anti kritik atau tidak mau menerima kritik. Tapi, bagaimana rasanya jika manusia yang tukang kritik itu, akhirnya juga mengkritik dirinya sendiri? Tetap tidak enak –karena itulah, tulisan ini lama jadinya.

Seorang teman pernah mengutip kata-kata Arief Budiman, bahwa kritikan itu konsultasi gratis. Malangnya, kutipan semacam itu selalu aku buat untuk penguatan diri untuk semakin gencar mengkritik sana dan sini. Kenapa aku merasa malang terhadap diri sendiri? Karena aku sering lupa, bahwa aku juga memerlukan konsultasi gratis itu untuk bisa mengenal diriku sendiri. Aku sering lupa bahwa akupun juga hanya manusia biasa yang tidak bisa terlepas dari kritikan. Dan malangnya lagi, ketika aku lupa akan hal itu, aku menjadi manusia anti kritik.

Kritikan yang tidak enak untuk dirasakan, memang cenderung membuat manusia menjadi anti kritik, selain itu juga dapat membuat hubungan antar individu menjadi merenggang –setidaknya itulah yang aku amati dari orang-orang yang sering aku kritik. Itulah mengapa dulu aku semakin protes dan mengkritik orang yang tidak bisa menerima kritikanku. Dan itu semua adalah kelupaanku. Lupa pada diri sendiri, aku lupa untuk mengkoreksi diri, lupa untuk menurunkan arogansiku –bahwa aku juga manusia biasa, dan lupa untuk belajar dari kelupaanku.

Manusia anti kritik memang selalu lupa akan dirinya sendiri. Ini tidak perlu disimpulkan dari teori tokoh besar manapun, aku sudah cukup membuktikannya sendiri. Hampir semua kritikanku selalu berbicara mengenai orang lain, tanpa berkaca dari diriku sendiri. Hampir semua kritikanku bernada, “kamu harus seperti ini…,” bukan bernada, “kita sebaiknya seperti ini…,” atau malah bernada, “aku sebaiknya seperti ini…,” hampir tidak ada –hanya beberapa saja.

Tidak ada refleksi diri dalam manusia yang anti kritik, semuanya selalu berisikan orang lain. Bukankah itu sudah menunjukkan lupa akan diri sendiri? Pedahal aku manusia yang cenderung ingin mengenal diri sendiri, dan itu tidak akan bisa terjadi kalau aku selalu lupa akan diriku –yah, pada akhirnya manusia yang bisa mengkritik diri sendiri adalah manusia yang bisa mengenal dirinya sendiri, meskipun tidak sepenuhnya.

Dan untung saja, dari semua proses kelupaanku, aku tidak lupa untuk mencatat –meski tidak semuanya aku catat dalam tulisan. Sempat aku membaca ulang semua catatan yang aku tulis, beberapa catatan itu terasa memuakkan bila dibaca, rasa-rasanya aku ingin memukul orang yang menulis itu semua. Aku melihat sosok yang sok mengingatkan, sok kuat, sok pintar, sok sempurna, dan sok ingin dipukul.

Jadi, kalau besok-besok masih bertemu orang macam itu lagi, pukul saja, biar orang itu ingat kalau dia memang manusia yang sempurna, manusia yang sempurna lemahnya dan gobloknya.


Popular posts from this blog

Pendidikan Anarkisme; Menanggapi Pendidikan Demokratis Radikal Ben Laksana

Setelah membaca tulisan Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis di Indoprogress , saya ingin menanggapinya dengan kedangkalan berpikir saya mengenai pendidikan. Namun sebelum menanggapi tulisan tersebut, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg sebagai prolog tulisan ini. Bila memang benar demokrasi merupakan sistem bernegara yang paling ideal, mengapa justru permasalahan negara-negara demokrasi semakin rumit setiap harinya? Apakah kegagalan negara-negara tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintahnya menerapkan demokrasi? atau apakah demokrasi hanyalah sebuah omong kosong penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya secara terselubung (dengan adanya pemilu, penguasa akan selalu mengklaim kekuasaannya berasal dari rakyat)? Buat saya, demokrasi memang hanyalah sebuah omong kosong, tidak realistis untuk diperjuangkan, bukan soal utopis atau tidaknya, tapi lebih pada kesesatan logika berpikirnya. Secara etimologi dan terminologi, bukankah demokrasi berarti pemerintahan rakyat? Namun secara...

Kenapa Hidup ....., Jika Mati .....

Jika mati bisa dianggap suatu keberuntungan, kenapa kita susah melihat keberuntungan hidup? Jika kematian saja bisa disyukuri, kenapa dalam kehidupan kita sering mengeluh? Jika kepastian mati harus dilalui berani, kenapa ketidakpastian hidup kita isi ketakutan? Kenapa kita masih hidup sampai sekarang, jika kita tak bisa menikmati proses menuju mati?

Pelampiasan

Ingin kupeluk erat dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa rindu yang telah membendung lama. Ingin kucium bibirmu sebagai pelampiasan, atas rasa nafsu yang telah memuncak lama. Ingin kujadikan dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa cinta pada sebagian diriku yang ada padamu.