Thursday, September 19, 2013

Na

Seperti biasanya, Paulo Coelho selalu dapat membawaku mengarungi semesta yang terlupakan. Dan kali ini, “Ada Sesuatu” –sesuatu yang memiliki banyak nama dalam berbagai kebudayaan—yang menuntunku keluar dari kekosongan.

Cuaca pagi itu lumayan cerah dan dingin. Ya, hampir sama dengan pagi-pagi Salatiga sebelumnya. Bedanya, cuaca biasa tak sama dengan suasana hatiku pada biasanya. Kosong. Setelah malam sebelumnya aku berdebat tentang Tuhan dengan seorang perempuan, Na.

Jam tangan yang kuletakkan di samping kasur telah menunjukkan angka 5 lebih sedikit. Kupikir masih terlalu pagi untuk memulai hari. Hingga akhirnya aku hanya duduk meringkuk di atas kasur, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, mencoba mengulang dan membayangkan raut wajahnya yang tergambar dari kata-kata perdebatan malam itu.

****

“Vannn...Tuhan itu baiiikkk bangeeettt,” katanya melalui SMS, setelah beberapa saat aku membiarkannya untuk mendengar curhatan ibunya yang sedang sakit.

“Ceritain dong, kenapa Tuhan bisa baik banget?” tanyaku menanggapinya.

“Ceritanya panjang dan aku rasa kata-kataku tidak mampu menggambarkan kebaikanNya, tapi percaya sama aku Van, Tuhan itu baik banget. Harusnya kamu bisa rasain, gunain insting penulismu Van. Hahaha. Malam ini perasaanku campur aduk dan semuanya disimpulkan oleh keinginan untuk bilang Tuhan itu baik banget!!”

Harusnya? Insting penulis? Entah kenapa pernyataan semacam itu membuatku agak tersinggung malam itu. Kenapa soal merasakan Tuhan harus digeneralisasi seperti ini? Hahaha? Apakah dia sedang mengejekku? Aku hanya membatin dengan ego yang mulai meninggi.

“Aku sudah merasakan kok, Na. Cuma begitulah, sama seperti pembicaraan kita waktu di Gua Maria, aku kurang sreg dengan pembatasan Tuhan yang menggunakan kata-kata. Aku ingin membiarkan semua pengalaman rasa akan Tuhan itu mengalir apa adanya, Na. Entah apakah nanti aku merasakan kebaikan, kejahatan, kesunyian, ataupun kemurkaan milik Tuhan. Toh katanya, Dia itu maha segala ‘kan?” jelasku.

Tak lama kemudian, aku malah menyesali kata-kata tadi. “Sorry Na, kalau SMS-ku tadi malah mengarah pada perdebatan. Lupakan saja dan kutunggu ceritamu malam ini, kalau kamu sudah di Salatiga. Oke?” tambahku yang berusaha menurunkan ego. Sebenarnya aku sudah jenuh dengan segala perdebatan mengenai Tuhan. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menghindari itu, sejak aku mulai mengkritik diri sendiri.

“Aku gak bisa tidur karena masih mikirin SMS-mu. Yang kamu maksud dengan ‘pembatasan Tuhan yang menggunakan kata-kata’ itu yang seperti apa sih Van?” balasnya. Belum berapa lama, dia SMS lagi hingga 2 kali. “Baiklah, kalau memang gak mau jawab. Aku bakal berusaha lupain obrolan kita malam ini.”

Ah, dari gaya bahasanya aku bisa langsung tahu kalau dia sedikit menjadi marah, mungkin karena aku memintanya untuk tidak membahas topik ini lagi. Ya, setelah sekian lama aku mempelajari perempuan, aku bisa sedikit sok mengerti perempuan. Setidaknya kapan mereka mulai marah.

Dengan perasaan sedikit dilema, akhirnya akupun mencoba melanjutkan penjelasanku. Sebenarnya aku tidak mau merusak suasana damai malamku dengan ini, tapi aku juga tidak mau kalau nanti dia malah sulit tidur, sedangkan besoknya dia masih harus menjaga ibunya di Rumah Sakit.

“Buatku, Tuhan lebih baik tidak usah didefinisikan, dalam arti apapun. Entah mau diartikan Tuhan itu baik, Tuhan itu jahat, atau Tuhan itu begini, Tuhan itu begitu. Bukankah itu semua merupakan pendefinisian manusia tentang Tuhan yang menggunakan kata-kata? Lalu buat apa manusia melakukan pendefinisian pada Tuhan? Satu-satunya cara memahami Tuhan adalah dengan tidak membatasinya menggunakan definisi-definisi tadi. Mengetahui dan merasakan keberadaanNya, itu sudah lebih dari cukup untukku. Dan ini juga salah satu caraku bersyukur dan menghindari kekecewaanku padaNya lagi,”

“Buatku Tuhan memang tidak terbatas, termasuk oleh kata-kata. Mungkin karena itu juga aku sering kesulitan ketika ditanya, ‘Tuhan itu apa?’ dan salah satu orang yang pernah tanya itu adalah kamu. Ada perasaan takut kalau kata-kata yang kupilih tidak mewakili arti Tuhan untuk hidupku. Memang pada akhirnya tidak ada jawabanku yang memuaskan. Tuhan tidak terbatas termasuk oleh kata-kata. Tapi aku yakin Tuhan menciptakan kata-kata supaya manusia mampu mengungkapkan perasaannya dan penghayatannya tentang arti (bukan definisi) Tuhan dalam hidupnya,” balas Na.

“Ya, mungkin memang maksud Tuhan tentang kata-kata sama seperti kamu, Na. Dan kalau memang begitu adanya, ya kali ini aku terpaksa sepakat untuk tidak sepakat sama kamu dan Tuhan. Ya itu untuk sekarang, belum tahu nanti bagaimana,” ungkapku tak setuju.

“Kamu terpaksa sepakat dengan siapa memangnya, untuk tidak sepakat dengan aku (dan Tuhan)? Baiklah kalau begitu,” balasnya ketus, kecut.

“Hmm...kenapa pertanyaanmu jadi terasa ketus, Na? Kamu kesel sama SMS-ku kah? Atau?” tanyaku.

“SMS-mu ini bikin aku teringat dengan perempuan di masa laluku, Na. Perdebatan yang sama dan keketusan yang sama,”

“Maaf. Dan sebenernya aku gak bermaksud ketus ke kamu Van,” jawab Na singkat. Masih terasa ketus.

“Jangan minta maaf, Na. Aku yang harusnya minta maaf ke kamu, karena malah merusak mood-mu malem ini dengan perdebatan. Maafin aku ya, Na,” kataku meminta maaf untuk menyudahi perdebatan ini.

“Van, kau tidur sudah. Besok jangan telat bangun lagi. Oiya, orang yang paling bertanggung jawab kalau mood-ku rusak adalah aku sendiri kok Van, jadi kamu gak perlu minta maaf juga,”

Ah, kenapa kata-katanya mirip dengan kata-kata Coelho yang pernah aku baca?

In love, no one can harm anyone else; each of us is responsible for our own feelings, and can't blame someone else for what we feel.

****

Tatapan kosong masih mengisi kekosongan pagi. Tanpa aku sadari, jam tanganku telah menunjuk hampir jam 7. Aku segera bangkit dari kasur untuk mandi, ada jadwal kuliah yang harus aku lakukan. “Ah, rutinitas yang akan mengisi satu semesterku,” pikirku.

Kuliah pagi. Salah satu hal yang paling aku benci. Mau tidak mau, ini harus aku jalani sekarang. Sudah terlalu sering aku lari dari tanggung jawabku ini –setidaknya, tanggung jawab menyelesaikan apa yang telah aku mulai.  Aku juga anggap ini sebagai proses pembelajaran menempatkan egoku.

Sampai depan kelas, ternyata kelas kosong. Ya, kekosongan lagi. “Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk mengisi kekosongan pagi ini?” pikirku.

Kekosongan membawaku menuju tanpa tujuan jelas ke kos Erick, salah satu sahabatku di kota dingin ini. Satu-satunya alasan yang membawaku ke sana hanyalah kekosongan, tanpa berharap ada sesuatu yang akan mengisi kekosongan nantinya –secara sadar aku tidak mengharapkan itu, tapi tidak tahu apakah ketidaksadaranku yang mengharapkan itu?

Aku masuk kamar Erick, kulihat dia masih tidur. Aku duduk di sebuah kursi rotan, samping kasur, tempat berbaring Erick. Tidak lama kemudian, Erick terbangun, melihatku dengan mata kantuknya, sambil bertanya, “Eh, cak. Sudah lama kau di sini?”

“Gak. Barusan kok,” jawabku singkat.

“Lagi suwung kau?” tanyanya. “Kenapa?”

Aku hanya diam, sambil menarik nafas dalam-dalam. Kepalaku bersandar di kepala kursi, mata kututup sebentar, dan kutarik nafas untuk ke sekian kalinya di pagi itu.

“Cak, di situ ada kopi sama gula. Kalau mau, bikin kopi sendiri,” katanya sambil menunjuk meja di sudut kamar. “Di situ juga ada rokok, kalau mau.”

“Yo. Gampang, ubs,” kataku disertai anggukkan kecil.

Lama aku terduduk dengan tatapan kosong –pikiran kosong, menatap ikan-ikan kecil di akuarium yang berenang mondar-mandir. Ikan-ikan itu seakan-akan menghisap diriku masuk dalam tatapan kosong mereka. Aku merasakan dunia mereka yang terlalu sempit untuk dijelajahi –hanya seluas 45cm x 30cm.

Ya, tak sadarkah aku selama ini seperti ikan-ikan dalam akuarium itu? Yang cenderung melihat dunia dengan kosong dan sempit, tak sadar bahwa dunia yang kuhidupi saat ini hanyalah bagian kecil dari semesta yang maha luas. Lalu, kenapa aku membatasi diriku sendiri sekarang? Kenapa aku hanya berkutat pada kekosongan diriku, bukannya merasakan dan membiarkan semesta bekerja mengisi kekosongan itu? Tidak ada sehari, aku telah lupa akan kata-kataku sendiri waktu berdebat dengan Na malam itu.

Tawaran membuat kopi Erick (lagi) menyadarkan aku dari kekosonganku tadi.

“Itu kopi loh, ubs. Bikin sudah, itu ada Aleph juga kalau kau mau baca,” tawarnya sambil menunjukkan letak kopi dan novel dari penulis favoritku.

Tanpa membalas tawarannya, aku segera bangkit dari kursi rotan. Kopi hitam pekat dan pahit, kukira cukup untuk menampar kesadaranku muncul kembali ke realitas. Kuambil novel itu dari rak buku, dan kubaca di luar kamar.

****

“Aku tidak bisa berevolusi lebih lanjut,” kataku, seperti biasa selalu jatuh dalam perangkap untuk berbicara lebih dulu. “Kurasa aku sudah mencapai batas.”

“Lucu juga. Seumur hidupku aku berusaha untuk mencari tahu batas-batasku dan belum penah mencapainya. Tapi semestaku juga tidak banyak membantu, semestaku terus meluas dan tidak membiarkanku untuk mengenalinya sepenuhnya,” kata J., dengan provokatif.

Kata-katanya adalah ironi, namun aku terus berbicara.

“Kenapa kau ke sini hari ini? Untuk berusaha meyakinkanku bahwa aku salah, seperti biasa? Kau boleh mengatakan apa saja sesukamu, tapi kata-kata takkan mengubah apa pun. Aku tidak bahagia.”

“Itulah sebabnya aku datang. Aku sudah menyadari apa yang terjadi selama beberapa waktu, namun selalu ada momen yang tepat untuk bertindak,” kata J., memungut pir dari meja dan memutar-mutarnya. “Jika kita berbicara sebelum sekarang, kau belum matang. Jika kita berbicara belakangan, kau pasti busuk.” Ia mengigit pir dan menikmati rasanya. “Sempurna. Saat yang tepat.”

“Aku dipenuhi keraguan, terutama tentang imanku,” kataku.

“Bagus. Keraguan mendorong orang maju.”

Ah, kurang ajar. Novel ini seakan-akan memang berbicara padaku. Ya, pagi ini aku tepat tengah merasa bahwa aku telah mencapai batas dan mulai meragukan (lagi) semua yang ada pada hidup ini. Pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan kembali memenuhi saraf-saraf otakku.

“Dengar J., terlepas dari semua usahaku, aku tetap tidak bisa benar-benar berkata bahwa aku merasa makin dekat dengan Tuhan dan dengan diriku sendiri,” kataku padanya dengan kesal dan lelah yang tidak bisa disembunyikan.

“Itu karena, seperti semua orang lain di planet ini, kau percaya bahwa waktu akan mengajarimu cara mendekat pada Tuhan. Namun waktu tidak mengajari apa-apa; waktu hanya membuat kita merasa lelah dan bertambah tua.”

Waktu? Ya, beberapa waktu terakhir aku sudah merasa lelah untuk mencari cara mengenal Tuhan, aku berhenti dan diam menungggu, namun itu hanya membuatku semakin lelah. Bahkan, semakin aku lelah dalam penantian, semakin aku tidak peka terhadap apa yang aku tunggu itu sendiri; Tanda-tanda.

Di sini aku menunggu,
setiap malam aku mengharap,
kalaupun aku mengingin,
aku hanya bisa menuliskannya!

Aku sekarang tidak tahu,
apa yang ingin aku rasakan,
apa yang ingin aku pikirkan,
semuanya sedang mati suri.

Aku tidak menyalahkan,
aku hanya meyakinkan,
aku hanya melogiskan,
semua tentang aku dan kamu.

Bila sekarang begini,
lalu kapan akan begitu?
Mungkin kapan-kapan,
mungkin juga tidak akan.

Tak penting dan tak perlu tahu,
kepada siapa aku terpaku,
untuk apa aku menunggu?
Semuanya akan cepat berlalu,
dan ku biarkan hilang bersama waktu.

Sebegitu bodohnya kah aku, hingga tidak tahu bahwa aku telah melewatkan banyak Tanda? Semua panca inderaku mati suri karena harapan yang muncul dari kebencian. Kuhentikan membaca sejenak, sambil menyalakan rokok dan meneguk kopi, aku kembali mencoba memasuki masa lalu.

****

Lalu akan datang hari saat kau berkata: “Cukup!”

“Cukup!” kataku. “Bepergian, bagiku, hanya menjadi rutinitas monoton.”

“Tidak, tidak cukup, dan tidak akan pernah cukup,” kata J. “Hidup kita adalah perjalanan konstan, dari kelahiran sampai kematian. Latar belakangnya berubah, orang-orangnya berubah, kebutuhan-kebutuhan kita berubah, namun kereta apinya terus bergerak. Kehidupan adalah kereta api, bukan stasiun. Dan yang kaulakukan sekarang bukanlah bepergian, kau hanya berganti-ganti negara, dan itu sama sekali berbeda.”

Aku menggeleng. “Itu takkan membantu. Jika aku perlu memperbaiki kesalahan yang kulakukan di kehidupan sebelumnya dan aku sepenuhnya menyadari kesalahan itu, aku bisa melakukannya di sini. Di sel penjara itu, aku hanya mematuhi perintah-perintah seseorang yang sepertinya mengetahui kehendak Tuhan: kau. Lagi pula, aku sudah meminta maaf pada sedikitnya empat orang.”

“Namun kau tidak pernah menemukan karakteristik kutukan yang ditimpakan padamu.”

“Kau juga dikutuk waktu itu. Apa kau sempat mengetahui jenis kutukannya?”

“Ya. Dan aku bisa memastikan bahwa kutukan itu jauh lebih berat daripada kutukanmu. Kau hanya melakukan satu tindakan pengecut, sementara aku berulang kali bersikap tidak adil. Namun pemahaman itu membebaskanku.”

“Jika aku perlu menjelajahi waktu, kenapa aku juga harus menjelajahi ruang?”

J. tertawa. “Karena kita semua punya kesempatan untuk menebus kesalahan, namun supaya hal itu bisa terjadi, kita harus mencari orang-orang yang kita sakiti dan meminta maaf pada mereka.”

“Jadi, ke mana aku harus pergi? Ke Yerusalem?”

“Aku tidak tahu. Ke mana pun kau berniat pergi. Cari tahu apa urusanmu yang belum selesai, dan selesaikanlah. Tuhan akan menuntunmu, karena segala sesuatu yang pernah dan akan kau alami berada pada saat ini. Dunia sedang diciptakan dan dihancurkan saat ini juga. Siapa pun yang pernah kau temui akan kembali, siapa pun yang hilang dalam hidupmu akan kembali. Jangan khianati anugerah yang telah diberikan padamu. Pahamilah apa yang terjadi dalam dirimu dan kau akan memahami apa yang terjadi dalam diri semua orang lain. Jangan bayangkan bahwa aku datang untuk membawa perdamaian. Aku datang membawa pedang.”

Kata-kata J. seperti pedang yang langsung menusuk diriku dari belakang, begitu tiba-tiba dan tanpa aku sadari. Aku masih memiliki masa lalu yang belum terselesaikan sampai sekarang. Tapi, di mana aku harus memulainya?

“Salatiga?” tanyaku pada diri sendiri. Ya, kota inilah tempat di mana aku berniat pergi untuk pertama kalinya, secara sadar aku yang meminta sendiri pada ibuku untuk merantau ke kota ini. Ada sesuatu yang menarikku untuk ke Salatiga, yaitu mengenal dan memaafkan diriku sendiri.

Sadar bahwa aku telah menghabiskan beberapa tahun di kota ini tanpa tahu bagaimana cara mengenal dan memaafkan diri sendiri, aku merasa sekaranglah waktunya membiarkan dan memperhatikan semesta untuk menunjukkannya. Dan aku baru menyadari bahwa akhir-akhir ini aku mulai membiarkan Semesta bekerja dengan caraNya menuntunku, mempertemukanku –di saat dan tempat yang tepat—dengan Na yang akan membantuku untuk mengenal kutukanku, dan mengobati kebencian yang bersemayam dalam jiwaku.

****

Intermezo

Reporter itu tidak datang untuk berbicara tentang musik, namun ia memutuskan untuk tidak mendesak soal itu dan mengganti topik.

“Apa makna Tuhan bagimu?”

“Siapa pun yang mengenal Tuhan, tidak dapat menggambarkanNya. Siapa pun yang dapat menggambarkan Tuhan, tidak mengenalNya.”

Wow!

Aku kaget mendengar kata-kataku sendiri. Aku sudah lusinan kali ditanya soal ini, dan respons auto-pilot-ku selalu: “Saat Tuhan berbicara pada Musa, ia berkata: ‘I am,’ jadi Tuhan bukanlah subjek, melainkan kata kerja, perbuatanNya.

Bahkan, perdebatan malam itu pun telah ditandai dalam novel ini. Na dan aku sebenarnya sama-sama tahu bahwa tak ada yang bisa menggambarkan Tuhan. Namun itulah manusia, kami berdua sama-sama memiliki ego yang cukup tinggi untuk memulai suatu perdebatan sia-sia. Bukankah sia-sia jika ternyata yang kami perdebatkan hanyalah masalah pemaknaan kata-kata?

Kata-kata memang selalu membuka diri pada tafsiran bebas, namun perdebatan kami tak sia-sia. Kalau sia-sia, mungkin aku tidak akan memiliki waktu yang tepat untuk membaca novel ini dan menyadari bahwa “segala sesuatu saling terhubung, semua jalan bertemu, dan semua sungai mengalir ke laut yang sama."


Na

 
© Copyright 2035 Evan Adiananta
Theme by Yusuf Fikri