Monday, January 11, 2021

Menantang Hidup

"Apakah kamu pernah merasa berada di titik terendah dalam hidupmu?" tanyanya membuyarkan hening.

"Pernah," jawabku singkat enggan bercerita.

Alih-alih penasaran dengan titik terendah yang seperti apa, ia langsung mengajukan pertanyaan filosofis. "Kenapa masih bertahan hidup?" tanyanya tegas.

"Aku takut merasakan proses kematian. Kalau aku bisa bunuh diri tanpa melalui proses sakit, aku akan memilih mati saat itu juga," jawabku.

"Lalu apa yang kamu lakukan saat itu?"

"Hanya bisa belajar pasrah dan ikhlas. Apa ada hal lain yang bisa aku lakukan?" tanyaku balik.

"Kenapa tidak memberontak saja pada hidup?" kembali ia hanya melontarkan pertanyaan.

"Memberontak yang seperti apa?" pertanyaannya kubalas lagi dengan pertanyaan.

Ia enggan menjawab, seolah ia tahu bahwa aku tahu apa yang ia maksud.

"Buatku, pasrah dan ikhlas itu merupakan pemberontakan terhadap hidup," imbuhku.

"Kenapa bisa begitu?"

"Kehidupan akan selalu memberikan kejadian-kejadian yang tujuannya membuat manusia tidak kuat menjalaninya. Kehidupan ingin melihat manusia tidak bisa menerima apapun yang ia berikan, hingga mungkin itulah dasar pemikiran pemberontakanmu tadi."

"Tapi bukankah pasrah dan ikhlas itu artinya kamu menyerah dengan hidup?"

"Justru sebaliknya, karena kalau manusia bisa pasrah dan ikhlas dengan semua yang diberikan kehidupan pada dirinya, manusia akan selalu siap dengan misteri-misteri selanjutnya. Jadi seperti saat kita sudah berhasil melalui satu kejadian, kita akan mudah berkata ke hidup, 'ayo, apalagi yang mau kamu kasih ke aku? Sini kasih lagi!'"

Ia pun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa bertanya lagi.

"Aku sering mengibaratkan hidup sama seperti kutukan, maka aku hanya bisa belajar pasrah dan ikhlas menjalani kutukan itu. Dengan begitu, aku mau belajar berjuang tanpa berharap apa-apa dari hidup, dan itu adalah caraku menantang kehidupan untuk mau memberikan pengalaman apapun kepadaku," imbuhku mengakhiri topik.

 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri