Saturday, October 20, 2012

Menggali Pikiran Bawah Sadar Manusia Satyameva



satyameva jayate nānta
satyena panthā vitato devayāna
yenākramanty
ṛṣayo hyāptakāmā
yatra tat satyasya parama
nidhānam
-Mundanka Upanishad 3.1.6

Mengapa manusia sering mengatasnamakan agama dan kepercayaan di sebagian konfliknya? Kenapa sebagian dari mereka juga siap untuk membunuh orang lain, jika orang lain memiliki kebenaran yang mereka anggap berbeda dengan milik mereka? Terus terang, aku belum menemukan jawaban pastinya. Aku yang juga pernah menjadi bagian dari manusia-manusia itu, akan mencoba menjawabnya dengan menggali pikiran bawah sadarku yang dulu dan sekarang.

Tahun 2009, aku pernah menulis sebuah notes di Facebook, judulnya Aku Seorang Satyameva. Dalam notes itu, aku menggunakan istilah Satyameva untuk menunjukkan kepercayaanku yang sudah tidak beragama, namun masih bertuhan. Hingga akhirnya notes itu penuh dengan komentar-komentar perdebatanku dengan beberapa orang yang kurang sepaham –karena dalam notes itu, aku mengkritik agama secara umum. Dan coba tebak apa yang aku lakukan saat berdebat dengan mereka. Aku berusaha memenangkan debat kusir itu untuk membuktikan bahwa kepercayaan akulah yang paling benar.

Namun sebelum lebih jauh masuk dalam menggali pikiran bawah sadarku, ada baiknya kalau aku memberitahukan apa sebenarnya Satyameva itu? Kenapa aku menggunakannya sebagai istilah yang menunjukkan kepercayaanku?

Istilah ini aku ambil dari kata Satyameva Jayate. Yaitu penggalan dari sebuah mantra kitab suci Hindu India Kuno. Kitab Mundanka Upanishad namanya. Menariknya, mantra-mantra yang tertulis bukan untuk ritual keagamaan atau kepercayaan, namun hanya untuk belajar mencapai pengetahuan tertinggi, yaitu Brahmana atau Tuhan.

Truth alone triumphs; not falsehood.
Through truth the divine path is spread out by which
the sages whose desires have been completely fulfilled,
reach where that supreme treasure of Truth resides.

Aku bisa menulis notes semacam itu, karena aku membaca baris pertama mantra itu, hanya sekilas! “Truth alone triumphs; not falsehood” atau Satyameva Jayate Nānta (hanya kebenaran yang berjaya, bukan lingkaran kebohongan). Inilah yang mungkin menjadikan alam bawah sadar manusia (aku) keliru.

Kenapa bisa keliru? Karena kebenaran masih subjektif. Dan subjektifitas itu hanya membuat persepsi, bahwa yang berjaya itulah yang benar. Atau kalimat lain, manusia (aku lagi) akhirnya berlomba mencapai kejayaan atau kemenangan untuk pembenaran dirinya sendiri. Lagipula, manusia mana yang mau menyebut dirinya sendiri sebagai pendusta?

Memang saat itu aku belum sadar, bahwa perdebatan, konflik, dan kekeliruan yang terjadi, karena aku sendiri belum mencoba mengkritisi mantra itu secara mendalam. Aku ingin mendapatkan kebenaran tertinggi atau sejati, tapi yang aku kejar adalah kemenangan. Dengan kemenangan itu, aku pikir, aku sudah mendapatkan kebenaran tertinggi. Padahal yang aku dapat hanyalah kepuasan diri saja. Memang hanya untuk memenuhi keinginan akan sebuah kemenangan yang mengatasnamakan kebenaran sejati –padahal kebenaran pribadi.

Celakanya, hasrat akan pemenuhan keinginan ini menjadi lebih kuat dan menggebu-gebu, ketika aku membaca baris berikutnya. “Through truth the divine path is spread out by which the sages whose desire have been completely fulfilled reach where that supreme treasure of Truth resides,” atau, melalui kebenaran, jalan ilahi menyebar luas dari keinginan bijak yang telah mencapai kebenaran tertinggi.

Inilah yang (mungkin) membuat aku semakin kepala batu, memaksa orang lain untuk harus bisa menerima kebenaran yang aku percayai. Aku ingin menjadi orang benar, bijak, plus baik hati. Bukankah baik, jika kita menyebarkan jalan ilahi yang suci bin benar kepada orang lain? Ya, baik tujuannya, namun kurang bijak caranya.

Lalu, apa hubungannya Satyameva dengan konflik yang mengatasnamakan agama dan tetek bengeknya itu? Bukankah hanya sebagian saja yang pernah membaca tentang Satyameva?

Mungkin memang hanya sebagian manusia saja yang pernah membacanya –minimal tahu. Namun, yang aku amati dari Satyameva ini, lebih pada kesamaannya dengan beberapa ajaran agama mengenai kebenaran. Kenapa sebagian besar kebenaran itu selalu bersama-sama dengan kejayaan atau kemenangan? Adakah agama dan kepercayaan yang tidak mengaitkan kebenaran dengan kejayaan, sama sekali? Kalau ada, tolong beritahu aku.

Bukankah agama dan kepercayaan berawal dari pikiran manusia sendiri? Maka, begitu pula dengan ajarannya mengenai kebenaran, terlalu subjektif, sungguh. Kenapa terlalu subjektif? Karena pada kenyataannya, semua manusia selalu memiliki pandangan yang berbeda, meskipun mereka sama-sama dalam satu komunitas (agama dan kepercayaan) –malah yang lebih ekstrem lagi, dalam satu tubuhnya, manusia bisa memiliki berbagai pandangan yang berbeda, makanya ia bisa galau dengan dirinya sendiri.

Berangkat dari asumsi semacam itulah, aku bisa bilang, bahwa manusia tak bisa memberikan bukti kebenaran yang objektif, yang semua orang bisa terima dengan baik. Sehingga akhirnya ketika manusia tak bisa menggapai kebenaran untuk mencapai kejayaannya, manusia akan lelah, kemudian manusia hanya bisa menggapai kejayaan dengan segala cara, untuk pembenaran dirinya. Ya, siapa yang menang dalam konflik itu, dialah yang paling benar.

Maka, yang perlu manusia sadari sekarang adalah, pembenaran diri bukanlah kebenaran yang sejati. “Kebenaran sejati hanya ada di langit,” kata Soe Hok-gie. Maka, kebenaran yang ada dalam diri, seharusnya hanya untuk diri sendiri, hanya sebagai penyaring kebenaran-kebenaran orang lain. Bukan sebagai pembenaran diri atas kebenaran orang lain.

Dan dengan melihat kenyataan semacam itulah –bahwa semua manusia selalu memiliki pandangan yang berbeda, sekarang aku menganggap semua orang itu sebagai manusia Satyameva. Jika semua orang memiliki kebenarannya masing-masing, maka biarkanlah semua orang mencapai kejayaannya masing-masing.

"Anda tidak akan bisa bebas memaksa orang lain untuk bisa memahami anda sepenuhnya, karena anda hanya diberikan kebebasan untuk bisa memahami diri anda sendiri dan orang lain, meskipun tidak akan bisa sepenuhnya," kataku, saat mengkritik diriku sendiri di Facebook.
 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri