satyameva jayate nānṛtaṁ
satyena panthā vitato devayānaḥ
yenākramantyṛṣayo hyāptakāmā
yatra tat satyasya paramaṁ nidhānam
yenākramantyṛṣayo hyāptakāmā
yatra tat satyasya paramaṁ nidhānam
-Mundanka
Upanishad 3.1.6
Mengapa
manusia sering mengatasnamakan agama dan kepercayaan di sebagian konfliknya? Kenapa
sebagian dari mereka juga siap untuk membunuh orang lain, jika orang lain
memiliki kebenaran yang mereka anggap berbeda dengan milik mereka? Terus
terang, aku belum menemukan jawaban pastinya. Aku
yang juga pernah menjadi bagian dari manusia-manusia itu, akan mencoba menjawabnya dengan menggali pikiran bawah
sadarku yang dulu dan sekarang.
Tahun
2009, aku pernah menulis sebuah notes
di Facebook, judulnya Aku Seorang Satyameva. Dalam notes itu, aku menggunakan istilah
Satyameva untuk menunjukkan kepercayaanku yang sudah tidak beragama, namun
masih bertuhan. Hingga akhirnya notes
itu penuh dengan komentar-komentar perdebatanku dengan beberapa orang yang
kurang sepaham –karena dalam notes
itu, aku mengkritik agama secara umum. Dan coba tebak
apa yang aku lakukan saat berdebat dengan mereka. Aku
berusaha memenangkan debat kusir itu untuk membuktikan bahwa kepercayaan akulah
yang paling benar.
Namun
sebelum lebih jauh masuk dalam menggali pikiran bawah sadarku, ada baiknya
kalau aku memberitahukan apa sebenarnya Satyameva itu? Kenapa aku
menggunakannya sebagai istilah yang menunjukkan kepercayaanku?
Istilah
ini aku ambil dari kata Satyameva Jayate. Yaitu penggalan dari sebuah mantra
kitab suci Hindu India Kuno. Kitab Mundanka Upanishad namanya. Menariknya,
mantra-mantra yang tertulis bukan untuk ritual keagamaan atau kepercayaan,
namun hanya untuk belajar mencapai pengetahuan tertinggi, yaitu Brahmana atau
Tuhan.
Truth alone
triumphs; not falsehood.
Through truth the divine path is spread out by which
the sages whose desires have been completely fulfilled,
reach where that supreme treasure of Truth resides.
Through truth the divine path is spread out by which
the sages whose desires have been completely fulfilled,
reach where that supreme treasure of Truth resides.
Aku
bisa menulis notes semacam itu, karena aku membaca
baris pertama mantra itu, hanya sekilas! “Truth alone triumphs; not falsehood”
atau Satyameva Jayate Nānṛtaṁ (hanya
kebenaran yang berjaya, bukan lingkaran kebohongan). Inilah yang mungkin
menjadikan alam bawah sadar manusia (aku) keliru.
Kenapa
bisa keliru? Karena kebenaran masih subjektif. Dan subjektifitas itu hanya
membuat persepsi, bahwa yang berjaya itulah yang benar. Atau kalimat lain,
manusia (aku lagi) akhirnya berlomba mencapai kejayaan atau kemenangan untuk
pembenaran dirinya sendiri. Lagipula, manusia mana yang mau menyebut dirinya
sendiri sebagai pendusta?
Memang
saat itu aku belum sadar, bahwa perdebatan, konflik, dan kekeliruan yang terjadi,
karena aku sendiri belum mencoba mengkritisi mantra itu secara mendalam. Aku
ingin mendapatkan kebenaran tertinggi atau sejati, tapi yang aku kejar adalah
kemenangan. Dengan kemenangan itu, aku pikir, aku sudah mendapatkan kebenaran
tertinggi. Padahal yang aku dapat hanyalah kepuasan diri saja. Memang hanya
untuk memenuhi keinginan akan sebuah kemenangan yang mengatasnamakan kebenaran
sejati –padahal kebenaran pribadi.
Celakanya,
hasrat akan pemenuhan keinginan ini menjadi lebih kuat dan menggebu-gebu,
ketika aku membaca baris berikutnya. “Through truth the divine path is spread
out by which the sages whose desire have been completely fulfilled reach where
that supreme treasure of Truth resides,” atau, melalui kebenaran, jalan ilahi
menyebar luas dari keinginan bijak yang telah mencapai kebenaran tertinggi.
Inilah
yang (mungkin) membuat aku semakin kepala batu, memaksa orang lain untuk harus
bisa menerima kebenaran yang aku percayai. Aku ingin menjadi orang benar,
bijak, plus baik hati. Bukankah baik,
jika kita menyebarkan jalan ilahi yang suci bin benar kepada orang lain? Ya, baik
tujuannya, namun kurang bijak caranya.
Lalu,
apa hubungannya Satyameva dengan konflik yang mengatasnamakan agama dan tetek
bengeknya itu? Bukankah hanya sebagian saja yang pernah membaca tentang
Satyameva?
Mungkin
memang hanya sebagian manusia saja yang pernah membacanya –minimal tahu. Namun,
yang aku amati dari Satyameva ini, lebih pada kesamaannya dengan beberapa
ajaran agama mengenai kebenaran. Kenapa sebagian besar kebenaran itu selalu
bersama-sama dengan kejayaan atau kemenangan? Adakah agama dan kepercayaan yang
tidak mengaitkan kebenaran dengan kejayaan, sama sekali? Kalau ada, tolong
beritahu aku.
Bukankah
agama dan kepercayaan berawal dari pikiran manusia sendiri? Maka, begitu pula
dengan ajarannya mengenai kebenaran, terlalu subjektif, sungguh. Kenapa terlalu
subjektif? Karena pada kenyataannya, semua manusia selalu memiliki pandangan
yang berbeda, meskipun mereka sama-sama dalam satu komunitas (agama dan
kepercayaan) –malah yang lebih ekstrem lagi, dalam satu tubuhnya, manusia bisa
memiliki berbagai pandangan yang berbeda, makanya ia bisa galau dengan dirinya
sendiri.
Berangkat
dari asumsi semacam itulah, aku bisa bilang, bahwa manusia tak bisa memberikan
bukti kebenaran yang objektif, yang semua orang bisa terima dengan baik. Sehingga
akhirnya ketika manusia tak bisa menggapai kebenaran untuk mencapai
kejayaannya, manusia akan lelah, kemudian manusia hanya bisa menggapai kejayaan
dengan segala cara, untuk pembenaran dirinya. Ya, siapa yang menang dalam
konflik itu, dialah yang paling benar.
Maka,
yang perlu manusia sadari sekarang adalah, pembenaran diri bukanlah kebenaran
yang sejati. “Kebenaran sejati hanya ada di langit,” kata Soe Hok-gie. Maka,
kebenaran yang ada dalam diri, seharusnya hanya untuk diri sendiri, hanya
sebagai penyaring kebenaran-kebenaran orang lain. Bukan sebagai pembenaran diri
atas kebenaran orang lain.
Dan
dengan melihat kenyataan semacam itulah –bahwa semua manusia selalu memiliki
pandangan yang berbeda, sekarang aku menganggap semua orang itu sebagai manusia
Satyameva. Jika semua orang memiliki kebenarannya masing-masing, maka
biarkanlah semua orang mencapai kejayaannya masing-masing.
"Anda
tidak akan bisa bebas memaksa orang lain untuk bisa memahami anda sepenuhnya,
karena anda hanya diberikan kebebasan untuk bisa memahami diri anda sendiri dan
orang lain, meskipun tidak akan bisa sepenuhnya," kataku,
saat mengkritik diriku sendiri di Facebook.