Semalam teringat suara kecil menjerit,
mengingat palu mereka mengambil darah
Tangan kiri mereka membawa arit,
arit yang digunakan dengan marah.
Bukan dipakai untuk mengarit padi,
tapi menuduh kami biang keladi.
Tanpa dapat kesempatan membela diri,
hak warga negara kamipun dikebiri.
Lama setelah peristiwa berdarah itu,
kini kami mulai bersuara menuntut.
Mencoba melawan doktrin yang membatu,
kami enggan kembali bertekuk lutut!
Tak peduli nanti berhadapan siapa,
yang jelas kami menolak lupa!
Akan selalu kami ingat itu,
wajah busuk para bedebah itu!
Sekarang para bedebah itu bersabda,
berjanji bahwa nama kami bersih.
Tapi nyatanya tetap membiarkan bernoda,
nyatanya tetap ingin kami tersisih.
Bukan kami yang melakukan gerakan,
karna kami bagian dari kalian.
Kami juga bagian bangsa Indonesia,
jangan buat kami terbuang sia-sia.
Salatiga, 30 September 2014
mengingat palu mereka mengambil darah
Tangan kiri mereka membawa arit,
arit yang digunakan dengan marah.
Bukan dipakai untuk mengarit padi,
tapi menuduh kami biang keladi.
Tanpa dapat kesempatan membela diri,
hak warga negara kamipun dikebiri.
Lama setelah peristiwa berdarah itu,
kini kami mulai bersuara menuntut.
Mencoba melawan doktrin yang membatu,
kami enggan kembali bertekuk lutut!
Tak peduli nanti berhadapan siapa,
yang jelas kami menolak lupa!
Akan selalu kami ingat itu,
wajah busuk para bedebah itu!
Sekarang para bedebah itu bersabda,
berjanji bahwa nama kami bersih.
Tapi nyatanya tetap membiarkan bernoda,
nyatanya tetap ingin kami tersisih.
Bukan kami yang melakukan gerakan,
karna kami bagian dari kalian.
Kami juga bagian bangsa Indonesia,
jangan buat kami terbuang sia-sia.
Salatiga, 30 September 2014