Salah satu hal yang aku benci dari psikologi –mungkin juga semua ilmu pengetahuan—adalah pengklaiman bahwa mazhab atau aliran tertentulah yang paling benar. Seperti yang beberapa kali aku dengar dan perhatikan dari akademisi psikologi, mereka cenderung untuk mengindentifikasikan diri mereka sendiri sebagai aliran tertentu, contoh, “aku aliran psikoloanalisa, aku tidak cocok dengan aliran behaviorisme atau humanistik.”
Selain tiga mazhab (aliran) di atas, aku hanya tahu beberapa mazhab saja, seperti Neuropsikologi, Psikologi Sosial, Psikologi Pendidikan, Psikologi Kognitif, dan, ah, entah ada berapa lagi? Sekarang ada lagi mazhab yang baru, yaitu Positive Psychology atau Psikologi Positif.
Psikologi Positif ini baru didirikan tahun 1998, oleh Dr. Martin E. P. Seligman, Ph.D., yang waktu itu terpilih sebagai presiden APA (American Psychological Association).
“Psikologi harus memperhatikan kekuatan manusia, sama seperti memperhatikan kelemahannya. Psikologi harus memperhatikan pembangunan kekuatan seperti memperhatikan perbaikan kerusakan. Psikologi harus tertarik harus tertarik terhadap hal-hal terbaik dalam hidup, dan harus berusaha membuat kehidupan orang normal menjadi lebih utuh,” kata Seligman.
Memang Psikologi Positif ini muncul karena adanya kritik terhadap mazhab-mazhab sebelumnya, yang dianggap selalu berorientasi pada penyakit jiwa saja. Selama kurang lebih 60 tahun dianggap ilmu pengetahuan, psikologi sudah bisa mengidentifikasi berbagai macam penyakit, dan beberapa diantara sudah bisa ditangani, bahkan disembuhkan, itu sudah cukup bagus dan akan kurang bagus nantinya.
Kenapa akan kurang bagus nantinya? Karena benar apa kata Seligman, bahwa salah satu misi psikologi adalah memperbaiki kehidupan manusia, termasuk manusia yang relatif normal menjadi lebih bahagia. Jadi, psikologi bukan melulu soal penyakit dan cara penyembuhannya.
Untung saja Seligman berani mengkritisi “kebudayaan” ilmu psikologi. Karena dengan cara kekritisan itu, maka siklus ilmu pengetahuan akan terus berjalan. Bayangkan saja bila tidak ada yang berani mengkritisi ilmu pengetahuan yang telah ada, mungkin tidak akan muncul sesuatu yang baru –mungkin kita akan hidup seperti di jaman batu sampai sekarang.
Tapi dengan pengkritisan yang kemudian memunculkan suatu ilmu baru, patut disadari dan berhati-hati terhadap pengklaiman langsung benar-salah; baik-jelek; dan relevan-usangnya sebuah ilmu pengetahuan.
Sayangnya, kebiasaan sebagian akademisi akan menganggap, bahwa ketika didirikan sebuah mazhab baru, maka pendirian itu adalah bentuk “pengeliminasian” atau bertujuan untuk menyingkirkan mazhab lainnya yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman –setidaknya, ini adalah hasil dari pengamatanku di lingkungan akademisi.
Bukankah yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru telah datang? Maka, kita bisa dan boleh “menghakimi” teori lama sebagai teori usang, teori yang sudah tidak berguna, dan boleh masuk keranjang teori sampah, begitukah?
Aku tidak setuju. Tidak selamanya yang lama itu salah, jelek, ataupun usang. Bisa jadi itu masih ada benarnya, masih ada baiknya untuk dipelajari, dan masih bisa relevan dengan keadaan sekarang.
Dan pembuangan teori tidak bisa dilakukan dengan begitu mudahnya. Apakah hanya dengan penemuan atau pendirian mazhab baru, maka semua teori dalam mazhab lama pantas dibuang semuanya? Hah, bukankah itu bodoh dan tidak kritis? Kalau seorang akademisi itu pintar dan kritis, maka tidak pantas ada sebuah istilah “aku aliran ini, dan aliran inilah yang paling relevan digunakan”.
Mengapa aku katakan tidak pantas? Karena upaya penyebutan dan pengklaiman macam ini, sama saja pengerdilan akan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana bukan sebuah pengerdilan, kalau belajar saja sudah dibuat batasannya sendiri? Dengan berkata bahwa, “aku dari aliran tertentu,” maka akan timbul sebuah ketertutupan akan aliran lain –yang berarti penutupan diri akan ilmu pengetahuan yang luas.
Kalau sudah begitu, di mana sikap keterbukaan –sebagai bentuk kekritisan—para intelektual terhadap ilmu pengetahuan?
Psikologi Positif ini baru didirikan tahun 1998, oleh Dr. Martin E. P. Seligman, Ph.D., yang waktu itu terpilih sebagai presiden APA (American Psychological Association).
“Psikologi harus memperhatikan kekuatan manusia, sama seperti memperhatikan kelemahannya. Psikologi harus memperhatikan pembangunan kekuatan seperti memperhatikan perbaikan kerusakan. Psikologi harus tertarik harus tertarik terhadap hal-hal terbaik dalam hidup, dan harus berusaha membuat kehidupan orang normal menjadi lebih utuh,” kata Seligman.
Memang Psikologi Positif ini muncul karena adanya kritik terhadap mazhab-mazhab sebelumnya, yang dianggap selalu berorientasi pada penyakit jiwa saja. Selama kurang lebih 60 tahun dianggap ilmu pengetahuan, psikologi sudah bisa mengidentifikasi berbagai macam penyakit, dan beberapa diantara sudah bisa ditangani, bahkan disembuhkan, itu sudah cukup bagus dan akan kurang bagus nantinya.
Kenapa akan kurang bagus nantinya? Karena benar apa kata Seligman, bahwa salah satu misi psikologi adalah memperbaiki kehidupan manusia, termasuk manusia yang relatif normal menjadi lebih bahagia. Jadi, psikologi bukan melulu soal penyakit dan cara penyembuhannya.
Untung saja Seligman berani mengkritisi “kebudayaan” ilmu psikologi. Karena dengan cara kekritisan itu, maka siklus ilmu pengetahuan akan terus berjalan. Bayangkan saja bila tidak ada yang berani mengkritisi ilmu pengetahuan yang telah ada, mungkin tidak akan muncul sesuatu yang baru –mungkin kita akan hidup seperti di jaman batu sampai sekarang.
Tapi dengan pengkritisan yang kemudian memunculkan suatu ilmu baru, patut disadari dan berhati-hati terhadap pengklaiman langsung benar-salah; baik-jelek; dan relevan-usangnya sebuah ilmu pengetahuan.
Sayangnya, kebiasaan sebagian akademisi akan menganggap, bahwa ketika didirikan sebuah mazhab baru, maka pendirian itu adalah bentuk “pengeliminasian” atau bertujuan untuk menyingkirkan mazhab lainnya yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman –setidaknya, ini adalah hasil dari pengamatanku di lingkungan akademisi.
Bukankah yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru telah datang? Maka, kita bisa dan boleh “menghakimi” teori lama sebagai teori usang, teori yang sudah tidak berguna, dan boleh masuk keranjang teori sampah, begitukah?
Aku tidak setuju. Tidak selamanya yang lama itu salah, jelek, ataupun usang. Bisa jadi itu masih ada benarnya, masih ada baiknya untuk dipelajari, dan masih bisa relevan dengan keadaan sekarang.
Dan pembuangan teori tidak bisa dilakukan dengan begitu mudahnya. Apakah hanya dengan penemuan atau pendirian mazhab baru, maka semua teori dalam mazhab lama pantas dibuang semuanya? Hah, bukankah itu bodoh dan tidak kritis? Kalau seorang akademisi itu pintar dan kritis, maka tidak pantas ada sebuah istilah “aku aliran ini, dan aliran inilah yang paling relevan digunakan”.
Mengapa aku katakan tidak pantas? Karena upaya penyebutan dan pengklaiman macam ini, sama saja pengerdilan akan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana bukan sebuah pengerdilan, kalau belajar saja sudah dibuat batasannya sendiri? Dengan berkata bahwa, “aku dari aliran tertentu,” maka akan timbul sebuah ketertutupan akan aliran lain –yang berarti penutupan diri akan ilmu pengetahuan yang luas.
Kalau sudah begitu, di mana sikap keterbukaan –sebagai bentuk kekritisan—para intelektual terhadap ilmu pengetahuan?
“Bahkan jika Anda berada di jalur yang benar, Anda akan terlindas jika Anda hanya duduk di sana.” –Will Rogers