Wednesday, November 21, 2012

ARA


Memang sebuah kebetulan jika aku menemuimu malam ini. Sama seperti aku menemui dirinya dulu. Dulu sekali. Apakah dirimu percaya akan sebuah kebetulan?

“Kebetulan itu gak ada. Keajaibanlah yang ada,” katanya mendebat pernyataanku.

“Bukankah keajaiban itu juga sama dengan kebetulan? Ajaib memang kalau kamu katakan kebetulan itu tak ada, sedangkan kesalahan itu ada. Hahaha...,” ejekku sambil tertawa puas.

“Jelas berbedalah. Tuhan tak menciptakan kebetulan, semuanya sudah diatur. Dan semua keteraturan yang tak bisa manusia perkirakan, itulah keajaiban. Jadi, ini bukan masalah betul atau salah!” bantahnya sedikit marah.

“Hahaha...,” tawaku tambah puas.

“Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu? Oh iya, aku lupa kalau kamu gak percaya Tuhan,” tanyanya sambil menggerutu.

“Hahaha...bukan begitu. Aku hanya suka lihat caramu marah padaku. Kamu mengingatkan aku pada ibuku,” kataku tersenyum.

“Oh, jadi kamu sengaja buat aku marah? Puas sekarang?”  gerutunya semakin tak jelas.

“Kamu keliru menangkap maksudku,” jawabku mencoba menenangkannya.

“Memangnya apa maksudmu?” tanyanya sambil mengeryitkan kedua alisnya yang berkosmetik.

Aku hanya tersenyum menatap kedua bola matanya yang cerah. “Aku merasa bahagia bisa bersama dirimu sekarang,” kataku membatin.

Kebetulan memang, jika malam ini aku merasa bahagia bersamamu. Sama bahagianya seperti aku bersama dia dulu. Tak bahagiakah dirimu malam ini, sama bahagianya seperti aku malam ini?

“Kamu kalo diem aja, aku jadi ngantuk loh. Cerita dong....,” pintamu memanja.

“Emangnya kamu mau aku cerita’in apa?” tanyaku sambil tersenyum melihat wajahmu yang manis.

“Coba cerita’in tentang dirimu aja,”

“Hmm....hehehe. Gimana ya, aku selalu bingung kalo cerita tentang diriku sendiri,”

“Ayolah. Masa sudah hidup lama, kamu belum menemukan dirimu sendiri?”

Aku hanya bisa tersenyum melihatmu, tapi dalam hati aku berkata, “Aku memang belum menemukan diriku sendiri, dan mungkin karena itulah aku menemuimu malam ini. Secara kebetulan –atau secara ajaib semesta mendukung?”

Semesta mendukung?

Ya, mungkin semesta mendukung. Selama ini aku meminta-minta untuk bisa menemukan diriku, yang selalu aku dapat adalah menemukan diriku dalam diri selain aku. Entah dalam bentuk apapun. Dan malam ini –sekali lagi—aku menemukannya dalam bentuk dirimu.

Percayakah dirimu pada semesta yang mendukung ini? Aku percaya.

“Memangnya orang se-ateis kamu bisa percaya?” tanya dirinya dulu. Dulu sekali –lagi.

“Menurutmu aku ateis?” tanyaku balik.

“Kalo kamu bukan ateis, lalu kamu apa? Kristen? Buddha? Islam? Atau Hindu?”

“Hahaha...aku bukan semua yang kamu sebutkan tadi,”

“Lalu?” tanyanya ketus.

“Aku manusia biasa. Tanpa embel-embel tadi. Aku manusia biasa yang hanya butuh makanan, air, udara, tanah, kebebasan, pengetahuan, dan cinta, serta manusia lain –seperti kamu—untuk saling berbagi.”

“Berarti kamu gak butuh Tuhan ‘kan?”

“Justru butuh banget,”

“Lalu, kenapa kamu gak percaya adanya Tuhan?”

“Tuhan itu apa? Apa yang kamu maksud sebagai Tuhan itu berbeda dengan Tuhan yang aku maksud,”

“Dan kamu akan bilang, ‘kamu keliru menangkap maksudku’ lagi bukan?”

“Hahaha....kenapa kamu jadi sensitif sekali malam ini? Lagi ‘dapet’ ya? Bukannya kita sudah pernah membicarakan soal Tuhan menurutku dan menurutmu?”

“Kapan? Aku tidak merasa kalau kita sudah pernah membicarakan itu,”

“Sudahlah. Masa kita harus berdebat setiap hari?”

“Hanya kamu yang merasa kalau ini suatu perdebatan,”

“Hahaha...ya, ya, ya. Oke. Asal kamu tahu saja, justru karena aku butuh Tuhan, aku juga butuh kamu,”

“Kok bisa? Kenapa bisa begitu?” celetuknya

“Ya, bisa. Karena dengan melihatmu, aku melihat Tuhan. Karena dengan mendengarmu, aku mendengar Tuhan. Karena setiap pertemuanku denganmu, itulah setiap pertemuanku dengan Tuhan. Bukankah dalam kitab sucimu ada tertulis, ‘Aku ada dalam kamu, dan kamu ada dalam Aku’? Kamu mengerti maksudku sekarang?”

“Ya, aku sudah mengerti itu. Tapi aku belum bisa menerimanya,”

“Hahaha...jadi pertanyaan mudahnya begini, kalau manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan, kenapa kita tidak (boleh) bisa melihat Tuhan itu dalam ciptaanNya sendiri –seperti kamu?”

“Hmm......,”

“Oke. Begini saja, kamu gak perlu menerimanya sekarang. Yang perlu kamu terima sekarang cukup cintaku saja. Karena aku sedang jatuh cinta, dan itu jatuh di kamu. Di kamu, ARA. Maukah kamu menerima itu?”

Belum selesai aku memutar ulang ingatanku itu, kamu sudah membuyarkannya. Tapi, itu tak penting. Yang terpenting sekarang aku ada bersamamu. Malam ini. Ditemani rintik hujan yang mulai mereda, dengan lagu-lagu indie barat kesukaanmu dan sisa dua batang rokok yang kita hisap bersama.

“Ya sudah, kalo kamu gak bisa ceritakan dirimu, coba ceritakan perempuan-perempuan yang kamu taksir. Aku habisin rokokmu ya, tinggal satu,” katamu melanjutkan pembicaraan kita. Malam ini.

Aku sodorkan batang rokok terakhir. “Hahaha...kenapa kamu mau tahu tentang perempuan-perempuan itu?”

“Ya karena mungkin topik itu gak bakal membosankan untuk dibicarakan. Jadi, kenapa kamu gak sama perempuan-perempuan itu?”

“Mereka pada gak mau sama aku,” jawabku sambil mengebulkan asap rokok lewat hidung dan mulutku.

“Huahahahaha.....,” tawamu terpingkal-pingkal.

“Kenapa tertawa?”

“Kamu jawabnya enteng banget, pake tampang polos lagi. Hahahaha....,”

“Loh, memang mereka gak ada yang mau sama aku kok. Ya, aku mau gimana lagi. Cuma bisa pasrah,”

“Hehehe...terus, perempuan yang mirip sama ibumu itu gimana?” tanyamu yang mulai mengingatkanku pada dirinya.

Aku mencoba mengingat dan memutar kembali kenangan itu. Cukup terekam jelas, karena aku paling ingat dengan kenangan yang memiliki muatan emosi tinggi.

“Aku sudah gak bisa sama dia lagi,” jawabku singkat.

“Memangnya kenapa?”

“Aku dan dia sudah putus komunikasi dua tahun. Biarpun dia dan aku masih satu fakultas –dan terkadang satu kelas—kita sudah putus komunikasi. Sama sekali,”

“Kok bisa?”

“Waktu itu karena kebodohanku sendiri. Ceritanya panjang,”

Aku ceritakan itu semua pada dirimu. Aku ceritakan tentang dirinya. Aku ceritakan tentang perdebatan-perdebatan itu. Aku ceritakan kenangan itu semua pada dirimu.

“Kenapa kamu selalu membawa-bawa masalahmu pakai tulisan yang bisa orang banyak baca?!”

“Memangnya kenapa? Apa masalahnya buatmu?”

“Sekarang jelas masalah buatku. Kamu menyerang sahabatku pakai tulisanmu, itu sama saja menyerang aku!”

“Sahabatmu? Hah! Sahabat dalam ranjangmu ya?”

“Jaga mulutmu!”

“Kamu yang harusnya jaga jarak dengan dia! Dia itu gak pantas kamu anggap sahabat. Dia itu laki-laki bajingan yang hanya mau menikmati tubuhmu!”

“Cukup! Aku gak mau dengar kamu bicara lagi!”

“Belum cukup aku bicara. Kamu pikir aku gak tahu isi otaknya itu? Bagaimanapun aku lebih dulu bersahabat dengan dia, daripada kamu. Jadi aku tahu semua itu, karena dia sendiri yang bilang. Dan sekarang, aku lebih memilih kamu daripada harus bersahabat dengan laki-laki bajingan macam dia!”

“Sudah! Mulai sekarang aku gak mau bicara, mendengar, bahkan melihatmu lagi! Sekarang silahkan pergi dari kosku. Aku bisa jaga diriku sendiri!”

Kata-katanya itu membuatku langsung terdiam. Seketika jantungku berhenti berdetak beberapa detik. Ketakutan menyelimuti tubuhku. Saat itu aku sangat takut untuk kehilangan dia.

“Tapi aku sudah gak bisa sama dia lagi,” kataku ulang. “Aku paling sakit hati waktu aku kecelakaan dan selama 6 bulan harus berbaring di rumah. Dan selama 6 bulan itu aku mencoba menghubungi dia. Tapi dia gak ada respon sama sekali. Itu yang paling bikin aku sakit hati. Ya sudah, sekarang aku mengalir saja. Kalo kamu sendiri gimana?” tambahku.

“Gimana apanya?”

“Sudah pernah punya pacar ‘kan?”

“Hmm...sudah-sudah,”

“Berapa kali?”

“4 kali. Memangnya kenapa?”

“Yah, coba ceritalah. Masa aku terus yang cerita,”

“Hehehe...yah, aku sama kayak kamu juga sih, mengalir aja. Jadi pacaran itu pernah ada yang sebentar –cuma beberapa bulan—ada yang lama banget –dan yang paling itu sama mantanku yang terakhir,”

“Oh ya? Terus kenapa bisa putus sama mantanmu itu?”

“Ya begitulah. Aku dan dia berbeda pandangan,”

“Beda pandangan gimana maksudmu?”

“Aku sama dia punya banyak banget perbedaan dalam pemikiran. Aku dan diasering berdebat. Padahal dia itu mantanku yang paling mendekati sempurna untuk ukuran seorang pasangan. Tapi, yah bagaimana ya. Aku terpaksa harus mutusin dia karena buat aku dia ini kurang laki-laki,”

“Hah? Maksudmu kurang laki-laki?”

“Ya, dia itu gak tahu ke depannya mau gimana, atau bagaimana. Sedangkan laki-laki itu seharusnya punya rencana jangka panjang. Jadi, ya aku putusin. Dan aku sering menunggu dia, ingatkan dia, tapi dianya gak sadar-sadar. Hah! Eh, terus kalo kamu ke depannya mau apa? Apakah mau jadi penulis atau bagaimana?”

“Hmm...aku juga belum tahu. Rencanaku yang paling jauh, aku mau ke Sumba,”

“Hehehe...kenapa mau ke Sumba?”

“Entahlah, aku merasa kalau suatu saat aku harus ke sana. Mungkin karena aku punya banyak teman Sumba. Mendengar cerita-cerita mereka aku jadi merasa harus ke sana. Aku mau naik kuda Sumba di padang savana. Aku mau melihat upacara-upacara adat mereka. Dan yang paling penting, aku mau makan daging setiap hari. Hahaha,”

“Hahaha...aku paling gak bisa makan daging loh,”

“Kenapa?”

“Gak tahu. Aku paling merasa kasihan aja melihat binatang-binatang itu. Mereka terlalu lucu untuk aku makan,”

“Hahaha...,” tawaku sedikit tertahan. “Sialan. Kenapa sama kayak perempuanku dulu yang gak suka makan daging?” kataku membatin.

“Aku sudah lihat fotomu yang lagi masak RW (rica-rica waung). Kamu kok sadis banget sih?” tanyanya dulu –dulu lagi dan lagi.

“Sadis gimana? Aku ‘kan suka makan RW. Memangnya kamu gak pernah makan itu?” tanyaku balik.

“Gak pernah. Kasihan mereka tahu. Kamu itu sadis,” katanya memojokanku.

Aku diam saja mengalihkan perhatianku ke tempat lain. Tak kutanggapi lagi perkataannya. Aku terdiam waktu itu, sama seperti malam ini.

Entah ini sudah malam ke berapa aku tak bertemu dengan dirimu, bahkan komunikasi-pun kita juga putus. Tanpa alasan yang jelas kamu putuskan hubunganmu denganku.

Kamu hanya bilang, kalau kamu sedang sibuk kerja. Kamu hanya bilang, kalau kamu sedang menghindari sosialisasi dengan orang lain. Kamu hanya bilang, kalau kamu sedang “mati hati”.

Dan semua yang kamu bilang itu, membuatku tak tahu harus bilang apa. Yang aku tahu sekarang hanyalah, aku sedang jatuh cinta. Dan itu jatuh di kamu. Di kamu, ARA.

Tunggu-tunggu. ARA? Kenapa inisial nama kalian berdua bisa sama? Inikah yang dinamakan dengan semesta yang mendukung tadi? Sebegitu menginginkannyakah aku dengan ARA yang dulu, sehingga aku bertemu denganmu, ARA-ku?

Tak mungkin. Aku sudah tak menginginkan ARA yang dulu. Aku menginginkan ARA-ku yang sekarang, yaitu kamu.
 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri