“Psikologi yang merupakan ilmu mempelajari jiwa manusia, sepertinya memerlukan pertanyaan-pertanyaan kritis dan menggugat lewat wacana filsafat.”
Begitulah pernyataan seorang Audifax dalam bukunya yang berjudul, Filsafat Psikologi –Audifax sendiri adalah seorang peneliti di SMART Human Research & Psychological Development, Surabaya. Kenapa dia memberikan pernyataan demikian? Apa gunanya pertanyaan-pertanyaan filosofis itu bagi kita – terutama pelajar psikologi? Kenapa harus dengan filsafat? Apakah ada hubungannya dengan psikologi itu sendiri? Apa itu filsafat? Apa itu psikologi?
Psikologi dikenal oleh khalayak melalui Fakultas Psikologi yang sudah (dan masih) berdiri sekarang. Psikologi dianggap masih tergolong sebagai ilmu kemarin sore –baru dianggap sebagai salah satu ilmu pengetahuan ketika Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama di dunia pada tahun 1879. Meski begitu, sebenarnya psikologi sendiri sudah menjadi banyak pemikiran orang-orang jaman dulu, seperti para filsuf Yunani kuno –Aristoteles, Socrates, Plato, Descrates, Heraclitus dan masih banyak lagi.
Namun bila teramati dengan sedikit cermat, ada suatu perbedaan dalam pembahasan manusia di masa para filsuf dengan para peneliti yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Di masa para filsuf akan terasa jelas pembahasan manusia secara fenomenologi (ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia) atas fenomena-fenomena manusia secara acak, tidak bisa diperkirakan dengan pasti dan sistematis –hanya ada kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan di masa sekarang, peneliti-peneliti manusia dengan ilmu pengetahuan dan alat-alat tesnya, sudah berani membuat sebuah kepastian akan fenomena-fenomena tadi.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah semua fenomena yang terjadi dalam hidup manusia itu bisa kita pastikan dengan teori-teori dan alat-alat tes yang sudah tersedia dalam meja hidangan ilmu pengetahuan? Apakah manusia tidak akan pernah berubah? Kalau manusia itu bersifat dinamis dan akan selalu terus berubah, apakah masih pantas kita membuat kepastian dan generalisasi pada manusia dengan teori dan alat tes psikologi yang selalu sama?
Jika tidak, maka saat ini psikologi memang pantas mendapatkan pertanyaan-pertanyaan filosofis agar tidak kehilangan etikanya ketika mengkaji manusia yang banyak kemungkinannya masing-masing –karena dengan filsafat atau bertanya tentang segala sesuatu, itu akan membuat kita menemukan banyak kemungkinan lainnya.
Apa Itu Psikologi?
Secara umum psikologi memang boleh dan sah-sah saja bila diartikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia, baik itu tubuhnya, atau pikirannya, bahkan (mungkin) jiwanya, yang semuanya itu berpengaruh pada perilaku manusia. Kata psikologi sendiri, diambil dari gabungan bahasa Yunani kuno, yaitu psyche dan logos. Psyche berarti jiwa, sedangkan logos berarti ilmu –tapi itu hanya pengertian kata secara sederhana. Secara etimologi (asal-usul kata), kata psyche dan logos belum bisa langsung diartikan demikian. Kata psyche ternyata diambil dari cerita mitologi Yunani mengenai seorang putri Psyche dan dewa cinta, yaitu “Eros”.
Singkat ceritanya, Psyche adalah seorang putri cantik yang membuat Eros jatuh cinta dan menikahinya. Tetapi, selama menjadi pasangan suami-istri, Psyche tidak pernah melihat Eros dan hanya dikunjungi ketika malam hari, tanpa bisa melihat Eros juga –meski begitu, Psyche tetap merasa bahagia. Sampai suatu ketika, Psyche mengatakan ingin melihat wajah sang dewa cinta itu, tapi ditolak oleh Eros karena belum saatnya. Lalu karena Eros kasihan melihat Psyche tidak mendapatkan keinginannya tadi, dia pun berencana membawa kedua saudari Psyche untuk datang menghibur. Sayang, rencananya itu malah membuat Psyche terhasut oleh kedua saudarinya yang menganggap Eros adalah seekor monster, hanya karena tidak mau menampakkan diri di hadapan mereka. Psyche yang telah terhasut, ingin membuktikan bahwa suaminya itu bukanlah monster. Malamnya, ketika Eros pulang dan tertidur, Psyche datang membawa obor untuk dapat melihat wajah suaminya. Ketika Psyche telah melihat ketampanan Eros, Eros pun terbangun dan seketika itu juga ia langsung meninggalkan Psyche sendirian. Sejak malam itu, Psyche berada di belantara hutan mencari-cari cintanya yang hilang. Ini adalah versi yang lebih populer aku baca.
Dari mitologi itu, (mungkin) ada benarnya juga bila manusia itu adalah suatu kekosongan, ada dalam kekosongan –kosong karena ada sesuatu yang hilang dari dalam diri manusia. Jika dalam cerita tadi putri Psyche masih mencari-cari sesuatu (cintanya) yang hilang, tidak berbeda dengan manusia (yang masih) selalu mencari-cari segala sesuatu yang diinginkan, tak lain hanya untuk mengisi kekosongan dalam dirinya –mencari sesuatu yang hilang dalam dirinya, yang membuat manusia merasakan ada sesuatu yang kosong dan ingin segera diisi.
Dan karena psyche atau jiwa –cinta pun juga demikian–itu sendiri masih sesuatu yang absurd dan abstrak, tidak bisa terjelaskan dengan jelas, maka apa yang telah hilang dan dicari-cari oleh manusia juga masih sesuatu yang absurd, abstrak dan tidak jelas –dan mungkin karena itulah sebagian besar manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapatkannya.
Beralih pada kata logos. Sebenarnya kalau kita mencermati, kata logos masih sangat kompleks dalam pengertiannya. Dalam bidang agama, kata logos bukanlah sesuatu yang diterjemahkan sebagai ilmu, melainkan firman atau kata-kata. Agama Yunani kuno menunjuk logos sebagai sabda ilahi dari seorang theos (malaikat atau Tuhan) yang memberi wahyu. Sedangkan dalam Nasrani, pada Yohanes 1:1 mengawali dengan kalimat : “En ArchĂȘ en ho logos”, yang dalam terjemahan Indonesia tertulis “pada awalnya adalah firman”. Dalam suatu kaum Stoics, logos dikenal sebagai pneuma, yaitu roh atau suatu wujud sangat halus yang katanya terkandung dalam api abadi –kaum Stoics sendiri adalah kaum Yunani kuno yang memiliki filosofi bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai jika manusia patuh terhadap takdir dan hukum alam, ini sering disebut sebagai Stoicism.
Apa maksudnya dengan api abadi tadi? Api abadi hanyalah suatu simbol, api menyimbolkan sesuatu yang selalu bergerak dan berubah-ubah dan itu bersifat abadi. Maka dari sini, dapat kita ketahui bahwa pneuma –ataupun logos—inilah yang membuat segala sesuatu tak pernah sama dan selalu berubah. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Heraclitus, seorang filsuf Yunani pra-Socrates yang percaya pada perubahan dunia yang terus-menerus, dunia yang senantiasa dalam proses “Menjadi” (Becoming). Baginya, setiap wujud yang tampak statis berasal dari tipuan, dan dia memiliki prinsip universal, yaitu api –simbol yang tadi sudah dijelaskan.
Sehingga jika logos sendiri adalah kata-kata yang bersifat selalu bergerak dan berubah, tidak tetap atau absolut, maka psikologi dapat dipahami sebagai suatu pemahaman atau ilmu pembacaan manusia yang selalu akan berubah, tidak absolut –sesuatu yang absolut biasanya akan menjadikan dirinya sebagai kebenaran akhir yang sifatnya tidak bisa dipersoalkan dan tak bisa diubah. Manusia akan terus berubah, bergerak sesuai dengan siklusnya masing-masing dan perubahan dunia itu sendiri.
Jika memang benar demikian, maka perlu kita sadari bahwa psikologi juga dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan manusia dan dunia itu sendiri –proses menjadi (being of).
Namun bila teramati dengan sedikit cermat, ada suatu perbedaan dalam pembahasan manusia di masa para filsuf dengan para peneliti yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Di masa para filsuf akan terasa jelas pembahasan manusia secara fenomenologi (ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia) atas fenomena-fenomena manusia secara acak, tidak bisa diperkirakan dengan pasti dan sistematis –hanya ada kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan di masa sekarang, peneliti-peneliti manusia dengan ilmu pengetahuan dan alat-alat tesnya, sudah berani membuat sebuah kepastian akan fenomena-fenomena tadi.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah semua fenomena yang terjadi dalam hidup manusia itu bisa kita pastikan dengan teori-teori dan alat-alat tes yang sudah tersedia dalam meja hidangan ilmu pengetahuan? Apakah manusia tidak akan pernah berubah? Kalau manusia itu bersifat dinamis dan akan selalu terus berubah, apakah masih pantas kita membuat kepastian dan generalisasi pada manusia dengan teori dan alat tes psikologi yang selalu sama?
Jika tidak, maka saat ini psikologi memang pantas mendapatkan pertanyaan-pertanyaan filosofis agar tidak kehilangan etikanya ketika mengkaji manusia yang banyak kemungkinannya masing-masing –karena dengan filsafat atau bertanya tentang segala sesuatu, itu akan membuat kita menemukan banyak kemungkinan lainnya.
Apa Itu Psikologi?
Secara umum psikologi memang boleh dan sah-sah saja bila diartikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia, baik itu tubuhnya, atau pikirannya, bahkan (mungkin) jiwanya, yang semuanya itu berpengaruh pada perilaku manusia. Kata psikologi sendiri, diambil dari gabungan bahasa Yunani kuno, yaitu psyche dan logos. Psyche berarti jiwa, sedangkan logos berarti ilmu –tapi itu hanya pengertian kata secara sederhana. Secara etimologi (asal-usul kata), kata psyche dan logos belum bisa langsung diartikan demikian. Kata psyche ternyata diambil dari cerita mitologi Yunani mengenai seorang putri Psyche dan dewa cinta, yaitu “Eros”.
Singkat ceritanya, Psyche adalah seorang putri cantik yang membuat Eros jatuh cinta dan menikahinya. Tetapi, selama menjadi pasangan suami-istri, Psyche tidak pernah melihat Eros dan hanya dikunjungi ketika malam hari, tanpa bisa melihat Eros juga –meski begitu, Psyche tetap merasa bahagia. Sampai suatu ketika, Psyche mengatakan ingin melihat wajah sang dewa cinta itu, tapi ditolak oleh Eros karena belum saatnya. Lalu karena Eros kasihan melihat Psyche tidak mendapatkan keinginannya tadi, dia pun berencana membawa kedua saudari Psyche untuk datang menghibur. Sayang, rencananya itu malah membuat Psyche terhasut oleh kedua saudarinya yang menganggap Eros adalah seekor monster, hanya karena tidak mau menampakkan diri di hadapan mereka. Psyche yang telah terhasut, ingin membuktikan bahwa suaminya itu bukanlah monster. Malamnya, ketika Eros pulang dan tertidur, Psyche datang membawa obor untuk dapat melihat wajah suaminya. Ketika Psyche telah melihat ketampanan Eros, Eros pun terbangun dan seketika itu juga ia langsung meninggalkan Psyche sendirian. Sejak malam itu, Psyche berada di belantara hutan mencari-cari cintanya yang hilang. Ini adalah versi yang lebih populer aku baca.
Dari mitologi itu, (mungkin) ada benarnya juga bila manusia itu adalah suatu kekosongan, ada dalam kekosongan –kosong karena ada sesuatu yang hilang dari dalam diri manusia. Jika dalam cerita tadi putri Psyche masih mencari-cari sesuatu (cintanya) yang hilang, tidak berbeda dengan manusia (yang masih) selalu mencari-cari segala sesuatu yang diinginkan, tak lain hanya untuk mengisi kekosongan dalam dirinya –mencari sesuatu yang hilang dalam dirinya, yang membuat manusia merasakan ada sesuatu yang kosong dan ingin segera diisi.
Dan karena psyche atau jiwa –cinta pun juga demikian–itu sendiri masih sesuatu yang absurd dan abstrak, tidak bisa terjelaskan dengan jelas, maka apa yang telah hilang dan dicari-cari oleh manusia juga masih sesuatu yang absurd, abstrak dan tidak jelas –dan mungkin karena itulah sebagian besar manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapatkannya.
Beralih pada kata logos. Sebenarnya kalau kita mencermati, kata logos masih sangat kompleks dalam pengertiannya. Dalam bidang agama, kata logos bukanlah sesuatu yang diterjemahkan sebagai ilmu, melainkan firman atau kata-kata. Agama Yunani kuno menunjuk logos sebagai sabda ilahi dari seorang theos (malaikat atau Tuhan) yang memberi wahyu. Sedangkan dalam Nasrani, pada Yohanes 1:1 mengawali dengan kalimat : “En ArchĂȘ en ho logos”, yang dalam terjemahan Indonesia tertulis “pada awalnya adalah firman”. Dalam suatu kaum Stoics, logos dikenal sebagai pneuma, yaitu roh atau suatu wujud sangat halus yang katanya terkandung dalam api abadi –kaum Stoics sendiri adalah kaum Yunani kuno yang memiliki filosofi bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai jika manusia patuh terhadap takdir dan hukum alam, ini sering disebut sebagai Stoicism.
Apa maksudnya dengan api abadi tadi? Api abadi hanyalah suatu simbol, api menyimbolkan sesuatu yang selalu bergerak dan berubah-ubah dan itu bersifat abadi. Maka dari sini, dapat kita ketahui bahwa pneuma –ataupun logos—inilah yang membuat segala sesuatu tak pernah sama dan selalu berubah. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Heraclitus, seorang filsuf Yunani pra-Socrates yang percaya pada perubahan dunia yang terus-menerus, dunia yang senantiasa dalam proses “Menjadi” (Becoming). Baginya, setiap wujud yang tampak statis berasal dari tipuan, dan dia memiliki prinsip universal, yaitu api –simbol yang tadi sudah dijelaskan.
Sehingga jika logos sendiri adalah kata-kata yang bersifat selalu bergerak dan berubah, tidak tetap atau absolut, maka psikologi dapat dipahami sebagai suatu pemahaman atau ilmu pembacaan manusia yang selalu akan berubah, tidak absolut –sesuatu yang absolut biasanya akan menjadikan dirinya sebagai kebenaran akhir yang sifatnya tidak bisa dipersoalkan dan tak bisa diubah. Manusia akan terus berubah, bergerak sesuai dengan siklusnya masing-masing dan perubahan dunia itu sendiri.
Jika memang benar demikian, maka perlu kita sadari bahwa psikologi juga dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan manusia dan dunia itu sendiri –proses menjadi (being of).