“Belum, kenapa?” tanyaku setengah sadar.
“Coba kamu baca dulu, aku juga ada komentar di sana,” jawabnya singkat.
“Memang ada apa?” tanyaku penasaran.
“Itu, dia bikin tulisan tanggapan mengenai tulisanmu di mading,” jawabnya.
“Oh, ya nanti aku baca,” komentarku singkat.
eL, panggilan mesra Erwin Santoso, seorang mahasiswa Fakultas Psikologi, sekaligus kakak angkatanku. Dia adalah tipe orang yang cukup idealis yang pernah aku temui di Fakultas Psikologi. Keidealisannya itulah yang membuatku cukup segan dengannya, sehingga aku rasa juga cukup dewasa untuk aku ajak berdiskusi. Beberapa pekan yang lalu, aku sedikit cerita dan diskusi dengannya mengenai tulisanku yang membuat beberapa orang di Fakultas Psikologi sedikit geger.
Karena tulisanku itulah, sampai sekarang aku masih harus menunggu panggilan ke Dekan. Waktu itu dalam rapat KBM Jurnalistik, ketua SeMa Fakultas Psikologi datang untuk menyampaikan informasi mengenai permasalahan itu. Ia mengatakan bahwa tulisan itu sempat menjadi pembahasan di rapat fakultas. Katanya, Dekan mempermasalahkan tulisanku itu karena adanya isu Educational Abuse yang masuk dalam tulisan. Dekan merasa bahwa isu adanya Educational Abuse itu tidak pernah masuk dalam Open Forum, hal inilah yang menurut Ia tidak ada relevansinya antara isi dengan judul ataupun tujuan tulisan itu.
Setelah itu, aku pikir permasalahan hanya akan berlanjut pada sebuah pemanggilan (yang sampai saat ini pun belum ada pemanggilan). Tapi ternyata masalah ini berlanjut di jejaring sosial Facebook juga, di grup buatan BPMF, salah seorang mahasiswa angkatan 2008, memposting artikel penjelasan detail mengenai apa dan bagaimana Educational Abuse itu. Awalnya aku agak heran kenapa tiba-tiba ada postingan macam ini, karena ketika rapat KBM pun, ketua SeMa sempat mempertanyakan dan mempermasalahkan mengenai pengertian Educational Abuse yang aku tuliskan juga di situ, darimana aku mendapatkan pengertian itu? Tentu saja dari kesimpulanku sendiri yang aku dapatkan dari hasil diskusi dengan beberapa teman (jelas “mereka”, orang-orang yang mempermasalahkan itu akan mempertanyakan mengenai kapabilitasku, seorang mahasiswa semester 4 yang pernah cuti juga, akan Educational Abuse).
Mungkin aku sudah berprasangka dan tetap berprasangka hingga sekarang pada mahasiswa itu. Karena yang aku tahu, mahasiswa itu memiliki hubungan dekat dengan Dekan. Sehingga aku berpikir, ini mungkin mereka ingin menjatuhkan dan menyalahkan aku atas tulisanku itu. Akupun menanggapi postingan itu dengan sebuah asumsi bahwa beberapa orang di Lembaga Kekuasaan itu tidak suka dengan opiniku itu. Sehingga terjadilah perdebatan antara aku dengan mahasiswa angkatan 2007. Ia salah satu mahasiswa yang cukup disegani dan dituakan di Fakultas Psikologi, di sana ia memang terlihat membela SeMa, ia menyalahkan aku yang menempelkan tulisan “provokatif” (tulisanku dianggap provokatif, karena tulisan itu dapat memunculkan emosi bagi pembacanya) di Mading SeMa.
Itu sekilas permasalahannya yang sempat aku ceritakan pada eL, sekarang coba ke tulisannya eL, “Beberapa Mahasiswa Psikologi UKSW Itu Manusia Manja”. Tulisan yang kritis, dalam pengertian ia menunjukkan sikap mengkritisi semua yang menurutnya tidak benar dan itulah yang aku suka. Dalam tulisannya, eL beranggapan bahwa kejadian yang telah dan sedang terjadi di Fakultas Psikologi ini tergolong lebay dan dikarenakan beberapa mahasiswa yang “manja”, dan inilah yang dia lihat sebagai suatu kesia-siaan. Cukup menarik ketika muncul pernyataan-pernyataan bahwa semua yang terjadi itu adalah suatu kesia-siaan belaka, baik dari pihak LK, aku sebagai teman jurnalisnya, hingga dirinya sendiri yang juga melakukan kesia-siaan karena ikut campur dalam masalah-masalah macam ini. Yah, bagaimanapun menurutku itu bukanlah suatu masalah yang besar, sehingga terjadi suatu kesia-siaan yang sial.
Kesia-siaan atau sesuatu yang sia-sia, menurutku itu hanyalah sebuah persepsi manusia belaka dan manusia bebas mempersepsikan apapun itu. Maka, jika eL menganggap ini-itu semuanya sia-sia adalah haknya, jika eL mengkritisi sesuatu, bagiku itu juga haknya untuk bicara, dan siapapun berhak menggunakan haknya bersuara dan berpendapat. Democrazy po ra?
Ini dan itu belum tentu sesuatu yang sia-sia, tergantung manusia itu sendiri ingin mempersepsikannya bagaimana? Jika bertanya pada Albert Camus, jelas dia akan mengatakan bahwa itu semua adalah sia-sia, karena bagi dia, hidup manusia itu sendiri sudah suatu kesia-siaan. Sudah tahu hidup itu sia-sia kok masih gak bunuh diri saja? Itu pertanyaan klise yang bagi Camus adalah suatu permasalahan filsafat dan mungkin itulah yang membuat dia berjuang tanpa berharap. Persepsi kesia-siaan itu biasanya muncul dari rasa kecewa, rasa kecewa itu biasanya muncul dari harapan, itu menurutku loh ya. Jadi tidak heran juga bila dulu Hok-gie pun pernah bilang sama Arief Budiman kalau dia merasa sia-sia saja melakukan kritikan di sana-sini, tak ada perubahan. Itulah kekecewaan seorang Hok-gie yang dianggap sebagian orang sebagai mahasiswa teladan dulunya, termasuk aku.
Apakah suatu kesia-siaan bagi BPMF melakukan Open Forum? Menurutku bisa ya, bisa tidak. Ya, jika Open Forum itu sebenarnya tidak dapat menjaring aspirasi atau pendapat mahasiswa, sedikit apapun, sekecil apapun, bahkan selebay dan semanja apapun. Pendapat tidak harus sangar, ataupun tidak harus kritis, siapa yang mengharuskan? Sia-sia juga bila apa yang sudah masuk Open Forum tidak pernah ada kelanjutannya, karena itu, supaya tidak sia-sia karena tidak adanya tindak lanjutnya, ya perlu diingatkan. Tapi bagaimana jika tetap tidak ada tindak lanjutnya? Ya bubarkan saja LK, toh mahasiswa tanpa LK pun masih bisa beraspirasi. Memang keotoritasan penguasa itu sudah jadi rahasia umum, dan bila eL bertanya mengapa baru sadar sekarang? Mengapa baru mencuat sekarang? Ya, masih mending baru sadar dan mencuat sekarang, daripada tidak sama sekali? Kalaupun nantinya tetap tidak didengarkan oleh penguasa fakultas, mahasiswa masih bisa memilih untuk keluar dari fakultas, bahkan keluar dari universitas, biar mati sekalian itu semua kesia-siaan. Apakah bisa? Tentu saja bisa, cuma belum tentu semuanya mau.
Terus terang, bagiku menjadi mahasiswa itu memang sia-sia, jika kehidupannya cuma ngurusin kuliah. Belajar bukan cuma di ruang kelas, belajar bukan sebatas mengerjakan tugas dan belajar bukan hanya milik mahasiswa, tapi belajar itu bebas di mana aja, kapan aja, ngapain aja dan yang terutama milik siapa aja, bahkan binatang sekalipun. Mahasiswa bukanlah sesuatu yang sakral, apakah kesakralan itu masih bisa dibeli dengan uang macam status mahasiswa sekarang? Mahasiswa itu biasa-biasa saja, manusia biasa, bukan manusia sakral.
Apakah benar aku juga melakukan kesia-siaan dalam menulis opini, mempertanyakan kejelasan Open Forum itu? Apakah suatu kesamaan pula antara berita dengan opini? Bukankah aku sudah bilang bahwa itu opiniku, bukan beritaku? Kalau si dosen melakukan kesia-siaan karena diwawancarai oleh orang yang katanya salah, maka yang benar dan tidak sia-sia itu yang seperti apa dan bagaimana? Memang perlu aku akui bahwa tulisan itu tidak berimbang karena ketidak sempatanku mewawancari pihak fakultas, terutama Dekan. Karena itulah aku perlu menerima kritikan eL mengenai tulisan yang tak berimbang, tapi apakah aku juga tetap diharuskan untuk tidak menurunkan opiniku yang dikejar deadline? Siapa yang mengharuskan? Bill Kovach-kah? Kalau iya, emang pentingkah? Tujuanku jelas untuk mempertanyakan, untuk beraspirasi, kalau dianggap untuk memonitor, ya puji syukur kalau mereka merasa dimonitori dan dengan demikian LK dan fakultas akan lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan dan kebijakannya khan? Maka di mana kesia-siaan itu?
Dalam hal tulis menulis mengenai ini, aku tidak menemukan kesia-siaan yang sepenuhnya. Kita (dalam hal ini, aku dan eL) tidak sedang melakukan kesia-siaan belaka, kita menulis, kita belajar satu dengan yang lain dan saling mengoreksi. Selama kita masih menjadi manusia yang hidup, menurutku itu bukanlah suatu kesia-siaan seperti yang pernah diungkapkan oleh Soe Hok-gie, karena dengan menulis kita sudah saling belajar, dengan menulis kita sudah membuat suatu karya dan yang terpenting, dengan menulis kita sudah berjuang. Tetaplah menulis tanpa berharap kawanku, terima kasih sudah mau menanggapi dan mengkritisi tulisanku di mading itu. Kita tidak menulis dengan sia-sia. ;)
0 komentar:
Post a Comment