Ini
omong kosong. Tidak akan anda temukan kebenaran atau keadilan di sini. Murni
omong kosong. Tapi, sekosong-kosongnya omongan saya, lebih omong kosong (orang-orang
yang ngomong) kebenaran atau keadilan.
Kebenaran
atau keadilan di dunia ini memang omong kosong, lebih kosong daripada omong
kosong yang saya lakukan sekarang. Namun jangan percaya omong kosong ini, apalagi
kebenaran atau keadilan yang sejatinya akan mengosongkan pikiran anda. Dan mengisinya dengan omong
kosong tentang imajinasi dunia yang baik.
Dunia memang
sudah begini adanya. Penuh dengan omong kosong tentang kebaikan, kebenaran, dan
keadilan. Mau omong kosong tentang apa lagi? Omong kosong tentang omong kosong?
Kalau begitu, saya akan omong-omong tentang yang kosong-kosong.
Kosong
Adalah Isi
Kosong itu ada, ada untuk
mengada-ada. Sama halnya seperti pendidikan (formal). Terisi penuh dengan formalitas
kosong, lebih kosong daripada yang saya lakukan sekarang ini. Tidak percaya?
Tentu anda tidak akan percaya. Karena anda adalah produk omong kosong. Sama seperti saya.
Anda dan saya memang produk pendidikan
omong kosong. Saya menyadarinya ketika ngomong yang kosong-kosong dari pendidikan.
Sejak umur 5 tahun hingga 22 tahun ini, saya selalu mendapatkan cekokan omong
kosong yang dogmatis. Banyak omongannya, tapi kosong value-nya (nilai).
Bukankah sudah bukan rahasia lagi
kalau pendidikan (formal) yang ada, seringnya bersifat dogmatis dan monoton? Belum
lagi pensistematisan yang menggeneralisasi (sama rata) manusia. Bukankah
manusia ini unik, tak bisa digeneralisasikan oleh sistem yang dogmatis dan
monoton?
Ah, mungkin saja saya yang sok
tahu. Sok menggeneralisasikan apa yang saya tahu. Namun, begitulah yang saya
tahu tentang pendidikan (formal).
Setahu saya, pendidikan omong
kosong ini telah resmi menerima saya. Dan saya harus menerimanya juga, mau tak
mau. Kalau saya tak mau menerimanya, maka saya bukanlah manusia yang
berpendidikan. Tak beradab. Dan kalau sudah begitu, tinggal tunggu waktu
terbuang dari masyarakat yang beradab (peradaban).
Peradaban hanya menerima manusia
beradab saja. Sayang, cara
mendidik manusianya yang tak beradab. Di mana beradabnya, ketika menggeneralisasikan
manusia dengan sistem (pendidikan) yang dogmatis dan monoton? Dan karena
itulah, peradaban tak akan ada dengan dogma. Sebaliknya, peradaban ada karena
manusia mendurhakai dogma.
Mungkin kalau
penemu-penemu yang ada tak pernah mendurhakai dogma-dogma pendidikan di
jamannya, anda dan saya tak akan hidup di peradaban seperti sekarang ini.
Karena jika tak begitu, ya ilmu pengetahuan tak akan berkembang.
Lihat saja
Thomas Alva Edison. Menurut sistem pendidikan yang ada, dia tak mampu untuk
belajar. Tapi akhirnya dia mampu membuktikan dirinya sebagai penemu yang
jenius, tanpa harus tunduk dengan sistem pendidikan yang dogmatis.
Pendidikan
itu harus bersifat terbuka dan
dapat dikritisi (mendurhakai dogma),
sama seperti ilmu pengetahuan. Dan jika sudah
begitu,
kebenaran dalam pendidikan tak mutlak benar adanya. Kalau tak terbuka dan tak dapat dikritisi,
berarti memang omong kosong adanya. Tak ada yang bisa mengkritisi kekosongan.
Mengisi
Kekosongan
Mengkritisi kekosongan itu omong
kosong. Kekosongan hanya bisa diisi. Jadi, pendidikan omong kosong tak perlu
dikritisi, tapi diisi. Anda dan saya harus bisa mengisinya dengan mengkritisi
diri sendiri.
Sudahkah anda terbuka dan bisa
mengkritisi diri sendiri (otokritik)? Sudah bisakah anda mendidik diri sendiri
(otodidak)?
Kalau kedua itu tak ada yang bisa,
ya jangan berharap pendidikan akan berubah. Kenapa? Karena pendidikan omong
kosong ini sudah mengakar pada diri kita sendiri. Ingat, anda dan saya ini
produk omong kosong. Jadi yang harus mengisi kekosongan dalam diri, ya diri
kita sendiri.
Jadi sudahlah. Tak perlu
menyalahkan orang lain, bahkan sistemnya. Karena kalau anda hanya
mempermasalahkan dan memperdebatkan sistem mana yang paling benar, anda hanya
akan kembali pada kekosongan. Omong kosong lagi.
Sebenarnya saya juga sudah lelah
dengan omong kosong ini. Tapi apa boleh buat? Supaya omong kosong ini berakhir,
saya masih harus ngomong yang kosong-kosong lainnya dari pendidikan. Karena
meskipun anda telah berhenti ngomong tentang sistem yang benar, omong kosong
ini belum berakhir.
Omong kosong ini belum berakhir dan
tak akan berakhir. Jika anda masih menyamaratakan pendidikan –sama rata itu
belum tentu adil—manusia dengan sebuah sistem, selamanya pendidikan tetap
menjadi omong kosong. Dan anda selamanya tetap menjadi produk omong kosong,
sama seperti saya.
Omong kosong kalau sistem
pendidikan manusia harus sama semua. Sudah
jelas kalau manusia itu memiliki kemampuan, model, dan minat belajar yang
berbeda-beda.
Saya sendiri lebih suka belajar sesuatu yang sedikit
teori, tapi banyak praktiknya dan inilah yang tak pernah disediakan untuk saya
oleh sistem pendidikan yang sekarang. Karena ketidaktersediaan akan kebutuhan belajar, saya menjadi
“terkenal” sebagai mahasiswa yang senang memberontak.
Seringnya saya
memberontak dosen dengan cara keluar dari kelas setelah mengisi presensi –dosen
lebih peduli dengan jumlah kehadiran mahasiswa, daripada tingkat pemahaman
mahasiswa. Dengan cara itu saya lebih banyak belajar mengenai dunia. Saya biasa
“ngobrol kosong” (diskusi interdisipliner) di kafe kampus, sambil mengamati perempuan
yang berlalu lalang menambah inspirasi. Itulah sistem belajar saya –percuma
mengkritik sistem yang tak cocok dengan saya, hanya bikin lelah saja.
Jadi, manusia
punya sistem pendidikannya sendiri-sendiri yang harusnya terakomodasi dan
terakui. Sistem
pendidikan manusia seharusnya tak menggeneralisasi. Idealnya dari manusia itu sendiri,
oleh manusia itu sendiri, dan untuk manusia itu sendiri. Ya, tepatnya memanusiakan
manusia. Pendidikan bagi manusia harusnya bisa memanusiakan manusia, bukan
malah mengosongkan manusia.
Memanusiakan manusia berarti
menghargai setiap potensi manusia yang unik. Dan untuk bisa menghargai itu,
manusia haruslah terbebas dari segala macam omong kosong. Dan untuk bisa
terbebas, manusia butuh kesadaran.
Dengan
menyadari manusia selalu haus dengan rasa keingintahuan, seharusnya membuat
anda sadar. Sadar kalau sejak kecil manusia tak perlu dipaksa-paksa untuk
belajar mendidik dirinya sendiri.
Bukankah seorang anak kecil sering “cerewet” bertanya
ini-itu tanpa harus dipaksa
orang tuanya? Bukankah itu sudah suatu bentuk sistem
pendidikan yang anak kecil buat sendiri? Sayangnya orang yang lebih tua sering
menghalangi dan menakut-nakuti mereka untuk tak banyak tanya.
Seringnya kalau
orang tua mendapatkan banyak pertanyaan dari anak kecil, mereka cenderung kesal
dan akhirnya menyuruh mereka diam. Padahal itu salah satu cara anak kecil
belajar. Waktu kecil dipaksa untuk diam, waktu besar dipaksa aktif –mahasiswa jaman
sekarang sering dapat kritikan karena kurang aktif mengkritisi. Lucu dan
sekaligus naas memang.
Maka jika
anda dan saya sekarang ini selalu butuh paksaan untuk berani belajar, memang
itu karena kita sudah dibiasakan dengan keterpaksaan dan ketakutan. Dan karena ini juga akhirnya saya terpaksa
omong kosong. Memaksa anda untuk menjadi manusia pembelajar yang berani
mengkritik dan dikritik diri sendiri (otokritik), serta menjadi pembelajar yang
mandiri (otodidak).
Jadi ingat, ini omong kosong. Tidak akan anda temukan
kebenaran atau keadilan di sini. Murni omong kosong. Tapi, sekosong-kosongnya
omongan saya, lebih omong kosong (orang-orang yang ngomong) kebenaran atau
keadilan –apalagi kalau ngomongnya pakai kebenaran atau keadilan dari pikiran
orang lain.