Sunday, October 9, 2011

Dari Scientiarum Menuju Psychophrenia

Dalam kehidupan bersosialisasi, perbedaan pendapat dan penilaian itu hal yang biasa dan sering terjadi. Dari perbedaan macam itu, maka timbullah sebuah kritikan, cemoohan, bahkan tertawaan, dan tidak sedikit yang bisa tersinggung karenanya –aku termasuk salah satunya.

Barusan aku sedikit tersinggung karena mendapatkan pertanyaan dari seorang kawan jurnalis di kampus, yang menurutku itu bukan sebuah pertanyaan biasa, tapi itu suatu kritikan mencemooh yang terbungkus dalam kalimat tertawaan. Untung dia melakukannya itu ke aku, entah bagaimana kalau dia melakukannya ke orang yang jarang mendapatkan hal macam itu? –mungkin bisa tiga kali lipat tersinggungnya.

Entah dengan maksud atau pemikiran seperti apa, dia bertanya mengomentari berita pertama di blog Psychophrenia –KBM Jurnalistik Fakultas Psikologi yang aku pimpin saat ini—dengan pertanyaan macam ini; “Iku berita po tajuk rencana, ndes? Hahaha..”

Aku yang sedikit binggung dengan pertanyaan itu, aku langsung balik bertanya, “Tajuk rencana seko endi’e?”

“Ky neng kompas. Hahaha.”

“Maksud’e?”

“Iku liputan to? Ada wawancara po ra to?”

“Berita iku opo? Tajuk rencana iku opo? Lha mbok pikir plagiat tha cuk? Opo kudu ono?”

“Golek’o dhewe to ya.”

“Lho? Iki aku takok dalam pikiranmu iku berita iku koyok opo, tajuk rencana iku opo, kok? Mbok pikir aku ora duwe pikiran sing jelas mengenai dua hal itu apa? Opo jok2 koen sing gak eruh?”

“Sori jek, duduk tajuk rencana dink.. Haha.. Ky model beritane buletin senin.”

“Lha terus kenapa? Apa yang membuat itu lucu? Apakah harus model yang sangar, ketika semuanya masih anak baru? Semua ada tahapannya sendiri dalam belajar. Gak perlu membandingkannya dengan SA. Belum saatnya. Yang ada nanti hanya kekecewaan.”

“Jadi begitu.. Okey..”

Begitulah pembahasan kami melalui SMS. Sebenarnya, aku sudah tidak ada rasa tersinggung lagi, rasa tersinggung itu berubah menjadi rasa gelisah –bukan geli-geli basah. Gelisah karena cara berpikir kawanku, Erwin atau eL, bahwa semuanya digeneralisasi dengan standarnya –pedahal banyak hal yang tidak bisa digeneralisasikan sesuai standarnya. Kemudian aku gelisah akan kelanjutan dari SA atau Scientiarum itu sendiri –bisa jadi “ramalan” Saam Fredy kapan waktu yang lalu tentang SA akan terjadi. Hahaha

Scientiarum adalah tempat belajar pertamaku sejak kuliah di UKSW. Di tempat itulah aku pertama kalinya merasa nyaman untuk belajar banyak hal, ketimbang belajar di ruang persegi panjang dengan “Tuhan” di depan yang berceloteh tak jelas, mendogma para manusia seperti bonekanya. Inilah tempat pertemuanku dengan jurnalisme, pers mahasiswa, orang-orang yang beridealisme “tinggi”. Dan perlu aku akui, meski secara struktural aku bukan anggotanya lagi, tapi aku masih memiliki “jiwa” di sana. Karena itulah aku masih mau membantu redaksi mereka yang katanya kekurangan editor.

Dulu, aku mungkin memiliki pemikiran yang hampir sama seperti eL, kaku –malah aku lebih kaku dari eL. Sehingga bisa aku pastikan, kalau aku tidak banyak disukai oleh orang lain. Semuanya aku komentari, aku kritik, aku jatuhkan. Semakin banyak orang yang bisa aku jatuhkan, semakin aku merasa senang dan bangga. Dan dari situlah aku berkembang menjadi orang yang lebih keras –pedahal kata orang tuaku, dari kecil aku itu anak yang keras kepala, tidak bisa dikerasin. Bayangkan saja, awal sudah keras, berkembang lebih keras, memang pantas untuk dibuang dari masyarakat.

Semenjak aku keluar dari Scientiarum, aku merasa lebih melunakkan pikiranku, menjadi malas untuk mencari-cari kesalahan orang lain, malas mendebatkan masalah sepele, tidak ada gunanya untuk melakukan itu semuanya, selain untuk kepuasan dan rasa eksistensi diri. Bukan lagi “aku mengkritik, maka aku ada”, karena toh aku akan tetap ada, meski sedang tidak mengkritik.

Berangkat dari pengalamanku ini, aku jadi berpikir dan menduga-duga, jangan-jangan iklim di Scientiarum ini memang membuat orang menjadi kaku dalam pemikirannya, kolot, tidak gaul dan tidak keren lagi. Beberapa anggotanya saat ini terlalu mengagung-agungkan romantisme Scientiarum zaman dulu, romantisme ketika masih ada orang-orang lama seperti Satria, Yodie, Bambang dan lain-lainnya. Kenapa tidak menciptakan romantisme sendiri dengan orang-orang baru yang tersedia? Hati-hati bila terlalu menginginkan masa lalu, akan membuat kekecewaan yang mendalam dan akhirnya akan tamat.

Sekarang kembali pada kawanku, terlepas dari apa yang dia maksud, aku tidak bermaksud untuk menjatuhkan, aku hanya ingin mengatakan bahwa membangun suatu organisasi dari awal itu susah –apalagi organisasi yang memiliki tuntutan professional humanistic skill, macam pers. Di mana hampir semuanya adalah orang baru yang belum memiliki pengalaman sama sekali –orang dari periode lalu, hanya ada aku dan Liany. Untuk sementara memang aku yang menangani paling banyak, dari menjadi Pemimpin Umum, merangkap menjadi Redaktur Pelaksana, Reporter, Editor, Desainer Blog dan mendampingi Reporter baru, Dan aku sadar, aku tidak bisa terus seperti ini, jadi bertambahlah lagi tugasku, aku harus mempersiapkan orang-orang baru ini, tanpa terjadi kesalahan yang fatal dalam prosesnya. Itu semua tanggung jawabku sekarang.

Ini semua sedang dalam proses pembelajaran, tidak langsung semua yang masuk harus sudah bisa sangar –apalagi mengingat bahwa ini masih dalam lingkungan kampus, level-nya jelas di bawah lingkungan kerja yang menuntut keterampilan yang sudah profesional. Di lingkungan semacam ini, aku melihat semuanya –termasuk aku—masih belajar, tidak ada senior-junior, tidak ada guru-murid, semuanya adalah pelajar. Beberapa kali aku mengingatkan eL, bahwa tidak perlu terlalu keras pada anak baru magang. Setiap orang memiliki kapasitas dan tahapan-tahapan yang tidak mungkin bisa sama rata, begitu juga dalam organisasi.

Kalau Scientiarum memiliki idealisme cara penulisannya sendiri, Psychophrenia juga memilikinya, tidak perlu disamakan. Idealisme cara penulisan Psychophrenia adalah belajar menulis sesuai dengan keinginan dan kemampuan anggotanya, selama yang ditulis itu sesuai dengan fakta yang didapatkan.

2 komentar:

Satria Anandita said...

Yang namanya Dik El itu bego banget ya. Coba perhatiken lagi cara tanya-jawabnya:

"Iku berita po tajuk rencana, ndes? Hahaha.."

Pertanyaan ini asli gak mutu. Kok bisa dia tiba-tiba tanya tajuk rencana? Logikanya berangkat darimana? Kalo dia merasa tulisan itu tajuk rencana, mustinya dia langsung bilang aja bahwa tulisan itu tajuk rencana, dengan menunjukken bukti-bukti yang kuat bahwa tulisan itu memang tajuk rencana.

Tapi, karena dasarnya Dik El itu memang sok tau dan bego, makanya dia lempar pertanyaan gak mutu kayak gitu. Emang dia tau tajuk rencana? Dari tanya-jawab itu, yang keliatan cuma kemunafikan dia wektu sok beraksi ngandhani orang laen, dan di saat yang sama tidak mau memberi keterangan sejelas-jelasnya sebagai bahan pembicaraan yang sehat. Kaspo. Dan kasponya Dik El semakin nampak pada kalimat-kalimat berikutnya:

Evan tanya, "Tajuk rencana seko endi'e?"

Dik El jawab, "Ky neng kompas. Hahaha."

Aku gak yakin apakah tawanya Dik El itu berguna. Hahaha? Apanya yang lucu? Dirinya sendiri? Ditanya bagian mana dari tulisan yang membuatnya jadi tajuk rencana, Dik El yang gak berguna itu cuma menjawab "kaya neng kompas", titik. Hahaha, titik. Tawanya ini asli munafik banget. Lagaknya mau santai, pedahal maksa. Kenapa maksa? Kerna Dik El sendiri gak tau persis apa yang dia lagi omongin. Emang beritanya Psychophrenia itu kayak tajuk rencananya Kompas? Mana buktinya? Emang dia tau tajuk rencana? Kalo dia tau, percakapan berikutnya tidak mungkin seperti ini:

Evan tanya, "Maksud'e?"

Dik El jawab, "Iku liputan to? Ada wawancara po ra to?"

Orang yang kewarasannya penuh pasti mudeng bahwa arah jawaban Dik El itu cuma berkelit. Dia terpojok wektu diminta memperjelas maksudnya soal tajuk rencana. Dia lantas makin terpojok lagi wektu si Evan tanya ini: "Berita iku opo? Tajuk rencana iku opo? Lha mbok pikir plagiat tha cuk? Opo kudu ono?"

Dan, sudah bisa ditebak, jalan perkelitannya Dik El adalah ini: "Golek'o dhewe to ya." Ini adalah cara menjawab khas orang yang sok tau, sok pinter, sekaligus sok bodho. Pedahal aslinya memang bodho, jadi mustinya gak usah sok bodho lagi. Dan jawaban Dik El seterusnya, sampe nyinggung Buletin Senin segala, itu cuma usaha Dik El melarikan diri dari kejaran pertanyaan balik yang Evan lakukan.

Dengan menimbang uraian di atas, aku semakin maklum kenapa yang namanya Dik El itu sampe sekarang gak berkembang. Orangnya tetep aja inferior dan kaspo. Asli kaspo. Dan asli inferior. Orang inferior kalo tanya pasti gak mutu, dan kalo berpendapat pasti gak bisa dipertanggungjawabken. Itulah Dik El. Yang kayak gitu kok bisa jadi editor Scientiarum? Mau dibawa kemana itu pers mahasiswa? Njegur jurang? Terus terang aku risih kalo model editor Scientiarum sekarang itu kayak Dik El.

Moga-moga Dik El baca komentarku ini ya. Anak-anak Psychophrenia juga. Buat pembelajaran bersama. Yang gak mau belajar, juga gakpapa. Biar tetep inferior, bego, kaspo, sok rendah hati, munafik, dan lain sebagainya. Seperti Dik El. Hahaha?

Dicky said...

Wah kok belum ada yg komen di komentarmu ya Sat.. Tapi komen mu emang sangat2 bagus :)

 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri