Monday, April 1, 2013

Melepas Bayangan


Kemarin aku baru sempat membaca lagi note Satria yang berjudul, “Balada Anak Pertama”. Di note itu, ia bercerita singkat mengenai pengalamannya menjadi anak pertama. Gak tahu kenapa, aku juga ingin bercerita singkat –tapi mungkin sedikit lebih panjang dari cerita Satria—tentang pengalamanku menjadi anak kedua. Dan sebelumnya, jujur, inti ceritaku ini sudah aku buat –kasarannya—beberapa hari sebelum Satria mem-publish baladanya.

*****

Siang itu, aku sedang mengedit draf buku milik Semuel Lusi di kafe. Dengan seorang teman (Erwin), sebuah bendel kertas, sebatang pena, dan segelas es chococinno, menemaniku duduk mengedit sambil bercerita tentang cinta Agape-Eros dan ke-zahir-an perempuan pujaan masing-masing. Tiba-tiba, beberapa teman biasa nongkrong datang. Viona, Deva, Alwin, dan Yodie. Kedatangan mereka membuat cerita kami –aku dan Erwin—berhenti, kebetulan juga si Erwin harus pergi menyelesaikan urusan.

Awalnya, kedatangan mereka tidak begitu aku hiraukan. Aku lebih fokus untuk membaca dan mengedit draf buku tadi. Sesekali mereka mengajak ngobrol, dan hanya aku tanggapi seadanya. Sampai ketika Viona, Deva, dan Alwin pergi, meninggalkan aku dengan Yodie. Dan Yodie mulai mengajak ngobrol tentang buku yang sedang aku edit.

“Buku tentang apa itu, Van?” tanya Yodie. “Nih,” kusodorkan halaman cover buku itu.

“Oh. Eh, Van, ternyata kamu itu adiknya Satria to? Aku baru tahu,”

“Hahaha...tak pikir dari dulu kamu sudah tahu. Emangnya kenapa?”

“Beneran. Aku baru tahu sekarang ini,”

“Hmm...terus?”

“Yo gakpapa sih. Dulu aku kenalnya dari James,”

“Iyo. Gara-gara Coto Makassar dulu to,”

“Iyo,”

Akupun mulai melanjutkan pekerjaanku tadi. Ada sekitar 5 menit kami tidak berbicara, sampai akhirnya dia menyeletuk, “lihat kamu kayak gini, aku jadi inget James. Kerjaannya pegang kertas aja.”

“Hahaha...oh yo?”

“Iyo. Kalo aku tidur di kosnya, kerjanya dia itu cuma duduk sambil pegang kertas-kertas,” kata Yodie. “Sampai aku bilang sama dia, ‘sudah James, waktunya tidur.’ ‘Bentar, 30 menit lagi,’ katanya. Sudah, kerjaannya kayak gitu,” tambahnya.

“Bah, kau macam homo saja. Hahaha...,” ejekku.

“Ngawur, gak yo. Aku dulu memang sering nginep di kosnya aja. Tapi memang, aku banyak belajar dari James. Ngangenin orangnya. Sumpah, aku kangen sama James,”

“Hancur rek. Tolong, ko jaga jarak dulu e. Hahaha...,” ejekku lagi pakai logat Sumba.

“Beneran ini, Van. Eh, Van, aku boleh ngomong sesuatu gak?”

“Ngomong apa lagi kau?” tanyaku penuh curiga –jangan sampai dia beneran homo.

“Beneran ini. Aku stres, Van,”

“Stres kenapa?”

“Stres kuliah. Aku merasa terlalu banyak tekanan dari orang tuaku, sampai-sampai kuliahku memang berantakan. Semester ini aja, hampir aku lepas semua,”

“Kok bisa? Memangnya kau tertekan gimana?”

“Jadi gini, aku ‘kan dua bersaudara dan aku anak terakhir. Kakakku sekarang sudah sukses, dia sudah punya studio foto sendiri, percetakan sendiri, pokoknya sukseslah. Nah, orang tuaku ini selalu menggunakan kakakku sebagai ukuran. Dan mereka minta aku untuk cepat lulus, balik kampung halaman, dan kerja. Padahal, aku enggak suka dengan kuliah yang aku ambil sekarang ini,”

“Hmm...memangnya kau ambil apa? Terus, apa yang kamu sukai? Pernah bilang ini sama mereka?”

“Aku ambil Manajemen. Hmm...aku belum pernah bilang sama mereka, tapi aku sudah pernah bilang sama kakakku, dan dia janji bakalan kasih tahu ke orang tua. Aku sukanya itu fotografi sama sepak bola,”

“Terus, kenapa gak kamu lakukan aja kesukaanmu?”

“Orang tuaku gak kasih ijin. Mereka pengennya aku lulus, balik kampung, terus cari kerja,”

“Kenapa gak ngelawan aja? Yang punya hidup itu kamu, atau orang tuamu?”

“Ya sih, tapi ya gimana ya...,”

“Tahun ajaran baru ini nanti aku juga bakalan hentikan uang dari orang tuaku, aku mau biayai kuliahku sendiri. Aku juga mau lepas dari mereka. Biarkan mereka fokus sama adik-adikku aja,”

“Oh. Bagus deh. Mbok aku juga ajarin nulis-nulis gitu, Van. Biar kalo ada job kayak kamu gitu, aku bisa ikutan. Aku dari dulu juga pengen nulis-nulis gitu,”

“Tinggal nulis aja to. Orang gak bakalan bisa nulis, kalo gak pernah buat tulisan. Tulis sembarang aja dulu, baru nanti aku lihat,”

“Oh, gitu ya. Ya ya ya, aku paham. Nah, ini loh kakakku,” katanya sambil menunjukkan foto kakaknya yang ternyata pemain sepak bola –dan kelihatannya memang pemain professional.

“Hmm...tunggu, tunggu, kelihatannya kamu suka sepak bola dan fotografi itu gara-gara kakakmu ya?”

Dia hanya diam, sambil tersenyum.

*****

Satria, kakak yang dulu selalu menjadi patokan idealku, sekaligus sainganku semenjak kecil. Tanpa aku sadari, itu sudah menjadi racun dalam kehidupanku. Aku mencoba mengingat-ingat kembali, kenapa kakak yang menjadi patokan idealku itu, secara perlahan juga aku jadikan saingan.

Lucu. Ternyata semenjak kecil aku merasa iri dengannya. Beberapa pengalaman pertengkaran kami, selalu berujung pada “penghakiman” dari orang tua bahwa aku yang salah –saat itu, membentuk persepsi bodoh. Persepsi kalau orang tua lebih sayang pada Satria membuatku iri. Persepsi kalau rasa cinta kedua orang tuaku itu membeda-bedakan.

Aku membuat persepsi bahwa aku anak yang lebih bodoh dan lebih lemah –karena penyakitan, sekaligus lebih merepotkan dibanding Satria. Aku merasa menjadi anak yang gak berguna. Aku masih ingat waktu kecil, aku pernah bilang ingin mati pada ibuku. Ibu hanya tersenyum manis. Dan semenjak itu, perlahan –tanpa sadar—aku membuat persaingan, agar aku bisa merasa berguna, merasa bahwa aku lebih kuat, merasa bahwa aku lebih mandiri.

Persaingan itu dimulai dengan aku mengungguli Satria dalam bermain catur. Tapi, persaingan itu tak membuatku berhenti, karena Satria memang mengakui dia tak bisa dan tak tertarik dengan catur. Semenjak itu, aku mulai berhenti bermain catur –padahal sejak SD, aku sudah diakui oleh semua orang di sekolah. Semua teman, guru, dan bahkan satpam paling jago di sekolahan pun sudah aku kalahkan terus. Kebanggaan yang hanya sementara.

SMP kelas 2, kecermelanganku bermain catur hilang. Orang-orang yang selalu kalah denganku, mulai bisa mengalahkanku. Entah kenapa, mungkin karena aku mengikuti jejak Satria yang waktu SMP ikut geng motor terkenal di sekolahnya. SMP aku jadikan hanya untuk kebut-kebutan, nongkrong, dan tawuran.

Masa SMP berganti dengan masa SMA yang bisa dibilang berbalik 180 derajat. Bayangkan saja, dari anak geng motor, aku mendaftar OSIS dan tim basket. Dan lagi-lagi karena Satria. Satria sempat menjadi ketua OSIS dan kapten tim yang diakui keberhasilannya. Banyak orang di SMA itu yang selalu membanding-bandingkan aku dengan Satria. Di tim basket, aku tidak berhasil masuk tim inti –makanya aku keluar saat itu. Sedangkan di OSIS, aku hanya menjadi Wakil Ketua –itupun mungkin karena nama besar Satria di sekolahan, mereka mengharapkan aku bisa sebagus Satria. Ternyata tidak. Mungkin mereka kecewa –apalagi aku, lebih kecewa lagi. Aku belum bisa buktikan kalau aku bisa seberhasil Satria saat itu. Menjadi bayangannya semakin terlihat –apalagi ketika aku sering menggunduli kepala, sama seperti Satria. Terlalu banyak yang ingin aku samakan, bahkan lampaui dirinya.

Tapi itu belum selesai. Aku masuk lagi ke universitas yang sama dengan Satria –dari TK sampai SMA, sekolahan kami sama. Lagi-lagi, nama Satria sudah besar di kampus ini, dia terkenal dengan tulisan-tulisannya yang kritis. Dan terang saja, semenjak itu pula aku mulai belajar menulis. Tapi kali ini, Satria-lah yang menyarankan aku untuk belajar menulis. Aku gak tahu apa alasannya mengajakku untuk menulis, karena setiap kegiatan yang sudah dia lewati dulu, gak pernah dia menyarankan aku untuk ikut, aku yang memulainya sendiri.

Sayang, ajakannya ini malah aku anggap sebagai peluangku untuk memulai persaingan baru. Aku menulis untuk melampaui nama besarnya. Tapi apa? Aku tetap tak bisa melampaui nama besarnya. Aku tetap merasa menjadi bayangannya. Beberapa orang tetap membanding-bandingkan tulisanku dengan Satria. Salah satu senior yang tidak tahu kalau aku adiknya Satria saja sempat komentar, “Tulisanmu sudah bagus. Sudah hampir sama dengan Satria.” Ada kebanggaan, tapi juga kemarahan.

Tapi itu semua sudah berlalu, lalu sekali. Perlahan aku sudah tak berpatokkan pada Satria, bahkan perlahan aku berdamai dengan diriku yang menjadi bayangan Satria. Entahlah. Tapi kupikir ini semua bisa aku lepaskan karena bantuan dari Satria –yang juga sudah tahu persaingan dingin ini. Mungkin dia pergi dari Salatiga dengan sengaja, supaya dia bisa menemukan dirinya dan aku menemukan diriku sendiri. Dan sekarang, aku menulis hanya untuk kesenanganku. Murni kesenanganku.

*****

Dari cerita ini, dapat aku lihat sebagai masa laluku yang melakukan persaingan dengan Satria untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuaku. Waktu itu aku anggap orang tuaku pilih kasih karena Satria memiliki “nilai” lebih dibandingkan dengan diriku. Yah, meskipun perbandingan itu aku lakukan sendiri. Secara tak langsung aku membentuk konsep diriku sesuai dengan Satria. Inilah yang aku sebut sebagai bayangan diriku.

Menurut Carl Roger, Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi yaitu:

1. Incongruence

Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin.

2. Congruence

Congruence berarti situasi dimana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati.

Menurut Rogers, para orang tua akan memacu adanya incongruence ini ketika mereka memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Orang tua akan menerima anaknya hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya, anak tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi lain, jika orang tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si anak akan bisa mengembangkan congruence-nya.

Remaja yang orang tuanya memberikan rasa kasih sayang kondisional akan meneruskan kebiasaan ini dalam masa remajanya untuk mengubah perbuatan agar dia bisa diterima di lingkungan. Dampak dari incongruence adalah Rogers berfikir bahwa manusia akan merasa gelisah ketika konsep diri mereka terancam. Untuk melindungi diri mereka dari kegelisahan tersebut, manusia akan mengubah perbuatannya sehingga mereka mampu berpegang pada konsep diri mereka. Manusia dengan tingkat incongruence yang lebih tinggi akan merasa sangat gelisah karena realitas selalu mengancam konsep diri mereka secara terus menerus.

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Perkembangan diri dipengaruhi oleh cinta yang diterima saat kecil dari seorang ibu. Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak bersyarat).

• Jika individu menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya (unconditional positive regard). Di mana anak akan dapat mengembangkan potensinya untuk dapat berfungsi sepenuhnya.

• Jika tidak terpenuhi, maka anak akan mengembangkan penghargaan positif bersyarat (conditional positive regard). Di mana ia akan mencela diri, menghindari tingkah laku yang dicela, merasa bersalah dan tidak berharga.

Aku merasa mendapatkan conditional positive regard dari orang tuaku. Dengan aku bisa melebihi kemampuan dan prestasi kakakku, aku baru merasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuaku. Aku selalu ingin mendapatkan pembelaan dan perlindungan orang tua, bahkan ketika aku bertengkar dengan saudara-saudaraku.

Dan tak heran pula bila waktu itu akhirnya aku belum pernah bisa mengembangkan potensi-potensiku secara optimal –terbukti dengan pencapaian prestasiku yang tak pernah otentik dan tak melebihi kakakku.
 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri