Skip to main content

Indahnya Pemberontakan Pramoedya

“Empat belas tahun umurnya pada waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia kembang kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.”

Begitulah Pram –sebutan Pramoedya Ananta Toer—memulai novel ini. Bisa saya bayangkan, betapa manisnya tokoh utama itu, semanis namanya. Gadis Pantai –manis ‘kan? Itu nama yang digunakan Pram untuk tokoh utama –yang ternyata adalah neneknya sendiri. Novel ini memang sengaja Pram tulis untuk menebus janjinya kepada sang nenek.

“Tahu aku hendak meninggalkannya pergi ke Jakarta, dia datang. Janjiku: Mbah, kalau sudah mampu cari rejeki sendiri nanti kukirimkan sarung untukmu. Aku pergi ke Jakarta. Dia pun pergi, hanya untuk selama-lamanya. Dia, nenek darahku sendiri, pribadi yang kucintai, kukagumi, kubanggakan. Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah kuketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain, dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan,” aku Pram.

Meskipun novel ini tertulis untuk menebus janji, toh nyatanya Pram tetap tak menghilangkan ciri khas tulisannya. Menggairahkan! Kegairahan Pram akan kemanusiaan terasa sangat kental –dan itulah yang menggugat rasa kemanusiaan manusia. Memang belum semua karyanya saya baca. Tapi, seiyanya itulah yang merasuk masuk dan meresap dari novel-novel Pram yang pernah saya baca.

*****

Empat belas tahun umurnya pada waktu itu, saat ia “dinikahi” sebuah keris. Empat belas tahun umurnya pada waktu itu, saat ia dibawa ke kota dengan iring-iringan dua dokar dari kampung nelayan, sehari setelah ia dinikahi keris tadi. Dan empat belas tahun umurnya pada waktu itu, saat ia mulai ketakutan dalam dimensi tanda tanya, siapakah yang menikahinya menggunakan wakil keris? Mengapa ia tak boleh tinggal di manapun ia suka?

Tanpa tahu apa-apa. Dengan begitu banyak tanda tanya. Ia dipaksa untuk menurut dan diam, tak boleh bertanya apa-apa. Bagi orang tua, adalah suatu kebanggaan ketika anaknya dinikahi oleh seorang priyayi dari Rembang –meskipun pernikahan itu diwakili oleh sebatang keris tak menjadi soal. Gadis Pantai diharapkan akan bisa menaikkan martabat keluarganya. Dari kaum miskin menjadi kaum bangsawan.

Dalam sekejap, status Gadis Pantai memang berubah. Dari orang kebanyakan –istilah untuk kaum miskin—menjadi Mas Nganten –“Mas” adalah gelar bagi bangsawan/wati Jawa. Meski Gadis Pantai telah menjadi orang ningrat, nyatanya, itu tak mengubah keluarganya menjadi ningrat pula.

Malam itu Gadis Pantai minta pada bujang untuk tidur dengan emak. Tapi bujang tak meluluskan.
“Biarlah emak kawani aku di sini, kalau aku tak boleh tidur di kamar dapur.”
“Itu tidak layak bagi wanita utama.”
“Dia emakku, emakku sendiri, mBok.”
“Begitulah mas Nganten, biar emak sendiri, kalau emaknya orang kebanyakan, dia tetap seorang sahayanya.”
“Tidak, tidak, akulah sahaya emakku. Di kampungku aku lakukan segala perintahnya, aku akan teruskan lakukan perintahnya.”
“Itulah salahnya, Mas Nganten, adat priyayi tinggi lain lagi. Dan di sini kota, bukan kampung di tepi pantai.”

Walau Gadis Pantai saat itu sudah menjadi ningrat, ia belum bisa langsung berkuasa dalam rumah. Ia terlebih dulu harus belajar banyak hal mengenai adat priyayi tinggi. Mulai dari mengaji, membatik, hingga melayani Bendoro –panggilan suami priyayinya—baik urusan dapur, maupun kasur. Ia juga diharuskan untuk belajar mengenai tugas utama seorang perempuan utama –Gadis Pantai—yaitu, memerintah seisi rumah, kecuali Bendoro. Karena yang paling berkuasa tetaplah Bendoro. Ia adalah “barang” milik Bendoro.

Dua tahun lebih ia telah terpisah dari kampungnya, bahkan keluarganya. Karena bagi adat priyayi, tak pantas seorang ningrat hidup bersama dengan orang kebanyakan –orang yang dianggap hina dan berdosa. Banyak pembelajaran dan pengalaman yang Mas Nganten dapat selama dua tahun itu. Terutama tentang kekuasaan yang baginya sendiri tak manusiawi.

Tak ada keadilan. Tak ada kebebasan. Tak ada bahagia. Bahkan suara tawa saja sangat jarang ia dengar. Namun, tampaknya Gadis Pantai mulai terbiasa dengan itu semua. Ia juga mulai merasa rindu pada Bendoro, jika barang semalam saja Bendoro tak pulang rumah. Bendoro yang semula dalam bayangannya adalah orang keras, kasar, dan tak ada kasih sayang, ternyata lembut, sopan, dan penuh kasih sayang terhadap dirinya.

Tak hanya itu, setelah mendengar banyak rumor bahwa Bendoro sudah sering menikah, dan semua istrinya telah diceraikan. Ia juga mulai cemburu dan takut, kalau-kalau Bendoro pergi untuk mencari penggantinya. Namun, Mas Nganten tak ada hak untuk bertanya soal kepergian Bendoro, yang semakin lama semakin sering dan tak pulang hingga beberapa hari.

Sejak bujang tua (gundik) satu-satunya yang paling ia percaya dan sayangi diusir, kecemburuan dan ketakutannya semakin memburuk. Bujang itu diusir oleh Bendoro karena dianggap tak berbakti pada kemenakan-kemenakan Bendoro, yang saat itu ketahuan mencuri uang belanja harian Mas Nganten –bujang itu melaporkan pencurian itu pada Bendoro.

Dengan terusirnya si bujang tua, maka didatangkanlah bujang baru dari Bendoro Demak –yang merupakan kerabat jauh Bendoro Rembang, suami Mas Nganten. Namanya Mardinah. “Mukanya bulat, dan mulutnya begitu kecil, seakan seakan sebuah bawang merah menempel pada sebuah cobek. Sepasang alisnya hitam tebal, hampir-hampir bersambung, sedang dagunya yang begitu tumpul seakan merupakan bagian dari dasar mukanya yang bulat,” deskripsi Pram tentang rupa Mardinah.

Mas Nganten langsung tak suka, bahkan benci pada Mardinah. Baru kali itu, ia mendapati seorang gundik yang berani kurang ajar padanya selama dua tahun Gadis Pantai menjadi perempuan utama. Ternyata, Mardinah adalah perempuan suruhan Bendoro Demak yang dikirim khusus untuk mengusir Gadis Pantai dari rumah Bendoro. Ternyata, Mardinah sendiri juga masih keturunan seorang bangsawan. Ayahnya adalah seorang juru tulis –orang yang pernah mengenyam pendidikan, sudah bisa dianggap sebagai priyayi, namun tingkatan rendah.

“Siapa yang menggaji kau di sini?” Gadis Pantai bertanya.
“Mas Nganten.”
“Tidak. Aku tak suka menggajimu. Minta gaji pada Bendoromu dari Demak. Aku sekarang mulai tahu siapa kau, kau datang ke mari buat membuat onar.”
“Tidak, sahaya datang buat kepentingan Bendoro.”
“Ha?”
“Karena tidak layak beberapa kali beristrikan orang kampung melulu.”
Gadis Pantai menjadi pucat. Nafasnya megap-megap. Ia tahu tak punya kekuatan sedikit pun untuk menegakkan diri di tengah-tengah kumpulan bangsawan. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan daun marmer meja. Tapi marmer yang dingin tetap dingin. Tak ada sesuatu kekuatan yang menyembur darinya dan mengisi dirinya.
Melihat keadaan itu segera Mardinah menyerang. “Jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya. Seorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari Bendoro telah perintahkan sahaya ke mari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan seorang gadis yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah banyak gadis bangsawan menunggu. Siapa saja boleh Bendoro ambil, sekalipun sampai empat.”
Setelah itu, Gadis Pantai memberanikan diri menghadap Bendoro untuk bertanya-tanya mengenai Mardinah dan meminta ijin untuk pulang ke kampungnya. Sudah dua tahun lebih lamanya ia tak bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia diijinkan untuk pulang, namun untuk soal Mardinah, ia tak mendapatkan jawabannya memuaskan. Malahan, ia harus ditemani oleh Mardinah jika pulang ke kampung.

Dengan terpaksa dan tak ada hati, Gadis Pantai pulang ke kampungnya dengan ditemani oleh Mardinah. Mardinah yang bukan berasal dari orang kebanyakan, tak terbiasa tinggal di kampung. Ia pergi meninggalkan Gadis Pantai sendirian di kampung, karena Gadis Pantai pun tak suka dengannya.

Selama di kampung –tanpa Mardinah, Gadis Pantai menyadari banyak perubahan sikap dari tetangga, saudara, bahkan ayah-ibunya sekalipun. Gadis yang dulunya lahir hingga berumur empat belas tahun di kampung itu, tak pernah mendapatkan perlakuan khusus dari lingkungannya, sekarang malah sebaliknya. Bahkan ayahnya yang dulu sering memukulnya, sekarang berada dalam satu ruangan pun tak berani. Gadis Pantai merasa tak nyaman dengan itu semua. Namun, bagaimanapun ia merasa tak merasa nyaman, Gadis Pantai tetap merasa kampung itu adalah rumahnya. Lama ia merindukan deburan ombak, angin semilir pantai, bau amis. Saking rindunya, ia hampir-hampir menjadi pelupa untuk hal yang ia rindukan itu.

“Gadis Pantai tersenyum. Dalam waktu dua tahun lebih tinggal di gedung yang menyebabkan ia terbiasa memandang setiap orang punya tempat buat tinggalnya. Dan ia sudah terbiasa memandang setiap orang tinggal aman bila pintu rumah telah terkunci, tiada orang asing datang mengganggu, mendengus. Di kampung melayan, kampung kelahirannya ini pelan-pelan tapi pasti ia mulai belajar kembali tentang masa silamnya dulu. Ia tersenyum. Ia menyesal telah menjadi begitu pelupa. Di sini tak ada rumah terkunci pintunya, siang ataupun malam. Di sini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia, tapi menahan angin. Di sini semua orang tidur di ambin di malam atau di siang hari, termasuk para tamu yang tak pernah dipedulikan dari mana datangnya…”
Mardinah yang entah bagaimana kabarnya, tiba-tiba datang kembali ke kampung itu. Dengan ditemani empat penjaga lelaki, ia membawa surat –yang entah asli atau palsu—perintah dari Bendoro untuk membawa pulang Gadis Pantai. Tapi, seluruh desa tak ada yang percaya. Selain karena tak ada yang bisa membaca, saat itu sedang ada ancaman dari perompak. Mardinah dan keempat penjaganya tak diperkenankan membawa Gadis Pantai.

Ternyata, ancaman perompak itu betul. Kusir yang menunggu di jalan terakhir yang bisa dilewati dokar –sekitar dua kilometer-an jaraknya—habis dirampok, dan penjaga-penjaga mereka mati. Akhirnya, mau tak mau Mardinah pun ikut bersembunyi di kampung itu. Namun, selama mereka berlindung di kampung. Warga mendapatkan informasi bahwa Mardinah datang menjemput Gadis Pantai dengan tujuan untuk membunuhnya.

Warga yang marah akhirnya memberikan hukuman pada Mardinah untuk memilih antara tinggal di kampung itu selamanya, atau ia harus kembali ke kota sendirian. Tak ada pilihan lain, ia akhirnya memilih untuk tinggal di kampung itu. Mardinah pun dikawinkan oleh warga dengan Dul, seorang pendongeng “gila” di kampung itu.

Setelah ancaman perompak itu tiada, Gadis Pantai pun kembali ke rumah Bendoro menjadi Mas Nganten. Mas Nganten yang pulang sendirian, sedikit heran kenapa Bendoro tak menanyakan soal Mardinah. Bendoro semakin sibuk dan semakin tak pedulikan Mas Nganten. Hingga suatu ketika, Bendoro menyuruh Mas Nganten membersihkan ruang tengah –ruang tamu, karena akan ada tamu penting dari jauh, yaitu Bendoro Demak.

“Gadis pantai tersedan-sedan. Buat apa pertama kali dalam hampir tiga tahun ini ia mengetahui ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaan Bendoro. Dan kekuasaan itu berada di tangan seorang wanita. Siapa dia? Siapa? Ia tersedan-sedan kembali. Ia rasai nasibnya sendiri pun berada di tangan wanita kuasa itu. Sia-sia kekukuhan dan kebesaran rumah batu ini. Ada kekuasaan lebih perkasa daripada kekukuhan perbentengan batu ini. Ia teriak-teriak dalam hati. Akhirnya ia dihantarkan oleh sedan dari isaknya.”
Sebelum Bendoro Demak datang, Gadis Pantai telah hamil. Selama tiga bulan awal kehamilan ia tergeletak tak berdaya di kamar. Barulah setelah itu ia bisa melakukan kegiatannya sehari-hari, hingga melahirkan. Bendoro yang terlalu sibuk, tak pernah menyempatkan diri untuk barang sekali menengok keadaan Mas Nganten dan anaknya.

Gadis Pantai melahirkan anak perempuan –dan itu membuat Bendoro tak puas. Beberapa hari kemudian, barulah Bendoro datang ke kamar Mas Nganten sambil bertanya, “jadi cuma perempuan?” Tanpa mengindahkan permintaan maaf Mas Nganten, ia langsung pergi dari kamar itu.

Tiga bulan kemudian, Bendoro memanggil ayah Gadis Pantai. Mereka mengira untuk urusan keperluan kampung mereka. Ternyata, Bendoro memanggil ayah untuk membawa pulang Gadis Pantai karena ia telah diceraikan secara sepihak. Bendoro membayarkan sejumlah uang yang menurutnya sudah pantas. Gadis Pantai boleh membawa semua barang-barang pemberian Bendoro, tapi tanpa anaknya.

“Anak ini, tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai memekik rintihan.
“Anak itu? Apa guna kau pikirkan? Banyak orang bisa urus dia. Jangan pikirkan si bayi.”
“Mestikah sahaya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?”
“Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak.”Gadis Pantai tersedan-sedan.
“Sahaya harus berangkat Bendoro, tanpa anak sahaya sendiri?”
“Aku bilang kau tak punya anak. Kau belum pernah punya anak.”
“Sahaya Bendoro.”
“Pergilah.”
“Tanpa anak ini perhiasan dan uang tanpa artinya, Bendoro.”
“Kau boleh berikan pada si bayi.”
Baik bapak maupun Gadis Pantai terdiam kehabisan kata. Dan Bendoro menggoyang-goyangkan kursinya.

*****

Saya sendiri kurang tahu bagaimana adat priyayi Jawa. Meskipun saya orang Jawa dan –katanya nenek dari bapak—keluarga dari simbah buyut masih ada garis keturunan Raden Patah, tak pernah saya temukan sikap atau sifat anti kemanusiaan macam priyayi Rembang itu. Entahlah, saya sendiri kurang mendapat informasi yang jelas tentang adat priyayi dalam keluarga bapak. Yang saya tahu –dan sedikit ada kesamaannya—hanyalah, sejak jaman bapaknya simbah buyut hingga pakdhe (kakaknya bapak), keluarga besar kami memang disegani, mempunyai beberapa “gundik”, dan selalu menjadi kepala desa di sana.

Sedikit tentang priyayi. Saya sendiri sangsi, apakah priyayi ini memanglah budaya asli masyarakat Jawa? Karena dari apa yang selama ini saya pelajari mengenai manusia Jawa –mulai dari para pelajar Kawruh Jiwa, hingga Sedulur Sikep masyarakat Samin, adat priyayi ini malah bukannya “kejawaan” seorang Jawa. Masyarakat Samin, maupun para pelajar Kawruh Jiwa sangat terlihat humanis dan alamwi-nya (hubungan dengan manusia dan alam pun terjaga dengan baik). Hampir sama dengan penggambaran Pram mengenai masyarakat kampung nelayan, tempat lahir Gadis Pantai.

Dan yang membuat saya paling sangsi sebenarnya lebih pada sejarah masuknya agama-agama asing ke Jawa; seperti Buddha, Hindu, dan Islam. Agama-agama inilah yang sebenarnya mengusik aliran kepercayaan masyarakat Jawa asli, yaitu Kejawen. Tak bisa dipungkiri, bahwa sejak dan sampai kapanpun, yang namanya kepercayaan ataupun agama dominan, akan mempengaruhi kebudayaan masyarakat itu secara luas. Inilah yang membuat saya berpikirkan, bahwa orang Jawa asli tak punya kebudayaan priyayi. Priyayi lebih cenderung pada hasil buatan agama asing (Hindu dan Islam) –selain memiliki arti kata sebagai “adik raja”, priyayi juga diartikan sebagai keturunan Dewa Wisnu—dan politik kerajaan pada masa itu.

Ah, terlepas dari apakah budaya priyayi adalah budaya Jawa asli yang anti kemanusiaan atau tidak, buat saya, Pram dalam novel ini menyampaikan banyak sekali kritikan humanis-nya yang kompleks plus simpel. Bayangkan, Pram bisa mengkritisi kemanusiaan seorang priyayi hanya melalui sebuah infrastruktur bangunan. Di mana rumah priyayi pintu selalu tertutup, untuk menolak manusia yang dianggap tak sederajat. Berbeda dengan di kampung nelayan yang di mana semua orang –bahkan tak dikenal pun—bisa tidur di sana. Buat saya, inilah kejeniusan Pram dalam menyampaikan kritikan humanis-nya yang kompleks untuk dijabarkan, tapi simpel untuk dimengerti.

Beberapa orang yang disebut pakar, mengatakan bahwa ciri khas sastra Pram adalah bentuk sastra kritik feminisme. Karena dalam beberapa novelnya, Pram cenderung menggunakan penokohan perempuan, sebagai tokoh yang berpengaruh dalam melakukan kritikan sastrawi-nya.

Entahlah, kenapa sampai sekarang feminisme selalu disama-ratakan dengan gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan pria? Okelah kalau ciri khas sastra Pram memang kritik feminisme, tapi menurut saya, kecenderungan Pram menggunakan perempuan sebagai tokoh berpengaruh itu bukanlah “ukurannya” feminisme atau bukan. Buat saya, ukuran feminis itu lebih pada kesetaraan gender, namun dalam mencapainya selalu menggunakan cara-cara yang feminin (tanpa kekerasan, anggun, lembut, dan semua tetek bengek yang selama ini kita cantolkan pada sosok perempuan).

Membaca Gadis Pantai, yang tokoh utamanya adalah perempuan, tak semerta-merta membuat Pram fokus pada ketakadilan yang dialami oleh tokoh utama saja. Siapa yang akan menyangka bahwa Bendoro Rembang –yang menindas Gadis Pantai—bisa mendapat kekerasan dari Bendoro Demak –yang Gadis Pantai tak sangka pula bahwa Bendoro itu seorang perempuan!

Dan kalau feminisme dalam novel-novel Pram –terutama Gadis Pantai—hanya karena kecenderungan Pram tadi. Lalu, bagaimana dengan feodalisme dalam novel ini –ataupun novel tetraloginya; Bumi Manusia dan kawan-kawan—yang justru dikendalikan oleh perempuan? Dalam feodalisme, siapapun bisa mendapatkan kekerasan dari seseorang yang status sosialnya lebih tinggi –pria juga bisa mendapat kekerasan dari perempuan.

Novel ini murni humanis. Memberontak untuk mendobrak kemanusiaan manusia yang sudah lama ter-nina bobokan oleh agama, uang, dan kekuasaan. Dan kalau soal memberontak, saya jadi teringat dengan catatan di Facebook milik Satria Anandita, kakak saya. Memberontak Dengan Keindahan. Di mana dalam catatan itu, ia menginspirasi John Lennon yang memberontak dengan Imagine. Melalui sebuah lagu, John Lennon memberontak dengan indah. Dengan Imagine. Bayangkan!

Dan jika saja feminisme masih selalu diidentikkan dengan perempuan –sedangkan buat saya perempuan itu indah, maka melalui sastra, Pram juga sudah memberontak dengan keindahan. Dengan begitu, sudah dapat saya simpulkan pula bahwa kekhasan sastra Pram terletak pada pemberontakan humanis-nya yang feminin. Indah. Menggairahkan. Seperti perempuan. Oh!

Popular posts from this blog

Pendidikan Anarkisme; Menanggapi Pendidikan Demokratis Radikal Ben Laksana

Setelah membaca tulisan Ben Laksana mengenai pendidikan demokratis di Indoprogress , saya ingin menanggapinya dengan kedangkalan berpikir saya mengenai pendidikan. Namun sebelum menanggapi tulisan tersebut, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg sebagai prolog tulisan ini. Bila memang benar demokrasi merupakan sistem bernegara yang paling ideal, mengapa justru permasalahan negara-negara demokrasi semakin rumit setiap harinya? Apakah kegagalan negara-negara tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintahnya menerapkan demokrasi? atau apakah demokrasi hanyalah sebuah omong kosong penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya secara terselubung (dengan adanya pemilu, penguasa akan selalu mengklaim kekuasaannya berasal dari rakyat)? Buat saya, demokrasi memang hanyalah sebuah omong kosong, tidak realistis untuk diperjuangkan, bukan soal utopis atau tidaknya, tapi lebih pada kesesatan logika berpikirnya. Secara etimologi dan terminologi, bukankah demokrasi berarti pemerintahan rakyat? Namun secara...

Kenapa Hidup ....., Jika Mati .....

Jika mati bisa dianggap suatu keberuntungan, kenapa kita susah melihat keberuntungan hidup? Jika kematian saja bisa disyukuri, kenapa dalam kehidupan kita sering mengeluh? Jika kepastian mati harus dilalui berani, kenapa ketidakpastian hidup kita isi ketakutan? Kenapa kita masih hidup sampai sekarang, jika kita tak bisa menikmati proses menuju mati?

Pelampiasan

Ingin kupeluk erat dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa rindu yang telah membendung lama. Ingin kucium bibirmu sebagai pelampiasan, atas rasa nafsu yang telah memuncak lama. Ingin kujadikan dirimu sebagai pelampiasan, atas rasa cinta pada sebagian diriku yang ada padamu.