Saturday, February 2, 2013

Pendidikan Omong Kosong; Pemaksaan Otokritik dan Otodidak


Ini omong kosong. Tidak akan anda temukan kebenaran atau keadilan di sini. Murni omong kosong. Tapi, sekosong-kosongnya omongan saya, lebih omong kosong (orang-orang yang ngomong) kebenaran atau keadilan.

Kebenaran atau keadilan di dunia ini memang omong kosong, lebih kosong daripada omong kosong yang saya lakukan sekarang. Namun jangan percaya omong kosong ini, apalagi kebenaran atau keadilan yang sejatinya akan mengosongkan pikiran anda. Dan mengisinya dengan omong kosong tentang imajinasi dunia yang baik.

Dunia memang sudah begini adanya. Penuh dengan omong kosong tentang kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Mau omong kosong tentang apa lagi? Omong kosong tentang omong kosong? Kalau begitu, saya akan omong-omong tentang yang kosong-kosong.

Kosong Adalah Isi

Kosong itu ada, ada untuk mengada-ada. Sama halnya seperti pendidikan (formal). Terisi penuh dengan formalitas kosong, lebih kosong daripada yang saya lakukan sekarang ini. Tidak percaya? Tentu anda tidak akan percaya. Karena anda adalah produk omong kosong. Sama seperti saya.

Anda dan saya memang produk pendidikan omong kosong. Saya menyadarinya ketika ngomong yang kosong-kosong dari pendidikan. Sejak umur 5 tahun hingga 22 tahun ini, saya selalu mendapatkan cekokan omong kosong yang dogmatis. Banyak omongannya, tapi kosong value-nya (nilai).

Bukankah sudah bukan rahasia lagi kalau pendidikan (formal) yang ada, seringnya bersifat dogmatis dan monoton? Belum lagi pensistematisan yang menggeneralisasi (sama rata) manusia. Bukankah manusia ini unik, tak bisa digeneralisasikan oleh sistem yang dogmatis dan monoton?

Ah, mungkin saja saya yang sok tahu. Sok menggeneralisasikan apa yang saya tahu. Namun, begitulah yang saya tahu tentang pendidikan (formal).

Setahu saya, pendidikan omong kosong ini telah resmi menerima saya. Dan saya harus menerimanya juga, mau tak mau. Kalau saya tak mau menerimanya, maka saya bukanlah manusia yang berpendidikan. Tak beradab. Dan kalau sudah begitu, tinggal tunggu waktu terbuang dari masyarakat yang beradab (peradaban).

Peradaban hanya menerima manusia beradab saja. Sayang, cara mendidik manusianya yang tak beradab. Di mana beradabnya, ketika menggeneralisasikan manusia dengan sistem (pendidikan) yang dogmatis dan monoton? Dan karena itulah, peradaban tak akan ada dengan dogma. Sebaliknya, peradaban ada karena manusia mendurhakai dogma.

Mungkin kalau penemu-penemu yang ada tak pernah mendurhakai dogma-dogma pendidikan di jamannya, anda dan saya tak akan hidup di peradaban seperti sekarang ini. Karena jika tak begitu, ya ilmu pengetahuan tak akan berkembang.

Lihat saja Thomas Alva Edison. Menurut sistem pendidikan yang ada, dia tak mampu untuk belajar. Tapi akhirnya dia mampu membuktikan dirinya sebagai penemu yang jenius, tanpa harus tunduk dengan sistem pendidikan yang dogmatis.

Pendidikan itu harus bersifat terbuka dan dapat dikritisi (mendurhakai dogma), sama seperti ilmu pengetahuan. Dan jika sudah begitu, kebenaran dalam pendidikan tak mutlak benar adanya. Kalau tak terbuka dan tak dapat dikritisi, berarti memang omong kosong adanya. Tak ada yang bisa mengkritisi kekosongan.

Mengisi Kekosongan

Mengkritisi kekosongan itu omong kosong. Kekosongan hanya bisa diisi. Jadi, pendidikan omong kosong tak perlu dikritisi, tapi diisi. Anda dan saya harus bisa mengisinya dengan mengkritisi diri sendiri.

Sudahkah anda terbuka dan bisa mengkritisi diri sendiri (otokritik)? Sudah bisakah anda mendidik diri sendiri (otodidak)?

Kalau kedua itu tak ada yang bisa, ya jangan berharap pendidikan akan berubah. Kenapa? Karena pendidikan omong kosong ini sudah mengakar pada diri kita sendiri. Ingat, anda dan saya ini produk omong kosong. Jadi yang harus mengisi kekosongan dalam diri, ya diri kita sendiri.

Jadi sudahlah. Tak perlu menyalahkan orang lain, bahkan sistemnya. Karena kalau anda hanya mempermasalahkan dan memperdebatkan sistem mana yang paling benar, anda hanya akan kembali pada kekosongan. Omong kosong lagi.

Sebenarnya saya juga sudah lelah dengan omong kosong ini. Tapi apa boleh buat? Supaya omong kosong ini berakhir, saya masih harus ngomong yang kosong-kosong lainnya dari pendidikan. Karena meskipun anda telah berhenti ngomong tentang sistem yang benar, omong kosong ini belum berakhir.

Omong kosong ini belum berakhir dan tak akan berakhir. Jika anda masih menyamaratakan pendidikan –sama rata itu belum tentu adil—manusia dengan sebuah sistem, selamanya pendidikan tetap menjadi omong kosong. Dan anda selamanya tetap menjadi produk omong kosong, sama seperti saya.

Omong kosong kalau sistem pendidikan manusia harus sama semua. Sudah jelas kalau manusia itu memiliki kemampuan, model, dan minat belajar yang berbeda-beda. Saya sendiri lebih suka belajar sesuatu yang sedikit teori, tapi banyak praktiknya dan inilah yang tak pernah disediakan untuk saya oleh sistem pendidikan yang sekarang. Karena ketidaktersediaan akan kebutuhan belajar, saya menjadi “terkenal” sebagai mahasiswa yang senang memberontak.

Seringnya saya memberontak dosen dengan cara keluar dari kelas setelah mengisi presensi –dosen lebih peduli dengan jumlah kehadiran mahasiswa, daripada tingkat pemahaman mahasiswa. Dengan cara itu saya lebih banyak belajar mengenai dunia. Saya biasa “ngobrol kosong” (diskusi interdisipliner) di kafe kampus, sambil mengamati perempuan yang berlalu lalang menambah inspirasi. Itulah sistem belajar saya –percuma mengkritik sistem yang tak cocok dengan saya, hanya bikin lelah saja.

Jadi, manusia punya sistem pendidikannya sendiri-sendiri yang harusnya terakomodasi dan terakui. Sistem pendidikan manusia seharusnya tak menggeneralisasi. Idealnya dari manusia itu sendiri, oleh manusia itu sendiri, dan untuk manusia itu sendiri. Ya, tepatnya memanusiakan manusia. Pendidikan bagi manusia harusnya bisa memanusiakan manusia, bukan malah mengosongkan manusia.

Memanusiakan manusia berarti menghargai setiap potensi manusia yang unik. Dan untuk bisa menghargai itu, manusia haruslah terbebas dari segala macam omong kosong. Dan untuk bisa terbebas, manusia butuh kesadaran. Dengan menyadari manusia selalu haus dengan rasa keingintahuan, seharusnya membuat anda sadar. Sadar kalau sejak kecil manusia tak perlu dipaksa-paksa untuk belajar mendidik dirinya sendiri.

Bukankah seorang anak kecil sering “cerewet” bertanya ini-itu tanpa harus dipaksa orang tuanya? Bukankah itu sudah suatu bentuk sistem pendidikan yang anak kecil buat sendiri? Sayangnya orang yang lebih tua sering menghalangi dan menakut-nakuti mereka untuk tak banyak tanya.

Seringnya kalau orang tua mendapatkan banyak pertanyaan dari anak kecil, mereka cenderung kesal dan akhirnya menyuruh mereka diam. Padahal itu salah satu cara anak kecil belajar. Waktu kecil dipaksa untuk diam, waktu besar dipaksa aktif –mahasiswa jaman sekarang sering dapat kritikan karena kurang aktif mengkritisi. Lucu dan sekaligus naas memang.

Maka jika anda dan saya sekarang ini selalu butuh paksaan untuk berani belajar, memang itu karena kita sudah dibiasakan dengan keterpaksaan dan ketakutan. Dan karena ini juga akhirnya saya terpaksa omong kosong. Memaksa anda untuk menjadi manusia pembelajar yang berani mengkritik dan dikritik diri sendiri (otokritik), serta menjadi pembelajar yang mandiri (otodidak).

Jadi ingat, ini omong kosong. Tidak akan anda temukan kebenaran atau keadilan di sini. Murni omong kosong. Tapi, sekosong-kosongnya omongan saya, lebih omong kosong (orang-orang yang ngomong) kebenaran atau keadilan –apalagi kalau ngomongnya pakai kebenaran atau keadilan dari pikiran orang lain.
 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri