Seperti
biasanya, Paulo Coelho selalu dapat membawaku mengarungi semesta yang
terlupakan. Dan kali ini, “Ada Sesuatu” –sesuatu yang memiliki banyak nama
dalam berbagai kebudayaan—yang menuntunku keluar dari kekosongan.
Cuaca pagi itu lumayan cerah dan dingin. Ya, hampir
sama dengan pagi-pagi Salatiga sebelumnya. Bedanya, cuaca biasa tak sama dengan
suasana hatiku pada biasanya. Kosong. Setelah malam sebelumnya aku berdebat
tentang Tuhan dengan seorang perempuan, Na.
Jam tangan yang kuletakkan di samping kasur telah
menunjukkan angka 5 lebih sedikit. Kupikir masih terlalu pagi untuk memulai
hari. Hingga akhirnya aku hanya duduk meringkuk di atas kasur, menatap keluar
jendela dengan tatapan kosong, mencoba mengulang dan membayangkan raut wajahnya
yang tergambar dari kata-kata perdebatan malam itu.
****
“Vannn...Tuhan itu baiiikkk bangeeettt,” katanya
melalui SMS, setelah beberapa saat aku membiarkannya untuk mendengar curhatan
ibunya yang sedang sakit.
“Ceritain dong, kenapa Tuhan bisa baik banget?”
tanyaku menanggapinya.
“Ceritanya panjang dan aku rasa kata-kataku tidak
mampu menggambarkan kebaikanNya, tapi percaya sama aku Van, Tuhan itu baik
banget. Harusnya kamu bisa rasain, gunain insting penulismu Van. Hahaha. Malam
ini perasaanku campur aduk dan semuanya disimpulkan oleh keinginan untuk bilang
Tuhan itu baik banget!!”
Harusnya? Insting penulis? Entah kenapa pernyataan
semacam itu membuatku agak tersinggung malam itu. Kenapa soal merasakan Tuhan
harus digeneralisasi seperti ini? Hahaha? Apakah dia sedang mengejekku? Aku
hanya membatin dengan ego yang mulai meninggi.
“Aku sudah merasakan kok, Na. Cuma begitulah, sama
seperti pembicaraan kita waktu di Gua Maria, aku kurang sreg dengan pembatasan
Tuhan yang menggunakan kata-kata. Aku ingin membiarkan semua pengalaman rasa
akan Tuhan itu mengalir apa adanya, Na. Entah apakah nanti aku merasakan
kebaikan, kejahatan, kesunyian, ataupun kemurkaan milik Tuhan. Toh katanya, Dia
itu maha segala ‘kan?” jelasku.
Tak lama kemudian, aku malah menyesali kata-kata
tadi. “Sorry Na, kalau SMS-ku tadi malah mengarah pada perdebatan. Lupakan saja
dan kutunggu ceritamu malam ini, kalau kamu sudah di Salatiga. Oke?” tambahku
yang berusaha menurunkan ego. Sebenarnya aku sudah jenuh dengan segala perdebatan
mengenai Tuhan. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menghindari itu, sejak aku
mulai mengkritik diri sendiri.
“Aku gak bisa tidur karena masih mikirin SMS-mu.
Yang kamu maksud dengan ‘pembatasan Tuhan yang menggunakan kata-kata’ itu yang
seperti apa sih Van?” balasnya. Belum berapa lama, dia SMS lagi hingga 2 kali.
“Baiklah, kalau memang gak mau jawab. Aku bakal berusaha lupain obrolan kita
malam ini.”
Ah, dari gaya bahasanya aku bisa langsung tahu
kalau dia sedikit menjadi marah, mungkin karena aku memintanya untuk tidak
membahas topik ini lagi. Ya, setelah sekian lama aku mempelajari perempuan, aku
bisa sedikit sok mengerti perempuan. Setidaknya kapan mereka mulai marah.
Dengan perasaan sedikit dilema, akhirnya akupun
mencoba melanjutkan penjelasanku. Sebenarnya aku tidak mau merusak suasana
damai malamku dengan ini, tapi aku juga tidak mau kalau nanti dia malah sulit
tidur, sedangkan besoknya dia masih harus menjaga ibunya di Rumah Sakit.
“Buatku, Tuhan lebih baik tidak usah didefinisikan,
dalam arti apapun. Entah mau diartikan Tuhan itu baik, Tuhan itu jahat, atau
Tuhan itu begini, Tuhan itu begitu. Bukankah itu semua merupakan pendefinisian
manusia tentang Tuhan yang menggunakan kata-kata? Lalu buat apa manusia
melakukan pendefinisian pada Tuhan? Satu-satunya cara memahami Tuhan adalah
dengan tidak membatasinya menggunakan definisi-definisi tadi. Mengetahui dan
merasakan keberadaanNya, itu sudah lebih dari cukup untukku. Dan ini juga salah
satu caraku bersyukur dan menghindari kekecewaanku padaNya lagi,”
“Buatku Tuhan memang tidak terbatas, termasuk oleh
kata-kata. Mungkin karena itu juga aku sering kesulitan ketika ditanya, ‘Tuhan
itu apa?’ dan salah satu orang yang pernah tanya itu adalah kamu. Ada perasaan
takut kalau kata-kata yang kupilih tidak mewakili arti Tuhan untuk hidupku.
Memang pada akhirnya tidak ada jawabanku yang memuaskan. Tuhan tidak terbatas
termasuk oleh kata-kata. Tapi aku yakin Tuhan menciptakan kata-kata supaya
manusia mampu mengungkapkan perasaannya dan penghayatannya tentang arti (bukan
definisi) Tuhan dalam hidupnya,” balas Na.
“Ya, mungkin memang maksud Tuhan tentang kata-kata
sama seperti kamu, Na. Dan kalau memang begitu adanya, ya kali ini aku terpaksa
sepakat untuk tidak sepakat sama kamu dan Tuhan. Ya itu untuk sekarang, belum
tahu nanti bagaimana,” ungkapku tak setuju.
“Kamu terpaksa sepakat dengan siapa memangnya,
untuk tidak sepakat dengan aku (dan Tuhan)? Baiklah kalau begitu,” balasnya
ketus, kecut.
“Hmm...kenapa pertanyaanmu jadi terasa ketus, Na?
Kamu kesel sama SMS-ku kah? Atau?” tanyaku.
“SMS-mu ini bikin aku teringat dengan perempuan di
masa laluku, Na. Perdebatan yang sama dan keketusan yang sama,”
“Maaf. Dan sebenernya aku gak bermaksud ketus ke
kamu Van,” jawab Na singkat. Masih terasa ketus.
“Jangan minta maaf, Na. Aku yang harusnya minta
maaf ke kamu, karena malah merusak mood-mu
malem ini dengan perdebatan. Maafin aku ya, Na,” kataku meminta maaf untuk
menyudahi perdebatan ini.
“Van, kau tidur sudah. Besok jangan telat bangun
lagi. Oiya, orang yang paling bertanggung jawab kalau mood-ku rusak adalah aku
sendiri kok Van, jadi kamu gak perlu minta maaf juga,”
Ah, kenapa kata-katanya mirip dengan kata-kata
Coelho yang pernah aku baca?
“In love, no
one can harm anyone else; each of us is responsible for our own feelings, and
can't blame someone else for what we feel.”
****
Tatapan kosong masih mengisi kekosongan pagi. Tanpa
aku sadari, jam tanganku telah menunjuk hampir jam 7. Aku segera bangkit dari
kasur untuk mandi, ada jadwal kuliah yang harus aku lakukan. “Ah, rutinitas
yang akan mengisi satu semesterku,” pikirku.
Kuliah pagi. Salah satu hal yang paling aku benci.
Mau tidak mau, ini harus aku jalani sekarang. Sudah terlalu sering aku lari
dari tanggung jawabku ini –setidaknya, tanggung jawab menyelesaikan apa yang
telah aku mulai. Aku juga anggap ini
sebagai proses pembelajaran menempatkan egoku.
Sampai depan kelas, ternyata kelas kosong. Ya,
kekosongan lagi. “Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk mengisi kekosongan pagi
ini?” pikirku.
Kekosongan membawaku menuju tanpa tujuan jelas ke
kos Erick, salah satu sahabatku di kota dingin ini. Satu-satunya alasan yang
membawaku ke sana hanyalah kekosongan, tanpa berharap ada sesuatu yang akan
mengisi kekosongan nantinya –secara sadar aku tidak mengharapkan itu, tapi
tidak tahu apakah ketidaksadaranku yang mengharapkan itu?
Aku masuk kamar Erick, kulihat dia masih tidur. Aku
duduk di sebuah kursi rotan, samping kasur, tempat berbaring Erick. Tidak lama
kemudian, Erick terbangun, melihatku dengan mata kantuknya, sambil bertanya,
“Eh, cak. Sudah lama kau di sini?”
“Gak. Barusan kok,” jawabku singkat.
“Lagi suwung
kau?” tanyanya. “Kenapa?”
Aku hanya diam, sambil menarik nafas dalam-dalam.
Kepalaku bersandar di kepala kursi, mata kututup sebentar, dan kutarik nafas
untuk ke sekian kalinya di pagi itu.
“Cak, di situ ada kopi sama gula. Kalau mau, bikin
kopi sendiri,” katanya sambil menunjuk meja di sudut kamar. “Di situ juga ada
rokok, kalau mau.”
“Yo. Gampang, ubs,” kataku disertai anggukkan
kecil.
Lama aku terduduk dengan tatapan kosong –pikiran
kosong, menatap ikan-ikan kecil di akuarium yang berenang mondar-mandir.
Ikan-ikan itu seakan-akan menghisap diriku masuk dalam tatapan kosong mereka.
Aku merasakan dunia mereka yang terlalu sempit untuk dijelajahi –hanya seluas
45cm x 30cm.
Ya, tak sadarkah aku selama ini seperti ikan-ikan
dalam akuarium itu? Yang cenderung melihat dunia dengan kosong dan sempit, tak
sadar bahwa dunia yang kuhidupi saat ini hanyalah bagian kecil dari semesta
yang maha luas. Lalu, kenapa aku membatasi diriku sendiri sekarang? Kenapa aku
hanya berkutat pada kekosongan diriku, bukannya merasakan dan membiarkan
semesta bekerja mengisi kekosongan itu? Tidak ada sehari, aku telah lupa akan
kata-kataku sendiri waktu berdebat dengan Na malam itu.
Tawaran membuat kopi Erick (lagi) menyadarkan aku
dari kekosonganku tadi.
“Itu kopi loh, ubs. Bikin sudah, itu ada Aleph juga kalau kau mau baca,” tawarnya sambil menunjukkan letak kopi dan
novel dari penulis favoritku.
Tanpa membalas tawarannya, aku segera bangkit dari
kursi rotan. Kopi hitam pekat dan pahit, kukira cukup untuk menampar kesadaranku
muncul kembali ke realitas. Kuambil novel itu dari rak buku, dan kubaca di luar
kamar.
****
“Aku tidak
bisa berevolusi lebih lanjut,” kataku, seperti biasa selalu jatuh dalam
perangkap untuk berbicara lebih dulu. “Kurasa aku sudah mencapai batas.”
“Lucu juga.
Seumur hidupku aku berusaha untuk mencari tahu batas-batasku dan belum penah
mencapainya. Tapi semestaku juga tidak banyak membantu, semestaku terus meluas
dan tidak membiarkanku untuk mengenalinya sepenuhnya,” kata J., dengan
provokatif.
Kata-katanya
adalah ironi, namun aku terus berbicara.
“Kenapa kau
ke sini hari ini? Untuk berusaha meyakinkanku bahwa aku salah, seperti biasa?
Kau boleh mengatakan apa saja sesukamu, tapi kata-kata takkan mengubah apa pun.
Aku tidak bahagia.”
“Itulah
sebabnya aku datang. Aku sudah menyadari apa yang terjadi selama beberapa
waktu, namun selalu ada momen yang tepat untuk bertindak,” kata J., memungut
pir dari meja dan memutar-mutarnya. “Jika kita berbicara sebelum sekarang, kau
belum matang. Jika kita berbicara belakangan, kau pasti busuk.” Ia mengigit pir
dan menikmati rasanya. “Sempurna. Saat yang tepat.”
“Aku dipenuhi
keraguan, terutama tentang imanku,” kataku.
“Bagus.
Keraguan mendorong orang maju.”
Ah, kurang ajar. Novel ini seakan-akan memang
berbicara padaku. Ya, pagi ini aku tepat tengah merasa bahwa aku telah mencapai
batas dan mulai meragukan (lagi) semua yang ada pada hidup ini.
Pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan kembali memenuhi saraf-saraf otakku.
“Dengar J.,
terlepas dari semua usahaku, aku tetap tidak bisa benar-benar berkata bahwa aku
merasa makin dekat dengan Tuhan dan dengan diriku sendiri,” kataku padanya
dengan kesal dan lelah yang tidak bisa disembunyikan.
“Itu karena,
seperti semua orang lain di planet ini, kau percaya bahwa waktu akan
mengajarimu cara mendekat pada Tuhan. Namun waktu tidak mengajari apa-apa;
waktu hanya membuat kita merasa lelah dan bertambah tua.”
Waktu? Ya, beberapa waktu terakhir aku sudah merasa
lelah untuk mencari cara mengenal Tuhan, aku berhenti dan diam menungggu, namun
itu hanya membuatku semakin lelah. Bahkan, semakin aku lelah dalam penantian,
semakin aku tidak peka terhadap apa yang aku tunggu itu sendiri; Tanda-tanda.
Di
sini aku menunggu,
setiap
malam aku mengharap,
kalaupun
aku mengingin,
aku
hanya bisa menuliskannya!
Aku
sekarang tidak tahu,
apa
yang ingin aku rasakan,
apa
yang ingin aku pikirkan,
semuanya
sedang mati suri.
Aku
tidak menyalahkan,
aku
hanya meyakinkan,
aku
hanya melogiskan,
semua
tentang aku dan kamu.
Bila
sekarang begini,
lalu
kapan akan begitu?
Mungkin
kapan-kapan,
mungkin
juga tidak akan.
Tak
penting dan tak perlu tahu,
kepada
siapa aku terpaku,
untuk
apa aku menunggu?
Semuanya
akan cepat berlalu,
dan
ku biarkan hilang bersama waktu.
Sebegitu bodohnya kah aku, hingga tidak tahu bahwa
aku telah melewatkan banyak Tanda? Semua panca inderaku mati suri karena
harapan yang muncul dari kebencian. Kuhentikan membaca sejenak, sambil
menyalakan rokok dan meneguk kopi, aku kembali mencoba memasuki masa lalu.
****
Lalu akan
datang hari saat kau berkata: “Cukup!”
“Cukup!”
kataku. “Bepergian, bagiku, hanya menjadi rutinitas monoton.”
“Tidak, tidak
cukup, dan tidak akan pernah cukup,” kata J. “Hidup kita adalah perjalanan
konstan, dari kelahiran sampai kematian. Latar belakangnya berubah,
orang-orangnya berubah, kebutuhan-kebutuhan kita berubah, namun kereta apinya
terus bergerak. Kehidupan adalah kereta api, bukan stasiun. Dan yang kaulakukan
sekarang bukanlah bepergian, kau hanya berganti-ganti negara, dan itu sama
sekali berbeda.”
Aku
menggeleng. “Itu takkan membantu. Jika aku perlu memperbaiki kesalahan yang
kulakukan di kehidupan sebelumnya dan aku sepenuhnya menyadari kesalahan itu,
aku bisa melakukannya di sini. Di sel penjara itu, aku hanya mematuhi
perintah-perintah seseorang yang sepertinya mengetahui kehendak Tuhan: kau.
Lagi pula, aku sudah meminta maaf pada sedikitnya empat orang.”
“Namun kau
tidak pernah menemukan karakteristik kutukan yang ditimpakan padamu.”
“Kau juga
dikutuk waktu itu. Apa kau sempat mengetahui jenis kutukannya?”
“Ya. Dan aku
bisa memastikan bahwa kutukan itu jauh lebih berat daripada kutukanmu. Kau
hanya melakukan satu tindakan pengecut, sementara aku berulang kali bersikap
tidak adil. Namun pemahaman itu membebaskanku.”
“Jika aku
perlu menjelajahi waktu, kenapa aku juga harus menjelajahi ruang?”
J. tertawa.
“Karena kita semua punya kesempatan untuk menebus kesalahan, namun supaya hal
itu bisa terjadi, kita harus mencari orang-orang yang kita sakiti dan meminta
maaf pada mereka.”
“Jadi, ke
mana aku harus pergi? Ke Yerusalem?”
“Aku tidak
tahu. Ke mana pun kau berniat pergi. Cari tahu apa urusanmu yang belum selesai,
dan selesaikanlah. Tuhan akan menuntunmu, karena segala sesuatu yang pernah dan
akan kau alami berada pada saat ini. Dunia sedang diciptakan dan dihancurkan
saat ini juga. Siapa pun yang pernah kau temui akan kembali, siapa pun yang
hilang dalam hidupmu akan kembali. Jangan khianati anugerah yang telah
diberikan padamu. Pahamilah apa yang terjadi dalam dirimu dan kau akan memahami
apa yang terjadi dalam diri semua orang lain. Jangan bayangkan bahwa aku datang
untuk membawa perdamaian. Aku datang membawa pedang.”
Kata-kata J. seperti pedang yang langsung menusuk
diriku dari belakang, begitu tiba-tiba dan tanpa aku sadari. Aku masih memiliki
masa lalu yang belum terselesaikan sampai sekarang. Tapi, di mana aku harus
memulainya?
“Salatiga?” tanyaku pada diri sendiri. Ya, kota
inilah tempat di mana aku berniat pergi untuk pertama kalinya, secara sadar aku
yang meminta sendiri pada ibuku untuk merantau ke kota ini. Ada sesuatu yang
menarikku untuk ke Salatiga, yaitu mengenal dan memaafkan diriku sendiri.
Sadar bahwa aku telah menghabiskan beberapa tahun
di kota ini tanpa tahu bagaimana cara mengenal dan memaafkan diri sendiri, aku
merasa sekaranglah waktunya membiarkan dan memperhatikan semesta untuk menunjukkannya.
Dan aku baru menyadari bahwa akhir-akhir ini aku mulai membiarkan Semesta
bekerja dengan caraNya menuntunku, mempertemukanku –di saat dan tempat yang
tepat—dengan Na yang akan membantuku untuk mengenal kutukanku, dan mengobati
kebencian yang bersemayam dalam jiwaku.
****
Intermezo
Reporter itu
tidak datang untuk berbicara tentang musik, namun ia memutuskan untuk tidak
mendesak soal itu dan mengganti topik.
“Apa makna
Tuhan bagimu?”
“Siapa pun
yang mengenal Tuhan, tidak dapat menggambarkanNya. Siapa pun yang dapat
menggambarkan Tuhan, tidak mengenalNya.”
Wow!
Aku kaget
mendengar kata-kataku sendiri. Aku sudah lusinan kali ditanya soal ini, dan
respons auto-pilot-ku selalu: “Saat Tuhan berbicara pada Musa, ia berkata: ‘I
am,’ jadi Tuhan bukanlah subjek, melainkan kata kerja, perbuatanNya.
Bahkan, perdebatan malam itu pun telah ditandai
dalam novel ini. Na dan aku sebenarnya sama-sama tahu bahwa tak ada yang bisa
menggambarkan Tuhan. Namun itulah manusia, kami berdua sama-sama memiliki ego
yang cukup tinggi untuk memulai suatu perdebatan sia-sia. Bukankah sia-sia jika
ternyata yang kami perdebatkan hanyalah masalah pemaknaan kata-kata?
Kata-kata memang selalu membuka diri pada tafsiran
bebas, namun perdebatan kami tak sia-sia. Kalau sia-sia, mungkin aku tidak akan
memiliki waktu yang tepat untuk membaca novel ini dan menyadari bahwa “segala sesuatu saling terhubung, semua jalan
bertemu, dan semua sungai mengalir ke laut yang sama."
![]() |
Na |